Cogito Ergo Sum - Sekolah Ini Punya Sejarah

Ridwan Gunawan 17 Agustus 2013

Pernah diceritakan tentang pendirian sekolah di talang tempat saya mengajar ini. Awalnya, sampai tahun 2002, di sini tidak ada sekolahnya, kalau anak-anak mau sekolah, mereka harus berjalan sekitar tiga sampai empat jam ke dusun terdekat dan sekolah di sana.

 

Alhasil, banyak anak-anak di sini yang tidak sekolah, atau ada yang sekolah namun lama-kelamaan putus sekolah karena tidak tahan dengan jaraknya yang jauh.

 

Dari pengalaman inilah, ada pemuda di talang yang berinisiatif untuk mendirikan sekolah di talang. Namanya Pak Putra. Dibantu rekannya yang bernama pak Rudi. Pak Rudi yang SD tidak tamat serta Pak Putra yang sempat mengampu pendidikan hingga bangku kuliah walau akhirnya tidak jadi diwisuda karena DO akibat tidak punya uang lagi untuk membayar uang kuliahnya, bersama mengupayakan pendirian SD di talang. Mereka tidak ingin anak-anak di sini tidak sekolah dengan alasan letak sekolahnya jauh.

 

Pak Putra dan Pak Rudi mengumpulkan warga talang, merundingkan upaya pembangunan sekolah ini. Kemudian dikumpulkanlah warga talang dan mereka bermusyawarah. Melalui forum ini, Pak Putra menunjuk Pak Rudi sebagai ketua pendirian sekolah, serta beliau sendiri menjadi sekretarisnya.

 

Pendirian bangunan sekolahdimulai dari pengumpulan kayu-kayu dari batang pohon di hutan yang masih banyak ditemukan di dalam talang (karena posisi talang itu berada di tengah-tengah hutan yang sangat luas). Bersama masyarakat, bangunan sekolahpun didirikan. Tentu saja ala kadarnya. Dinding dan lantai dari kayu, atapnya pakai daun-daunan. Lebih mirip kandang sapi daripada bangunan sekolah, cerita Pak Rudi pada saya tentang masa lalu pendirian sekolah.

 

Setelah bangunan sekolah jadi, pendaftaran penerimaan murid dibuka. Awalnya Pak Putra tidak yakin bahwa anak-anak talang mau sekolah di bangunan yang lebih mirip kandang sapi ini. Ternyata yang mendaftar sangat banyak. Artinya, sekolah jadi untuk dijalankan.

 

Pak Putra dibantu oleh Pak Rudi mencari warga talang yang mau menjadi pengajar. Paling tidak yang pendidikannya di atas SMP. Dari warga talang, diperoleh tiga orang pelamar yang mau menjadi pengajar ditambah pak Putra sendiri ikut mengajar. Bayangkan, sebuah bangunan sekolah (yang lebih layak dikatakan kandang sapi) dan baru dibuka untuk murid kelas satu, pengajar yang siap dari warga talang sendiri mencapai tiga orang. Mungkin tiga pemuda talang inilah yang lebih pantas disebut Pengajar Muda daripada saya.

 

Sekolahpun memulai aktivitas belajar dan mengajarnya. Para pengajar ini yang telah mengikrarkan dirinya untuk memajukan pendidikan anak-anak talang, mengajar secara bergantian, karena mereka memiliki pekerjaan utama sebagai petani karet. Jadi mereka membagi waktu, yang biasanya setiap hari kerjanya nako’ sekarang harus digilir dengan mengajar anak-anak.

 

Sekolah sudah jadi, murid sudah ada, gurupun juga sudah ada, kemudian pengurusan nama dan ijin. Pak Putra sering bolak-balik ke desa – dusun – talang, untuk mengurus nama sekolah beserta ijinnya.

 

Pendirian sekolah yang begitu mulus dan lancar di awalnya ternyata begitu banyak hambatan di tengahnya. Kepala desa saat itu menolak mentah-mentah mengenai pengurusan ijin pendirian sekolah. Dengan menyatakan beberapa alasan, dimulai dari umur sekolah itu tidak akan lama, atau suatu saat anak-anak talang akan malas sekolah, atau pemuda talang suatu saat akan kembali nako’ penuh hari karena waktunya yang dibagi dengan menjadi guru otomatis penghasilan karetnya akan berkurang.

 

Pak Putra tidak pernah menyerah. Lelaki yang lahir dan besar di wilayah ini, membuat petisi yang ditanda-tangani oleh warga talang, beserta warga di dusun sampai warga di desa. Ada sekitar 100an tanda tangan dari warga yang setuju dengan pendirian sekolah ini. Akhirnya, ijin sekolah didapat. Walaupun ijinnya menumpang nama sekolah yang sudah ada di desa(dulu namanya SDN 1 Pagar Agung, kini menjadi SDN 3 Rambang). Alhasil, sekolah di talang menjadi sebuah kelas jauh dari sekolah yang sudah ada di desa. Tidak apa, yang penting, anak-anak di talang ini nantinya bisa memiliki ijasah yang ada cap dari dinas pemerintahan.

 

Pak Putra yang memiliki koneksi dengan banyak orang, menemui salah satu sahabatnya yang duduk di legislatif pemerintahan. Sahabatnya menjanjikan kalau sekolah itu bisa bertahan sampai lima tahun, dia akan membantu membangun bangunan sekolah menjadi lebih layak.

 

Lima tahun pun berlalu, sekolah tetap berdiri dan melakukan aktivitas belajar-mengajarnya. Anak-anak yang dulu mendaftar menjadi murid kelas satu di SD talang ini, kini memasuki tahun pertamanya sebagai murid kelas enam. Sahabat Pak Putra menepati janjinya dan membangun ulang bangunan sekolah menjadi lebih bagus dan lebih layak. Ada rasa haru dalam peristiwa tersebut, Cerita ini dikisahkan Pak Rudi sebagai sahabat Pak Putra dengan pandangan mata yang dalam dan melankolis.

 

The really great men must, I think, have great sadness on earth” -Dostoevsky.


Cerita Lainnya

Lihat Semua