Kejutan Pagi Pertamaku di Bawean

Wahyu Setioko 4 Juli 2012

                Minggu pagi, 17 Juni 2012, aku terbangun dari tidur lelapku setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta menuju pulau Bawean. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.10 WIB (Waktu Indonesia Barat), yang berarti pukul 05.40 WIS (Waktu Indonesia Setempat) disini. Aku beranjak dari tempat tidurku yang nyaman menuju kamar mandi sederhana khas pedesaan di belakang rumah keluarga baruku. Aku berwudhu dan kembali ke kamar untuk menunaikan shalat shubuh. Selepas shalat, aku segera merapikan barang-barang bawaanku dari Jakarta untuk setahun disini. Barang-barang yang cukup banyak bagiku dan beratnya mencapai 25kg. Satu per satu aku keluarkan barang-barang tersebut dan memindahkannya ke lemari kamar yang telah disediakan oleh ibu angkatku di Bawean.

                Tiga puluh menit berlalu hingga akhirnya aku menyelesaikan penataan barang-barangku di kamar. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Hanya beberapa detik setelah aku berada di dalam kamar mandi, aku mendengar gelak tawa banyak orang dari samping kamar mandi. Ah biar saja, pikirku. Mungkin masyarakat setempat sedang bercengkrama di pagi hari. Selang beberapa detik kemudian aku mendengar dengan jelas mereka meneriakkan namaku, “Mas Koko, mas kokooo”. Spontan aku terdiam dan memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan lebih tajam lagi. Namaku disebut lagi, “Pak Koko, pak koko”. Dengan handuk yang masih aku kalungkan, aku menghentikan aktivitasku dan memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dengan segumpal rasa penasaran dalam batinku. Ada apa di luar sana?

                Aku melihat pemandangan mengejutkan di luar. Ibu angkatku dengan 4 orang anaknya sedang berdiri disana bersama ibu tetangga dan 3 orang anaknya. Tampak juga seorang perempuan usia 60-an yang sedang duduk di dekat mereka. Mereka semua bersenda gurau sambil menatap pada satu objek yang sama. Aku mengalihkan pandanganku pada objek yang mereka amati. Sebuah lubang. Aku dekati lubang tersebut untuk mengamatinya lebih jelas lagi. Lubang seluas 2x1 meter tergali cukup dalam, sekitar 5 meter dalamnya menurut perkiraanku. Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan pengamatanku. “Itu kurang dalam pak koko tapi cukuplah untuk satu tahun”, seru seorang lelaki yang merupakan tetangga baruku. Lelaki tersebut bersama empat bapak-bapak lainnya tampak sedang berusaha keras mengangkat beton persegi panjang seluas ¼ luas lubang tersebut. “Untuk apa ini pak?”, tanyaku yang semakin heran. “Ini sedang buat lubang pembuangan wc, untuk pak koko”, seru salah seorang lelaki yang termuda. Aku hanya menganggukan kepala dan berkata “wah” sambil menahan haru dalam dadaku.  Aku terdiam dan untuk sesaat aku hanya memandangi mereka secara bergantian. Lubang pembuangan, bapak-bapak yang sedang gotong royong dengan ceria, serta ibu-ibu dan anak-anak kecil yang menontonnya sambil bercanda-canda.

                Dalam diamku, aku merasakan neuron-neuron dalam otakku mulai bersambungan, tanda bahwa aku berhasil merangkai satu pemahaman baru. Aku kembali teringat wc di dalam kamar mandi rumah baruku yang masih ditutup papan. Di luar sini ada sebuah lubang sedalam 5 meter yang berada tepat disamping kamar mandi. Di luar sini juga ada 5 orang laki-laki sedang bergotong royong dan berusaha keras menutup lubang tersebut dengan 4 buah beton persegi panjang. Tak lupa kumpulan ibu-ibu dan anak-anak yang menyemangati mereka dengan canda tawa. Serta kata-kata kunci yang aku dengar dari mereka, “lubang pembuangan”, “kurang dalam”, “cukup untuk satu tahun” dan “untuk pak koko”. Ya, aku mengerti sekarang. Pagi ini mereka semua sedang gotong royong membuat lubang pembuangan wc dari kamar mandi rumah baruku disini. Mereka yang telah bertahun-tahun menetap disini tanpa sebuah wc, kini membuatnya berfungsi. Dan itu hanya untuk aku selama setahun disini. Spontan pusat syarafku mengirimkan sinyal ke jaringan mata. Tiba-tiba mataku mulai sedikit basah. Aku panik sesaat dan langsung menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku. Aku tidak mau berlinangan air mata disini, saat ini. Tidak di depan mereka semua yang ceria melakukan sesuatu untukku.

                Aku tak mungkin diam saja melihat mereka semua bergotong royong untukku. Aku lantas berinisiatif untuk membantu mereka semua. Satu kali aku mencoba membantu, mereka bilang “tidak usah pak koko, biar kami saja”. Dua kali, tiga kali pun begitu. Hingga yang ke empat kali saat aku mencoba membantu kembali, salah seorang bapak mengatakan “sudah pak koko, tidak perlu, pak koko mandi saja, temui anak-anak yang menantikan bapak di sekolah nanti”. Baiklah, aku menyerah. Usahaku dikalahkan dengan apresiasi tinggi mereka terhadap guru. Sudah menjadi budaya disini bahwa guru sangat dihormati masyarakat karena gurulah yang mengajarkan anak-anak mereka. Sungguh luar biasa masyarakat Bawean. Mereka mengajarkanku satu hal penting, hormat kepada guru. Kapanpun, dimanapun, apapun bentuknya. Terima kasih masyarakat Bawean, terima kasih atas pelajarannya, terima kasih atas lubang pembuangan wc nya. Semoga aku betah setahun disini untuk membalas budi baik kalian. Sekali lagi, Terima kasih, Baweanku, Indonesiaku.

 

caption foto:

(bawah) Lima orang lelaki Bawean sedang gotong royong menutup lubang pembuangan wc yang mereka buat

(atas) Ibu-ibu dan anak-anak bersenda gurau sambil menyaksikan gotong royong pembuatan lubang pembuangan wc di samping kamar mandiku


Cerita Lainnya

Lihat Semua