info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

KELAS HEWAN

WengkiAriando 31 Maret 2015

Selamat pagi Geudumbak, ku mantapkan hati untuk melangkahkan kaki menuju sekolah yang terletak di depan jalan lintas antar Gampong (Desa) yang sudah diaspal rapi dan mulus. Ya, nama sekolahku adalah SDN 2 Langkahan yaitu satu-satunya sekolah dasar yang disediakan untuk beberapa  Gampong: Geudumbak, Langkahan, Pante Labu, dan Tanjung Selamat. Jumlah total murid dalam satu sekolah juga cukup banyak, dengan 11 rombongan belajar dan 272 siswa. Infrastruktur dan akses ke sekolahku cukup baik dibanding desa penempatan Pengajar Muda Aceh Utara lainnya. Secara teknis akses ke desaku cuma jauh berdasarkan jarak dari pusat kabupaten dan kota Lhokseumauwe, tapi tantangan geografisnya tidak terlalu menguji nyali, hanya berupa jalan lurus berdebu dan berlubang tanpa adanya kanopi.

Nah disekolah ini aku memulai pertualangan menjadi seorang guru yang ingin berbagi dan belajar. Disini aku berkesempatan untuk menjadi walikelas IIIB, dengan jumlah murid 27 orang, 9 perempuan dan 18 laki-laki. Murid-muridku adalah tipikal anak-anak yang aktif, hobi bergerak, humoris, dan memilki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Dan gara-gara keaktifan ini tidak jarang dalam satu hari pasti ada saja yang berkelahi dan menangis. Walaupun demikian anak-anakku sangat suka bereksperimen dan mendapatkan informasi-informasi baru yang mereka alami sendiri. Seperti selasa ini, adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anakku. Aku menugaskan mereka untuk membawa hewan, apasaja hewannya dalam keadaan hidup. Kami akan belajar mengidentifikasi morfologi dan sedikit menyinggung organ dalam seperti alat pernapasan dari hewan yang mereka bawa.

Horeyy, itulah kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak ketika mendapat penugasan ini, awalnya aku berpikir ide liarku ini akan membebani mereka, tapi karena sambutan muridku antusias seluruh kekhawatiran langsung hilang tertutup senyum dan semangat mereka.

Hari itu akhirnya tiba, aku sengaja datang lebih cepat ke sekolah untuk menyaksikan langsung bagaimana anak-anakku membawa sendiri hewan-hewan objek penelitian mini meraka. Ada yang memasukan ke dalam tas, stoples, kantong plastik, gelas, ember, karung, dan bahkan ada yang ditenteng dengan tangan mungil mereka.

“Pak guru datang, hai mandum tamong ilee” (ayo smuanya masuk) teriak salah satu anakku.

Mereka siap berbaris di depan pintu masuk kelas, siap untuk apel pagi dan bersalaman sebelum masuk kelas.

Luar biasa...!!!! ketika ku langkahkan kaki masuk kelas bersama anak-anakku, ku lihat banyak pendatang baru yang tak ku duga-duga mengambil posisi di atas meja dan berkeliaran bagai anggota ekosistem hutan buatan pindah seketika ke kelas kami. Peserta tersebut terdiri dari ayam, kucing, burung, cacing, kodok, semut, belalang, ikan, udang, tonggeret, dan yang tidak kalah membuat kelas gempar adalah anak monyet. Aku tidak membayangkan bakal sekeos ini, aku lihat beberapa anak sibuk memeluk kucingnya agar tidak lepas menangkap burung yang dibawa oleh anak lainnya, ada juga anak yang sedang mengejar kodoknya yang keluar dari dalam tas sambil melompat-lompat keliling kelas, kulihat juga anakku yang sedang naik meja dan memegang tangkai sapu untuk menangkap burungnya yang sedang terbang di dalam kelas, ada anak yang duduk manis mengamati gerak ikan dan udangnya dalam stoples, dan terlihat juga beberapa anak yang sedang mengganggu monyet yang lagi makan roti di sudut kelas.

“Selamat pagi anak-anak, siap untuk berpetualang dan berburu hewan hari ini?”  ujarku.

 “Siap Pak” jawab serentak anak-anakku.

Suasana kelas kembali kondusif ketika ku ucapkan kata mantra sakti mandaguna yang telah kita sepakati bersama.

“Kelas IIIB” teriakku Lantang.

“Pasti tertib” jawaban anak-anakku sambil bergegas merapikan dan menangkap hewan peliharaan mereka dan kembali duduk ke singgasana kursi yang telah aku atur.

Kami memulai perburuan kami dari mengklasifikasikan hewan berdasarkan ciri morfologinya yang terdiri dari: cara bergerak, penutup tubuh, tempat tinggal, jenis makanan, bentuk gigi dan mulut, cara berkembang biak, dan alat pernapasannya, serta mereka diminta untuk menggambarkan hewan tersebut. Anak-anak terlihat sangat bersemangat ketika ku bagikan lembar kerja pengamatan kepada mereka. Mereka mulai mengamati hewan yang mereka bawa sambil sesekali tertawa dan menirukan gerakan konyol dari hewan tersebut.

Hari ini aku berasa pengembala hewan dalam kelas yang tangguh. Lirikan mataku juga semakin tajam seperti seoorang pemburu handal membidik hewan buruan ketika ku lihat hewan-hewan mereka ada yang bertindak aneh. Salah satu contohnya adalah ketika monyet yang tadinya duduk makan roti entah kenapa karena diganggu beberapa muridku tiba-tiba lari ke bawah kursi anak perempuan, spontan teriakan mereka memecah keheningan kelas observasi hewan. Dengan sigap aku ikut berlari, dan merangkak menangkap rantai monyet dari bawah kursi.

“Ok baiklah monyet, waktu kamu mengganggu  selesai” ujarku dalam hati disertai senyum antagonis seperti pemain sinetron, ketika aku berhasil menangkap rantainya .

Kami melanjutkan observasi walaupun sesekali lagi ku dengar teriakan anak-anak memangggil namaku karena ingin bertanya tentang  hewan yang mereka amati. Dari raut wajah anak-anaku terlihat mereka sangat senang dan menikmati pembelajaran kelas hewan hari ini. Hasil observasi ku minta anak-anak tuliskan pada lembar kerja yang sudah aku berikan dan kemudian dipresentasikan di depan kelas. Saat presentasi adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anakku, setiap kali ketika aku memberi instruksi untuk siapa yang berani maju duluan, biasanya anak-anakku akan berlomba-lomba menjadi yang pertama. Suasana ini sangat berbeda dengan apa yang aku bayangkan pada saat pembekalan materi belajar mengajar ketika di pelatihan. Awalnya aku berpikiran anak-anak yang tinggal di desa pedalaman akan lebih pemalu dan saling dorong-dorongan untuk maju menjadi yang pertama. Ternyata persepsiku salah untuk anak-anak di sekolahku. Mereka memiliki jiwa kompetitif yang tinggi.

Dari balik pintu dan jendela ku lihat juga murid dari kelas lain ikut memantau apa yang kami lakukan dalam kelas. Dan bahkan ada yang memaksa masuk ingin melihat langsung hewan yang dibawa oleh teman-temannya. Pemandangan ini sudah biasa terlihat di kelasku. Anak-anak di sekolahku sangat suka dengan pelajaran ilmu pengetahuan alam, hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan kecil yang sering mereka tanyakan mengenai hewan dan tumbuhan mereka kepadaku pada saat istirahat, seperti “Kenapa tonggeret bisa menghasilkan bunyi?, atau kenapa Durian berbuah berdasarkan musimnya?”. Bakat-bakat mencintai pelajaran ilmu pengetahuan alam ini sudah teruji cukup bagus ketika aku ikutkan tujuh orang anakku Olimpiade Sains Kuark  yang diikuti lebih dari 90.000 peserta se-Indonesia, hasil luar biasa semuanya masuk babak semifinal dan sekarang mereka sedang belajar menghadapi babak berikutnya.

Banyak hal dan pelajaran baru yang mereka dapat dari pengamatan ini, mulai dari mengetahui ternyata kaki semut ada enam, ikan bergerak dengan sirip yang mirip kipas, mata belalang ternyata besar, monyet makan buah dan kutu, hinga membedakan penggunaan kata bulu dan rambut untuk penutup tubuh hewan, dan lain sebagainya. Pembelajaran seperti ini menurutku adalah pembelajaran yang efektif untuk menumbuhkan kekritisan dan menjawab rasa ingin tahu dari anak-anak. Belajar dari hal-hal sederhana yang mereka temukan sehari-hari di lingkunganya tanpa harus membayangkan seperti yang tertera di buku teks mereka. Hari ini aku merasa kemampuan berbagiku mengalami kenaikan level yang cukup signifikan :D


Cerita Lainnya

Lihat Semua