info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

I CAN

Veronica Turnip 3 April 2017

Anak – anak di Ansus, Yapen Barat, merupakan anak – anak yang kreatif. Mereka menggunakan bahan – bahan apa saja untuk dijadikan alat bermain. Aku pernah menemui anak yang membuat mobil – mobilan dari karton minuman ringan, pedang – pedangan dari kayu, ketapel dari kayu dan bekas sandal, dan sebagainya.

Hari Kamis, 23 Februari 2017, aku berencana akan memanfaatkan kreatifitas mereka untuk membuat alat musik sederhana. Ide yang muncul di otakku ini cukup banyak, mulai dari ukulele dari karton bekas tissue, botol – botol bernada, atau kaleng ‘ecek - ecek’. Kemarin – kemarin, aku sudah mengajarkan mereka ‘sisir harmonika’selama 3 minggu, dan setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak anak – anak membuat kaleng ‘ecek - ecek’.

Senin, 27 Maret 2017, aku sudah mulai memberikan perintah kepada anak – anak untuk membawa kaleng bekas yang kecil atau botol pada hariKamis. “Anak – anak, dari sekarang, ko semua cari kaleng atau botol yang kosong yo. Hari Kamis, tong mau bikin alat musik. Bisa toh?”, tanyaku pada mereka. “Kaleng apa ibu?”, tanya Sabet. “Iyo kaleng apa saja. Kaleng yang kecil saja. Ko jang bawa kaleng – kaleng cat yang besar. Kalau tra ada kaleng, ko bawa botol saja”, jelasku. Selasa dan Rabu, aku juga tidak lupa mengingatkan mereka tentang tugas yang perlu mereka perhatikan ini. Tiga hari itu, anak – anak sibuk mencari kaleng – kaleng atau botol – botol kosong di kios atau pasar. Sesekali, mereka tunjukkan dulu kepada diriku untuk meyakinkan diri mereka jika mereka tidak salah membawa kaleng atau botol pada hari Kamis nanti.

Hari Kamis, tiba waktunya bagi kami untuk berkreatifitas. Pelajaran dimulai dengan sembahyang dan salam. “Anak – anak, kaleng atau botol yang kemarin ibu suruh bawa, su dibawakah?”, tanyaku. “Sudah, ibu”, teriak mereka sambil mengangkat ke atas kaleng atau botol yang mereka telah siapkan. “Kalian tahukah, ibu suruh bawa kaleng untuk apa?”, tanyaku lagi. “Kan kemarin ibu bilang, tong mau bikin alat musik toh”, jawab Nason. “Iyo betul. Coba ko lihat ibu”, pintaku sambil membunyikan kaleng yang sudah ku isi dengan kerikil – kerikil kecil. “Bunyikah tidak?”, tanyaku. “Bunyi, bunyi!”, jawab mereka. “Kenapa kaleng bisa bunyi?”, tanyaku lagi. “Su ada batu dalam kaleng”, jawab Salman. “Iyo betul. Nanti ko semua keluar kelas. Ko isi kaleng atau botol yang ko bawa dengan batu – batu kecil yang ada di lapangan. Isi jangan banyak – banyak. Isi sampe dia pu bunyi bagus. Bisa toh?”, jelasku sambil ke iring anak – anak keluar dari dalam ruangan.

Mereka segara berhamburan di lapangan. Mereka mencari dan mengisi kerikil – kerikil ke dalam media musik mereka. Tahap pertama sudah selesai, aku ajak mereka kembali duduk dengan tenang di dalam ruangan. “Su jadi semuakah?”, tanyaku. “Sudah ibu”, jawab mereka. “Sekarang ko kasih dia bunyi seperti ibu tadi”, perintahku. Mereka segera menggoyang – goyangkan hasil karya mereka, dan akupun mulai menekan tombol video di atas kameraku. Saat itu kelas satu terdengar hingar bingar dan ceria.

“Baik, nanti tong keluar ambil daun – daun yang su jatuh yang masih kuning untuk lapis kaleng, biar kaleng jadi bagus”, perintahku menggiring mereka keluar kelas lagi. Aku sibuk memotret momen – momen mereka terlihat sibuk ke sana dan sini untuk mencari daun – daun, bahkan mereka saling tolong menolong. “Ibu, sudah. Tong masukkah?”, Nason tiba – tiba menghentikan kegiatan potretku. “Iyo, tong masuk sudah. Masuk kelas, daun letakkan di atas ko pu meja yo”, perintahku dan mereka semuapun masuk.

“Su ambil daun semua?”. “Sudah ibu”. “Baik, sekarang ko lapis ko pu kaleng dengan daun – daun itu. Pakai karet, biar tra lepas – lepas”, perintahku kepada anak – anak yang masih berenergi ini. Tangan – tangan kecil mereka seketika melahap kaleng – kaleng itu dengan cepatnya. Mereka membalut kaleng dengan kreasi mereka masing – masing, dan aku hanya memusatkan perhatian pada kamera kecil yang ku pegang. Terlihat mereka begitu serius dan kadang aku tertawa melihat raut wajah kecil yang berkonsentrasi pada karya seninya. “Ibu, punya sayasu jadi. Buat apa lagi, ibu?”, tanya Mindan. “Letakkan saja di ko pu meja ya, nanti tong nyanyi pake itu”. Aku juga melihat kerja sama mereka. Mereka saling membantu untuk menyelesaikan karya sesama mereka. Tak butuh waktu lama, karya seni dari kaleng dan botol bekas sudah jadi. Lantunan lagupun, kami dendangkan dengan diiringi kaleng ‘ecek - ecek’ sederhana.

Kreatifitas adalah kebiasaan yang baik yang perlu dikembangkan. Dari barang – barang bekas dan bahan – bahan alam, bisa menjadi area bermain dan belajar. Pembiasaan mengajar mereka bahwa keterbatasan tidak boleh membatasi pengembangan diri mereka.

Aku bercerita tentang Ludwig van Beethoven, yang memiliki keterbatasan fisik tetapi bisa berkarya melalui musik dan beliau menginspirasi banyak orang. Saya mengajarkan kepada mereka bahwa keterbatasan ekonomi, jarak, transportasi tidak boleh menjadi pembatas impian – impian besar yang dimiliki oleh mereka. Kaleng – kaleng ini mengajarkan kami bahwa kami bisa ‘I CAN’, ‘WE CAN’.


Cerita Lainnya

Lihat Semua