Pion – Pion Harapan Ansus

Veronica Turnip 3 April 2017

Pernahkah terbayangkan bagimu bisa bermain dan bercerita dalam waktu yang lama dengan anak – anak di daerah Papua? Aku pernah membayangkan tentang hal ini. Dulu, aku berpikir ‘betapa kasihannya mereka, anak Papua yang ketinggalan teknologi dan informasi’. Pernyataan ini muncul karena dangkalnya pengalamanku bersama – sama anak – anak mutiara hitam ini, sehingga aku ingin mencoba mengalami dan melihat sendiri, baru akan ku katakan kepada dunia luar tentang mereka.

Aku bersyukur diberikan kesempatan oleh Tuhan, mengalami kondisi yang berbeda dengan Pulau Jawa selama satu tahun ini, dan ini akan menjadi bingkisan cerita bagi keluargaku nanti, bahwa duduk diam mengutuki nasib yang malang bukan menjadi pilihan yang harus diambil.

Anak – anak kelas satu, biasanya Jumat pagi akan langsung mengenakan seragam olahraga yang berwarna cerah. Beruntungnya lagi, langit sangat cerah, menambah semangat kami untuk memulai pelajaran hari itu. Aku biasanya akan membariskan anak – anak penuh energi ini, di depan kelas untuk melakukan pemanasan. “Pegang pinggang, lalu gerakkan kepala ke kanan ke kiri”, perintahku sambil ku peragakan dengan baik agar anak – anak mengikutiku.

Kamis sore, aku sempat bingung memberikan praktek olahraga yang mana lagi kepada mereka. Aku langsung membongkar peralatan olahraga sekolah. Mataku tertuju pada papan – papan catur yang masih dibalut dengan plastiknya. Papan itu memberikan ide baru bagiku untuk memberikan suasana olahraga yang baru bagi mereka yaitu ‘olahraga otak’ yang tenang. Ya selama ini olahraga yang kuberikan biasanya berfokus di luar ruangan dan membutuhkan tenaga dari otot yang lebih besar, sehingga jadilah Jumat itu, aku membawa papan – papan catur.

Pemanasan dilakukan hanya sebentar saja. Aku langsung menggiring anak – anak untuk masuk ke dalam ruangan. “Anak – anak, pemanasan telah selesai. Sekarang, tong masuk. Tong mau belajar yang baru”, perintahku dan segera mereka berlarian memasuki kelas. Anak – anak duduk rapi di bangku mereka, dan aku mulai mengeluarkan papan – papan catur yang masih aku sembunyikan di dalam tas ranselku.

“Anak – anak, ada yang tahu ibu bawa apa ini?”, tanyaku. “Wah itu catur toh ibu?”, tanya Mindan Aronggear. “Iyo ini catur. Beri tepuk dua untuk Mindan dulu! Ada yang tahu cara main catur?”. “Sa pu bapak tahu, ibu”, sahut Miler Matatar. “Aduh Miler. Ibu tanya ko semua, bukan ko pu mama, ko pu kakak. Hahaha”, jawabku. Anak – anak kelas satu ini memang kadang menjawab diluar pertanyaan yang ku berikan. “Sa tra bisa, ibu”, jawab mereka serempak. “Kalau begitu tong sekarang belajar main catur dulu yo? Nanti ibu yang ajar. Sekarang ko pilih ko mau main dengan teman yang mana. Mainnya satu lawan satu yo. Ambil meja ke depan sama kursi dua. Main pertama Musa dan Yumaikel”, jelasku. Anak – anak melakukan perintahku dengan gesit.

“Sekarang tong susun dulu. Yumaikel dapat bidak catur yang hitam, Musa dapat yang kuning”, perintahku sambil membantu mereka menyusun catur – catur di atas papan. Ku ajarkan cara meletakkan pion – pion, raja, ratu, kuda, dan sebagainya sampai semuanya tersusun baik dan benar. Kami melakukan suit gunting batu kertas untuk menentukan pemain pertama.

“Pion itu jalannya begini, kuda jalannya begini, kamu bisa makan dia punya kalau begini. Ko kalah kalau ko pu catur raja kena makan”, begitu penjelasanku sambil ku peragakan selama permainan. Sepanjang permainan, anak – anak merasa senang dan bahagia. Kadang mereka menoleh kepadaku untuk menyakinkan cara mereka bermain benar atau salah. Aku bertugas untuk mengarahkan mereka dengan baik, maklum mereka baru pertama kali diajarkan bermain catur. Permainan sangat sengit dan saling rebutpun sering terjadi. Aku hanya menegahkan dan bertindak layaknya wasit di arena pertandingan.

Semua anak – anak telah selesai bermain. Aku mengakhiri olahraga hari itu dengan mengemas kembali papan – papan catur pada posisi semula. Aku mengajak mereka untuk duduk rapi dan tenang. Kakiku berdiri di depan anak – anak, dan aku mencoba mengetahui perasaan mereka setelah belajar catur.

“Bagaimana, kitong tadi olahraga. Olahraga catur yang tra perlu capek – capek. Ko senangkah tidak?”, tanyaku. “Senang”, jawab mereka. “Tadi itu catur yang kecil, dia pu nama apa e?”, tanyaku kembali. Semua anak hening, karena mereka lupa sebutan bagi catur – catur yang berukuran kecil dan selalu berada di posisi depan tersebut.

“Wah, masa su lupa. Ini namanya pion. Ini namanya apa?”, jelasku sambil mengangkat salah satu pion. “Pion, ibu”, teriak Mindan dengan keras. “Nah pion ini selalu berada di depan. Pion itu jumlahnya banyak dan kecil – kecil. Dia pu tugas sama catur – catur yang lain buat jaga raja. Ko semua mau jadi pionkah atau raja?”, tanyaku kembali. “Raja, ibu”, jawab Salman, Agus, Mindan, Sabet.

“Wah ko semua mau jadi raja ya. Itu sangat bagus, tapi kalau ko nanti jadi pion – pion saja, jangan sedih. Pion – pion itu juga baik, dia jaga raja, paling depan lagi. Ko semua ini pion – pion yang masih kecil tapi harus tetap belajar, seperti pion catur ini. Jangan malas – malas, sekarang tra bisa, harus belajar biar nanti bisa. Ibu nanti mau lihat ko yang masih kecil – kecil ini jadi tentarakah, dokterkah, mantrikah, suster, guru kaya ibu, atau kalau bisa jadi presiden. Bisakah tidak?”. “Bisa!!!”, teriak mereka serentak.

"Kalau ada yang su bisa dan pintar, bisa ajar teman yang belum bisa. Biar sama - sama pintar toh. Seperti pion catur ini, dong kecil tapi dong banyak dan baku bantu, supaya dong pu raja tra kalah toh? Oya siapa yang mau menjadi pemain catur yang hebat. Nanti bisa main catur ke Jawa, Sumatera, kemana – mana?”, tanyaku. “Sa ibu”, hampir kebanyakan anak mengangkat tangan dan menyahut. Aku hanya bisa mengaminkan segala impian mereka tersebut.

Jumat itu, aku dan anak – anak tidak hanya belajar strategi bermain catur, tetapi belajar bersama – sama pion catur. Anak – anak Ansus adalah pion – pion harapan Ansus, walaupun terlihat kecil dan lemah seperti pion. Tugas kita adalah mengarahkan mereka dengan baik, agar menjadi raja atau pemimpin yang bijaksana di depan masyarakat Ansus, Yapen, Papua, Indonesia, dan Internasional. Pion – pion harapan Ansus, pion – pion harapan kami, teruslah belajar, dan kami akan terus bekerja bagi kalian.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua