Berani Tampil Saat Pembagian Rapor

Bella Moulina 22 Februari 2014

                “Anak-anak, di pembagian rapor nanti ada yang mau tampil baca puisi atau menyanyi ko? Kalau bosong mau, nanti ibu ajar kalian su.”

                Kira-kira maksud dari kalimat di atas adalah saya ingin mengajarkan anak-anak baca puisi dan menyanyi saat pembagian rapor semester I lalu. Respon mereka? Ada yang berbisik-bisik, ada yang mukanya langsung cerah, dan ada yang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Langsung saja saya menjelaskan lebih lanjut bahwa pembagian rapor tersebut akan menampilkan anak-anak kelas 3 yang menyanyi Pagiku Cerahku dan membaca puisi hasil karangan mereka sendiri.

                Jadilah setelah saya menegaskan itu, mereka mulai mengacungkan tangan sambil berkata, “Saya, Bu,”, “Menyanyi saja, Bu,” atau bahkan “ Saya buat puisi dan membacanya ya, Bu.” Namun di sisi lain, anak-anak yang pendiam hanya menatap teman-temannya yang pemberani itu dengan muka datar. Mungkin yang ada di pikiran mereka begini, “Bagaimana mungkin aku tampil di depan kelas sedangkan aku tidak pintar dan pemalu?”

                Well, sesungguhnya itulah yang ingin saya lejitkan. Saya melihat kebanyakan anak-anak saya masih kurang berani berbicara, pun bahkan ada yang suaranya kecil sekali saat saya berbicara dengannya. Entah takut ketika mungkin saat saya kesal, atau memang dari pribadinya seperti itu. Nah keberanian itu yang ingin saya timbulkan kepada mereka. Tak muluk-muluk, “Kalian tak harus berada di panggung besar untuk menampilkan sosok kalian yang pemberani, cukup di depan orangtua kalian saja sudah cukup. Buat orangtua kalian bangga dengan pencapaian kalian selama ini.” Begitulah niat saya kira-kira.

                Ajakan itu sebenarnya sudah saya niatkan 2 minggu sebelum pembagian rapor, tapi dikarenakan kesibukan menilai hasil ujian siswa dan memasukkan nilai ke rapor, serta mengurus administrasi sekolah, saya melupakannya. Hingga hentakan berita dari kepala sekolah saya yang mengabarkan bahwa pembagian rapor akan dilaksanakan 3 hari lagi, barulah saya terbangun dari niat yang sempat tertunda itu.

               Lantas saya langsung mengumpulkan mereka pada suatu sore di sekolah. Dari 28 siswa saya, yang tidak hadir saat itu sekitar 5 orang. Tak mengapa, pikir saya. Mudah-mudahan 5 orang anak itu bisa mengikuti perkembangan latihan dengan temannya yang lain. Pembagian peran pun dimulai. Ada yang memilih ikut tim menyanyi, ada pula yang membawa puisi dan ingin membacakannya nanti di depan kelas. Akhirnya saya memutuskan Niken, Winda, dan Cindy, sebagai pemimpin tim menyanyi dan mengharuskan mereka untuk berdiri paling depan. Sedangkan tim membaca puisi terbagi menjadi dua, puisi Guru dan Ibu, yang beranggotakan Martha, Rival, Fera, Kesya, Mardi, Marlin, Elis, dan Windy.

                Dua hari terbilang singkat untuk mengajarkan siswa kelas 3 cara menyanyi dan membaca puisi dengan tepat. Namun semangat mereka yang selalu bertanya, “Ibu, kapan kita latihan lai?” memompa kepercayaan diri saya bahwa mereka bisa. Hingga pada hari H, 20 Desember 2013 lalu, mereka menampilkan masing-masing dari mereka di depan kelas, dihadapan orangtua mereka yang menanti hasil belajar mereka selama 1 semester ini. Bahkan dengan bangga saya mengatakan bahwa mereka berlatih sendiri di kelas sesaat sebelum orangtua masuk di kelas lho. Keberanian itu muncul, menular dari satu anak ke anak yang lain.

                Sayup-sayup suara anak kecil terdengar dari kelas kami. Lagu Pagiku Cerahku disusul dengan pembacaan 2 puisi mengawali pembagian rapor hari itu. Para orangtua disuguhi penampilan dari anak mereka sendiri. Saya melihat beragam ekspresi wajah dari orangtua mereka, alhamdulillah kerja keras anak-anak menyunggingkan senyum di wajah ibu ayah mereka. Meski harus ada yang berbesar hati karena tidak mendapat Rangking 1-3 dan Bintang Kelas 1-3 pada semester lalu, tapi usaha mereka untuk berani tampil dan percaya diri membuat mereka mendapat kesetaraan antar satu sama lain.

Vini, vidi, vici.


Cerita Lainnya

Lihat Semua