AWAL PERUBAHAN BAGI KAMI ( TABUNGAN IMPIAN ) : II

Veronica Turnip 9 Januari 2017

-LANJUTAN-

Siang itu saat matahari sangat terik, kami pulang dan akan kembali lagi nanti sore untuk les. Saya biasanya tidak kembali ke rumah karena ada les sorenya, dan lebih memilih berkunjung ke masyarakat di pasar atau di kios – kios.

Siang itu di sela – sela penantian, saya memutuskan untuk bersilahturahmi ke rumah anak – anak saya untuk sekedar membagikan impian sederhana saya ini. Siang itu saya tapaki jembatan yang cukup menantang.

“Ibu, ibu mau kemana?”, tanya Elisabet. “Ibu, mau ke ko dan teman – teman pu rumah toh”, balas saya dengan senyum. Saya dan anak – anak berjalan bersama dan hal ini menambah semangatku. “Ibu, awas!, e ko ambil dulu papan itu. Nanti ibu guru jatuh”, suruh Musa kepada teman – temannya yang lain sambil meletakkan papan tambahan pada bagian jembatan yang telah rusak. Saya melewati jembatan bantu yang anak – anak ini buat dengan hati – hati. “Terimakasih e”, ucap saya sambil merangkul tangan di pundak mereka.

“Selamat siang, ibu, salam saya pada orangtua Amarce Kayoi, salah satu murid saya. “Selamat siang, ibu. Mari duduk disini, ibu”, balas mama Amarce ini. “Iyo, ibu, terimakasih, ini saya ada rencana bagi anak – anak kelas 1 untuk menyimpan uangnya di bank. Saya sudah mengajak anak – anak juga di sekolah tadi”, jelas saya.

“Oh pantas saja tadi Amarce minta uang untuk tabung di bu guru katanya”, ucap ibu amarce ini. “Oh iyokah ibu? Sa tadi su tanya pihak bank. Bapak Djopari bilang ada tabungan untuk anak – anak yang namanya Simpanan Pelajar atau SIMPEL. Pembukaannya hanya Rp 5.000,00 dan selanjutnya bisa menabung minimal Rp 1.000,00, dan syaratnya hanya kartu keluarga atau KTP orangtua murid”, jelas saya pada beliau.

“Iyo sudah ibu. Itu su bagus itu. Berarti nanti setiap hari sa kasih uang ke Amarce untuk di tabung”, ucap istri dari pegawai distrik Wonawa ini. “Iyo ibu. Terserah ibu mau kasih berapakah terserah saja. Oya, apa ibu ada Kartu Keluargakah?”, tanya saya. “Ada ibu, sebentar sa ambil dulu”. Beberapa saat kemudian, ibu ini datang dengan membawa kartu yang saya minta, “Ini ibu”. “Baik ibu, terimakasih banyak. Besok baru sa buat ya. Sa pamit dulu mau ke rumah – rumah yang lain”, ucap saya mengakhiri pembicaraan siang itu. “Iyo ibu. Sama – sama”, balas ibu murid saya ini.

Saya melangkah lagi menapaki jembatan dan mendayung untuk bersilahturahmi dengan orangtua yang lain. Anak – anak juga mengikuti saya dan  selalu membantu ketika saya kesulitan untuk melewati jembatan atau mendayung perahu semang satu.

Saya jelaskan impian ini kepada orangtua – orangtua, dan mereka menyambut baik impian ini. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa perubahan pasti akan terjadi walau kita tidak akan pernah tahu membutuhkan waktu yang cepat atau lama.

Tak disangka waktu telah menunjukkan jam tiga sore, sehingga saya memutuskan untuk kembali ke sekolah karena anak – anak telah menunggu temannya ini untuk mengajar mereka.

Sore itu aktivitas saya berakhir jam 5 sore dengan tujuh harapan baru, karena besoknya terbentuklah 7 tabungan yang baru dari 7 anak – anak, dan beberapa orangtua yang tidak mempunyai kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, mereka menabung kepada saya. Mungkin ada yang bertanya “Kok hanya 7?, Kan muridmu ada 30 anak”.

Jumlahnya tidak penting bagi saya tetapi perubahan kecil ini yang terpenting.  Orangtua murid lebih rajin datang ke sekolah untuk sekedar memberikan uang tabungan anak – anaknya, dan hal ini membuat saya lebih dekat dengan mereka. “Ibu, ini uang tabungan Sarina”, “Ibu, hari ini Amarce kasih uang tabungankah?”, “Ibu, hari ini Putri tidak menabung karena belum ada uang”, dan sebagainya.

Kalimat – kalimat percakapan inilah yang selalu saya dengarkan setiap hari. Inilah impian kecil yang saya bagikan kepada seluruh orangtua dan masyarakat Ansus untuk merencanakan tabungan masa depan agar uang mereka tidak habis dalam satu hari.

Hari ini adalah awal perubahan bagi kami yang akan selalu kami usahakan untuk tetap berjalan dengan baik. Saya percaya sesulit apapun impian itu pasti ada jalan untuk mewujudkannya dengan berdoa dan berusaha.

“Mengubah kebiasaan yang kurang baik yang sudah berlangsung begitu lama memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa kan?”.

Suatu hari nanti, saya berharap anak - anak inilah yang membuat perubahan baik yang besar bagi daerahnya dan Indonesia ini, walaupun banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah bisa menggapai perubahan itu, tetapi saya percaya mereka mampu dan bisa.

”Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan ialah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia pada hari ini - Samuel Taylor Coleridge”

 

Salam perubahan dari kami

Anak - anak Kabupaten Kepulauan Yapen

Pengajar Muda XII Kabupaten Kepulauan Yapen


Cerita Lainnya

Lihat Semua