Dari Polemik Gedung Baru Hingga Sikap Citoko Yang Makin Optimis

WAHYU NUR HIDAYAT 30 Juni 2012

Polemik antara DPR dan KPK tentang pengajuan pembangunan gedung baru KPK memang menyisakan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? KPK yang telah dianggap dewa oleh sebagian besar masyarakat, yang walaupun telat lahirnya sangat terasa langkah tindaknya dalam pemberantasan korupsi. Sehingga tak ayal lagi jika ada beberapa komponen masyarakat yang merasa terpantik dengan polemik ini.  

Masyarakat menganggap bahwa saat ini KPK sedang dihambat geraknya oleh DPR yang pada tahun-tahun belakangan, beberapa anggotanya tersangkut kasus korupsi dan berurusan dengan KPK. Suara semacam inilah yang sedang berkembang luas di masyarakat. Diperparah lagi beberapa kasus jual beli pasal, pengadaan sarana dan renovasi prasarana DPR hingga usulan pembangunan gedung baru DPR yang tergolong mewah.  

Sedangkan menurut DPR khususnya komisi III, permasalahan yang ada tidaklah semacam itu. Wacana yang berkembang di masyarakat diperoleh dari informasi yang kurang lengkap dan masih mentah. Kalau orang jawa bilang, “jarene jare”. Bukanlah langkah DPR untuk mempersulit dan bahkan menunda-nunda disetujuinya dana pembangunan gedung, namun DPR ingin memberikan opsi pengoptimalan prasarana pemerintah yang berstatus “quo” sebagai tempat kerja KPK dengan meminta KPK mencari terlebih dahulu gedung-gedung pemerintahan lainnya yang sekiranya bisa digunakan sebagai tempat kerja KPK sebelum memutuskan untuk membangun gedung baru.  

Bagi KPK sendiri menganggap hal ini sebagai ujian bagi instansinya. Bagaimana tidak, sudah dari tahun 2009 diajukannya dana pembangunan gedung baru namun sampai saat ini belum juga ada inisiatif positif untuk menyelesaikannya. Instansi Ad-Hoc dengan personil sekitar 700-an orang ini harus berjibaku dengan maling-maling profesional di seluruh penjuru negeri dengan satu kantor di Kuningan Jakarta, dan beberapa “kantor tumpangan” di instansi lainnya.   

Pertanyaan mendasar bagi semua orang negeri ini adalah bagaimana bisa mereka bekerja maksimal jika sistem alusistanya terbatas?. Yang pasti, KPK butuh tempat bernafas yang lebih luas dengan alusista yang mencukupi sehingga negeri ini tak perlu lagi punya Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi Komisi Pencegahan Korupsi yang sifatnya tak lagi kuratif, tapi preventif.  

Begitulah gambaran pemberitaan di TV pagi ini yang terangkum di benak saya setelah beberapa hari lamanya saya tak mendengar kabar apapun karena maklum di kampung belum ada listrik sehingga siaran TV pun menjadi suatu hal yang luar biasa bagi kami. Saya resapi kabar ini dan melakukan beberapa refleksi. Tetap di hadapan TV, sayapun berpikir tentang sikap pesimis terhadap bangsa gemah ripah loh jinawi ini. Begitu banyak sekali kabar-kabar negatif di luaran sana tentang kinerja yang kurang becus, penyelewengan sana-sini, selingkuh antar instansi hingga sikap skeptis terhadap permasalahan yang ada oleh pihak-pihak yang berwenang.   

Jika memang seperti itu adanya maka cukup kuat jika banyak rakyat yang mulai berpikir tentang dirinya sendiri, berpikir tentang keluarga dan golongannya saja dan tak menghiraukan masyarakat sekitar, bangsa apalagi negaranya. Bisa dibilang bahwa menjadi “pahlawan fakultatif” sudahlah halal menjamur.  

Bosan dengan perbincangan yang semakin mengelabu di otak, sayapun keluar rumah dan berjalan-jalan di area kampung. Melihat senyum dan sapa setiap orang yang lalu lalang membuat pudar rasa pesimis saya tentang bangsa ini. Di sudut Indonesia nun jauh dari keramaian kota masih pula tersimpan bulir-bulir semangat perubahan yang terselip di antara tumpukan jerami yang habis dipanen, sisa-sisa kopi yang tertuang di atas lepek para buruh tani dan teriakan kegirangan anak-anak yang sedang bermain dengan kerbaunya di pinggir kali.  

Dua hal yang sangat berbeda ini membuatku tertegun. Merefleksi diri bahwa semenjak kokok ayam dan sahutan adzan yang membangunkanku di waktu subuh. Mata air Gunung Endut yang memapahku untuk mengambil air wudhu sekaligus mandi karena letaknya yang cukup jauh dari rumah. Menikmati hidangan pagi yang sudah disiapkan abi dan umi (house family) di rumah. Bercengkrama dengan tetangga yang hendak pergi ke kebun balik bukit. Dan menyapa beberapa buruh tani yang mulai sibuk berangkat ke sawah untuk memanen padi milik juragan. Pagi yang begitu indah dan nyaman di kampung.  

Refleksi tadi secara tak langsung menghapus semua rasa dan sikap pesimis serta skeptis saya terhadap semua permasalahan yang ada di bangsa ini. Suntikan role kehidupan yang begitu harmonis dalam simphoni yang dinamika yang ada membuat harapan-harapan baru tentang optimisme perubahan ke arah yang lebih baik.  

Seminggu yang lalu, dalam 2 kesempatan dengan tujuan yang berbeda, kampung ini kedatangan 2 tokoh yang berpengaruh di tingkat kabupaten. Beliau adalah Bpk. Amir Hamzah, Wakil Bupati Lebak dan Bpk. Ade Nurhikmat, Kadiknas Lebak. Bagi kampung yang letaknya di puncak bukit Gunung Endut, kehadiran sosok pimpinan di level kecamatan saja sangat dielu-elukan apalagi pada minggu kemarin yang datang adalah tokoh di jajaran tertinggi kabupaten. Ibarat hujan emas.  

Kampung ini bisa dibilang cukup terisolir dan tertinggal mengingat letaknya yang hanya 3 jam dari pusat ibukota Jakarta, menikmati listrik dan kuatnya sinyal telepon saja susahnya minta ampun. Apalagi dengan akses jalan yang cukup sulit, berbatu dan menanjak membuat dalam setahun bisa dihitung jari berapa kali petugas kecamatan maupun kabupaten yang singgah ke Citoko.  

Hanya fisik yang terisolir, tapi semangat dan harapan tidak. Itulah yang tergambar dari Kampung ini. Dalam 2 tahun terakhir, kampung ini mulai berbenah. Dimulai dengan rangsangan di bawah kepemimpinan Pak JB (Jayabaya), Bupati Lebak dengan dibangunnya 3 ruangan kelas untuk SDN 2 Pasir Haur, sumbangan dana pembangunan diniyah Kampung Citoko hingga pengaspalan jalan dari kampung siangin sampai kampung gunung haur membuat warga Citoko optimis terhadap kemajuan kampungnya.  

Sebenarnya keinginan masyarakat tidaklah rumit. Mereka hanya ingin adanya perhatian para pimimpinannya untuk tidak sekedar mempunyai rasa simpati tetapi juga empati terhadap kehidupan rakyatnya. Hal ini diwujudkan bahwa dengan adanya upaya untuk memberikan program rangsangan kepada rakyat yang selanjutnya rakyat sendirilah yang menentukan langkah ke depannya. Sehingga antara pimpinan dan rakyat terdapat sinergi yang saling mempercayai, menguntungkan demi kemajuan bersama. Dan hal ini telah tercermin di Kampung Citoko, Lebak-Banten.  

Setiap orang pasti punya beragam catatan tentang carut marut permasalahan bangsa ini. Saya rasa bukan waktu yang tepat untuk kita selalu membicarakan masalah-masalah itu dengan nada yang pesimis, inilah sebenarnya waktu yang tepat bagi kita untuk mencoret satu persatu catatan tersebut dengan semangat optimisme. Masyarakat sudah tergugah mengumpulkan sumbangan untuk pembangunan gedung baru KPK, DPR sudah mulai terbuka dan memunculkan inisiatif positif bagi permasalahan tersebut dan KPK sudah menyiapkan rencana perjalanan selama 3 tahun ke depan. Sedang di Citoko, bupati serta jajarannya selalu berupaya untuk merangsang rakyatnya untuk bisa hidup sejahtera dan masyarakat citokopun mulai membuka wawasan dan terlibat aktif dalam pembangunan yang telah teragendakan, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Dan sayapun semakin yakin bahwa memang ada segelintir orang yang menggemakan nada pesimis, namun jauh lebih banyak orang yang walupun volume suaranya kecil, namun semangat, jiwa dan raganya optimis tentang perubahan hidup yang lebih baik.


Cerita Lainnya

Lihat Semua