Petikan Irama Kebangsaan di Sudut Papua

Veronica Turnip 3 April 2017

Kenegaraan dan kebangsaan adalah materi yang senang ku bagikan dengan anak – anak di sekolah. Alasan klasiknya adalah minimnya pengetahuan mereka akan negara, bangsa, dan budayanya sendiri. Pelajaran yang paling ku sukai adalah seni budaya dan keterampilan, serta muatan lokal. Bagiku, kedua pelajaran ini sangat mengusir kebosanan sejumlah anak kelas 1 yang sedang belajar mencoba mengerti huruf dan membaca ini. Aku mencoba mengolahnya dengan 'apik' agar anak – anakku mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang baru tiap waktu.

Mulai dari senin kemarin, aku sudah sibuk mencari gitar untuk mengajarkan lagu – lagu kebangsaan Indonesia. Aku berjalan berkeliling ke rumah masyarakat dan kios – kios di pasar. “Selamat pagi, bapak. Bapak, sa mau tanya, apakah bapak ada gitar. Sa mau pinjam hari Kamis untuk ajar anak – anak?”, tanyaku. “Tara ada ibu. Adanya 'juklele' (sebutan ukulele yang dibuat sendiri oleh masyarakat dengan menggunakan bahan senar pancing dan balok yang dibentuk ukulele)”, jawab salah satu bapa. Terus ku berjalan bersama dengan beberapa anak, aku tak ingin menyerah karena aku sudah lama janji dengan anak – anak. Aku sempat menyerah, tapi ya namanya sudah 'kadung janji' (kata orang jawa), tetap harus diusahakan. Titik terangpun datang dalam perjalananku ini. Pedagang kios yang dekat dengan gedung klasis Yapen Barat, ternyata mempunyai gitar yang cukup baik bodynya dan masih aduhai suaranya. “Pak, apakah saya boleh meminjam gitar bapak hari Kamis. Saya mau mengajarkan anak – anak dengan gitar”?, tanyaku. “Oh boleh, ibu guru. Hari Kamis ambil saja”, jawab beliau dengan ramah. “Iyo, bapak. Terimakasih, bapak”, balasku.

Kamis pagi, perahuku telah sandar di jembatan pasar. Aku segera bergegas menuju kios tersebut. Bukan karena perut keroncongan, tetapi karena tak sabar mengajar anak – anak kelas 1 tentang gitar dan lagu – lagu kebangsaan mereka. Teringat 3 malam, aku berlatih menghafalkan kunci – kuncinya, yang lumayan rumit bagiku. “Selamat pagi, pak. Permisi, saya kemarin yang mau pinjam gitar, pak”, sapaku. “Oya, bu. Ini, bu, gitarnya su saya siapkan”, kata bapak itu. “Ya, pak, saya pinjam dulu. Nanti pulang sekolah, saya kembalikan”, kataku. Berjalan diriku dengan tas yang ku gendong dan gitar yang ku peluk, dan tentunya ditambah energi semangat. Anak – anak yang sudah berdiri di depan kelas yang masih tertutup, sibuk bertanya kepadaku. “Ibu, itu gitar siapa?”, dan sebagainya.

Aku buka kunci pintuku, mengajak anak – anak untuk masuk, dan ku tutup lagi pintu. Tasku dan gitar itu, ku letakkan di atas meja, dan aku berdiri di depan kelas. “Anak – anak, kalian ingatkah, kemarin ibu sudah berjanji untuk membawa dan mengajarkan bermain gitar?”, tanyaku. “Iyo, ibu”, teriak anak – anak serentak. “Baiklah, sekarang, coba ibu tanya ini namanya apa?”, tanyaku sembari tangan menunjukkan senar – senar gitar. “Senar nilon, bu”, jawab Salman Maay. “Hahahaha……iyo ini senar tapi tra pake nilon, Salman”, jawabku. “Senar gitar itu tebalnya beda – beda. Coba Ko semua lihat senar yang bawah dan atas. Samakah tra ada?”, tanyaku sembari berkeliling menunjukkan senar – senar tersebut. “Tra sama, ibu”, jawab Elisabet Tata sambil memegang senar – senar tersebut. “Iyo betul. Kenapa senar – senar ini tra sama?”, tanyaku. Anak – anak hanya diam, tidak mengerti kata – kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku ini. “Tra ada yang jawabkah?. Baik, coba ko tengok Brian dan Putri! Dong dua bedakah tidak?”, tanyaku. “Beda ibu”, jawab mereka. “Bedanya apa, anak – anak?”, tanyaku kembali. “Putri itu perempuan, tapi Brian itu laki – laki”, jawab salah satu anak kelas satuku. “Iyo betul. Ada perempuan dan ada laki – laki. Terus, dong dua beda agama. Putri itu muslim dan Brian itu Kristen. Tapi dong dua tetap menjadi teman toh?” jelasku. “Iyo ibu”, jawab mereka seolah mengerti dengan penjelasanku. “Senar – senar ini mirip dengan dong dua dan kitong. Senar – senar ini ada yang tebal ada yang tipis, biar suaranya indah. Nah kitong ini ada ibu dari Jawa, ko dari Papua, Butung, Manado, Batak, Islam, Kristen, Katolik, perempuan, dan laki – laki, itu juga beda – beda, tapi Tuhan buat beda supaya kitong bisa jadi indah. Kitong harus hormati perbedaan, tra usah ribut – ribut, nanti Tuhan lihat tong jadi jelek toh?”, jelasku kepada anak – anak kecil yang mungkin belum mengerti konsep seperti ini. “Jadi mau ributkah atau damai?”, tanyaku. “Damai, ibu”, jawab anak – anak.

“Baik, sekarang, ibu akan mengajarkan lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila. Nanti ko maju dua – dua ke depan. Bisa toh?”, tanyaku. “Baik, ibu”, jawab mereka. “Oya, sebelum tong nyanyi, ibu mau tanya. Siapa yang tahu penggarang lagu Indonesia Raya?”, tanyaku. Anak – anak saling melirik dan mencoba mencari jawaban dari setiap mata teman – temannya. “Tra tau bu”, jawab Miler Matatar dengan malu – malu. “Tra ada yang tahu? Bapak WR Supratman yang menggarang lagu INDONESIA RAYA. Indonesia ini merdeka itu susah apa. Pejuang – pejuang, dorang ada yang su mati, kena tembak, tinggalkan dong pu keluarga. Tapi karna dorang, tong sekarang bisa merdeka. Pergi kemana – mana, tra lagi takut – takut seperti dulu. Jadi kalo su merdeka, harus damai – damai, tra boleh benci – benci lagi yo. Nanti Tuhan marah kitong kalo kitong baku tengkar terus. Mengertikah tidak?”. Jelasku kepada mereka. “Mengerti”, teriak mereka. Aku tidak tahu benar, mereka paham dengan yang ku katakan atau tidak. Aku mengharapkan mereka mengerti arti perkataan dari ibu guru jawanya ini. Ku siapkan jemari – jemari tanganku untuk memetik senar, mulut mulai melantukan lirik – lirik lagu kebangsaan karya WR. Supratman, ‘INDONESIA RAYA’ dilanjutkan ‘GARUDA PANCASILA’. Tak lupa juga ku berikan titah kepada Nason Jems Maay untuk memotret kami semua. Kami berlatih dua sampai tiga kali, lalu aku memanggil anak – anak untuk maju ke depan kelas dan melantunkan lagu ini dengan lantang :

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku

Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku

Marilah kita berseru, Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku

Bangsaku, rakyatku, semuanya

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya

Untuk Indonesia raya

Indonesia raya, merdeka, merdeka, tanahku, negriku yang kucinta

Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya

Indonesia raya, merdeka, merdeka, tanahku, negriku yang kucinta

Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya.

Pagi itu, petikan irama kebangsaan, kami dendangkan dan hayati. Aku tidak tahu persis, perasaan mereka menyanyikan irama – irama kebangsaan, tapi bagiku mengajarkan anak – anak tentang negara, bangsa, dan budaya Indonesia melalui nada dan irama adalah hal baik yang tak perlu ditunda. Anak – anak Papua, dendangkanlah irama dan nada kebangsaan Indonesia melalui semangat belajar dan prestasimu. Indonesia Raya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua