info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

WIWO!

Veronica Turnip 4 April 2017

Kampung Marau adalah salah satu kampung yang berada di Distrik Yapen Barat. Salah satu pengajar muda asal Muara Enim dilempar ke daerah tersebut untuk mengabdi selama satu tahun.Aku sendiri yang tinggal di Ansus sering berkunjung ke penempatan temanku ini, karena jarak antara Ansus dan Marau hanya membutuhkan waktu tidak sampai 30 menit, dengan perahu dayung atau perahu motor. Marau sendiri berarti ‘pergi ke laut’.

Sabtu sore, 25 Maret 2017, rekan – rekan satu kabupaten dan rekan kami dari pengadilan negeri Serui, tiba – tiba memberikan kejutan bagiku. Mereka berkunjung ke penempatanku tanpa informasi sebelumnya. Ada rasa kaget, tetapi aku senang juga karena mereka berkunjung ke gubuk kecilku ini. Malamnya, kami berempat berdiskusi untuk mengunjungi teman kami di Marau. Kami meminta bantuan bapak piaraku untuk mengantar kami semua.

Tibalah hari Minggu siang, saat jam rumah menunjukkan angka 2, kami sudah mulai bersiap – siap untuk pergi. Perahu semang satu setia menemani perjalanan kami selama 30 menit. Rute yang kami lewati merupakan rute yang teduh, melewati hutan – hutan bakau yang baru dire-planting. 30 menit menyusuri lintasan hutan bakau, kami akhirnya sampai di daerah yang terkenal dengan gunungnya yaitu Gunung Tata.

Teman kami, El Rizki Jazwan sangat terkejut melihat kami tiba – tiba datang, ya sama halnya seperti diriku kemarin. Rizki, sebutannya di kampung, mengajak kami menyimpan tas di kamarnya. Kami beristirahat sebentar, dan Rizki mengajak kami berkunjung ke sanggar seni yang baru dibentuk oleh masyarakat. Kamipun mengiyakan ajakannya, karena aku sendiri penasaran dengan bentuk dan kondisi sanggar tersebut. Kami meminta izin kepada mama piara Rizki, dan langsung memakai kasut kami.

Marau agak mirip dengan kampung – kampung di Jawa. Daratannya cukup luas dan rumah – rumah dibangun di atas tanah yang berpasir. Kami ditemani oleh anak – anak, mereka berlarian, dan tiba – tiba mengandeng tangan. Mungkin karena karisma kami yang sudah seperti orangtua.

Tak lama, kami sampai di sanggar. Rizki mengajak kami untuk bertemu dengan Tete Erens Wombaibabo, pendiri sanggar seni di Marau. Kami berbincang – bincang dengan beliau, lalu tiba – tiba tete (sebutankakek) pergi ke dalam rumah, dan segera menunjukkan hasil – hasil kesenian khas Papua, ada mahkota Papua, alat timba air, tifa, tas noken, dan sebagainya.

Sekilas aku melihat perawakan tete yang tinggi, kurus, dan beruban putih, tetapi masih terlihat muda dan energik. Kami meminta izin beliau, mencoba mahkota khas Marau di kepala. Lensa kamerapun siap untuk mengabadikan momen – momen saat itu. Tete mengatakan bahwa mahkota – mahkota tersebut dapat kami bawa pulang, tentunya kami menyambutnya dengan senang, ya nanti kami tunjukkan kepada orang – orang di pulau Jawa.

Mata kamipun tertuju pada papan di depan rumah sanggar seni, bertuliskan “SANGGAR WIWO”. Kamipun bertanya tentang makna yang terkandung didalam nama tersebut. Tete Erens menjelaskan WIWO dalam bahasa Marau berarti ‘berbagilah!’.Nama ini memiliki harapan, supaya masyarakat Marau dapat saling berbagi, sehingga seni dan budaya di kampong tersebut tidak hilang. Beliau menjelaskan bahwa sanggar dan isi di dalamnya merupakan hasil gotong royong masyarakat, sehingga bisa terbentuk walaupun masih sederhana.

Setelah berdiskusi, tete menawarkan kami untuk masuk ke sanggar. Beliau mengambil kunci, lalu bergegas membuka pintu sanggar yang masih tertutup rapat. Kamipun segera disuguhkan dengan tifa – tifa Papua yang digantung di dinding – dinding sanggar. Tak lupa, kamera yang setia menemani, kami keluarkan untuk segera memotret momen bahagia kami. Kami menggunakan mahkota, noken, dan memegang tifa yang lumayan berat. Satu, dua, tiga, cis kacang buncis!,memori kamera seketika terisi oleh gambar – gambar kami bersama tete Erens.

‘Wiwo’, nama ini bukan hanya untuk memenuhi persyaratan mendirikan sebuah sanggar seni, tetapi lebih dari itu, mengandung doa dari tete dan masyarakat, bahwa masyarakat di Marau, Papua, dan Indonesia, bias saling berbagi. Berbagi tidak hanya melulu mengenai materi, tetapi berbagi pengalaman di bidang seni atau yang lainnya dapat juga kita lakukan.Hari itu, aku belajar dari sosok tete Erens. Semoga tete tetap berbagi berkat dan menjadi berkat. Amin. WIWO!


Cerita Lainnya

Lihat Semua