Lautan Air Teh di Halaman Sekolahku
Veni Ari Jayanti 5 Desember 2011Minggu malam ini, hujan tidak berhenti semenjak jam delapan malam tadi dan sekarang jarum jam sudah menunjukan pukul sebelas. Ah.. artinya besok tidak ada upacara bendera lagi. Sudah dua bulan ini sekolahku tidak melaksanakan upacara bendera karena lapangannya yang tergenang air jika hujan. Kuputuskan untuk tidur saja karena besok aku harus bersiap – siap bangun pagi untuk ke UPTD di kota Bengkalis.
Keesokan harinya, aku sudah siap semenjak jam tujuh pagi, aku menunggu Noel untuk berangkat ke UPTD di kota Bengkalis bersama – sama. Sudah terbayang jalan terjal dengan besi jalanan, banjir, dan lumpur yang meluap dimana – mana. Namun semua itu harus dihadapi untuk bisa sampai ke UPTD dan menyerahkan surat tugas kami. Sebelum ke UPTD aku mampir ke sekolahku untuk meminta izin dan melihat kondisi sekolahku.
Alangkah terkejutnya diriku saat sampai di sekolah, air berwarna merah semerah air teh membanjiri lapangan sekolah kami, tingginya semata kaki. Beberapa guru yang sudah tiba di sekolah bergorong royong untuk membuat semacam jembatan kecil dari kayu agar siswa – siswa bisa melalui jembatan tersebut dan masuk kelas. Aku hanya terpana dan terharu melihat bagaimana dedikasi guru – guru di sekolahku ini.
Mari kuceritakan kondisi sekolahku pada kalian. Sekolahku adalah SDN 57 Ketam Putih. SDku ini baru di”negeri”kan pada tahun 2010. Hanya mempunyai 2 ruang kelas sehingga ruangan yang seharusnya menjadi ruang majelis guru dialih-fungsikan menjadi ruang kelas juga. Dengan begitu SDku memiliki tiga kelas namun tidak memiliki ruang guru. Walaupun demikian tetap saja SDku kekurangan ruang kelas. Panggung yang seharusnya digunakan untuk berlatih kesenian beralih fungsi pula menjadi ruang kelas, kelas untuk siswa kelas 1 dan 2. Panggung ini tidak memiliki dinding sehingga proses belajar mengajar sering terganggu oleh siswa dari kelas lain yang datang menonton.
SDku memang baru sampai kelas 5 saja sehingga sampai sekarang jumlah kelas yang apa adanya ini, bisa dibilang masih mencukupi atau dicukup – cukupkan. Namun jika tahun ajaran baru maka SD kami jelas membutuhkan ruang kelas baru. Kondisi gedung, bangku, dan meja pun sangat memprihatinkan. Pembatas untuk ruang kelas hanyalah papan kayu sehingga suara dari kelas lain terlihat jelas, lantainya berlubang dan banyak kursi serta meja yang sudah rapuh dan sepertinya bisa ambruk kapan saja.
Ruang kepala sekolah dialasi dengan karpet plastik dan beralih fungsi menjadi ruang guru plus ruang kepala sekolah. Semua guru dan kepala sekolah setiap hari duduk lesehan bersama diruangan itu. Jangan dibayangkan ruangannya besar ukurannya mungkin hanya 2,5 m x 4 m, mungkin banyak kamar kos mahasiswa di Jakarta yang lebih besar daripada ruang kepala sekolah yang sekaligus ruang guru ini. Ruang ini juga tersambung ke ruang kelas 4 yang sebenarnya adalah ruang guru, hal ini menyebabkan siswa kelas empat sering terganggu konsentrasinya karena guru ataupun siswa yang berlalu lalang menuju ruang kepala sekolah. Ironis rasanya saat mengingat Bengkalis adalah kabupaten terkaya kedua di Indonesia.
Walaupun kondisi fisik SDku bisa dibilang “parah”, aku yakin bahwa SDku pasti bisa berkembang dengan cepat. Aku percaya itu karena aku melihat orang – orang optimis dan mau maju disekitarku yaitu Ibu Sudarmi sang Kepala Sekolah dan guru – guru di SDN 57 Ketam Putih. Walau hari hujan semua guru ini tetap datang mengajar, semangat mereka untuk memajukan SDN 57 Ketam Putih sering membuatku merinding juga. Selain itu aku melihat bakat – bakat unik pada setiap anak – anaku. Aku bisa melihat pelangi optimisme yang akan muncul di SDku ini. Seperti ucapan Mona, Siswaku yang masih kelas 2 SD “Bu lihat.. Kalau setelah hujan seperti ini walaupun banjir pasti ada pelangi yang cantik..” Ya Mona, Aku percaya, gumamku dalam hati.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda