SAMBAL CINTA

Valisneria Utami 3 Agustus 2012

 

Apa itu cinta?

Cinta itu sambal,...

 

“Apa makanan yang disuka pi ?” pertanyaan itu meluncur dari mulut seorang perempuan berusia 40an yang biasa kupanggil “mamak”. Ibu angkatku. Mendengar pertanyaan itu, aku yang berdarah sumatera asli (Bengkulu) kontan saja langsung menjawab, “Kalau saya bu selagi ada sambal, pasti makannya lahap..”. Bergurau, berseloroh. “ Kalau di keluarga saya bu (mungkin juga prinsip orang2 sumatera lain), kalau makan nggak berkeringat tanda kepedesan itu artinya ndak makan bu....” jawabku lagi sambil tersenyum nakal. Disambut pula dengan senyuman yang terlukis dari bibir mamak. Kala itu, aku belum genap 1 minggu bertugas sebagai pengajar muda di dusun ini..

Percayakah kawan  sejak kubilang bahwa sambal adalah lauk favoritku mamak langsung membuatkan ku sambal khas orang2 mandar, yaitu potongan – potongan kecil tomat dengan irisan cabe rawit dengan proporsi lebih banyak tomat ketimbang cabe. Sebagai sentuhan akhir ditambahkan dua sampai tiga sendok makan minyak makan atau minyak kelapa. Lantas diaduk sedikit then this is it...Biasanya pula sambal ini dihidangkan dengan bau (ikan) yang dibakar atau di goreng. Awalnya tentu menyenangkan mencicipi masakan dari daerah lain tapi lama kelamaan lidah bengkuluku ini merasakan ada sesuatu yang beda dari sambal tomat (begitu sebutannya) ini. Rasanya menjadi agak sedikit hambar, kurang gula, agak kurang garam, tomatnya juga terlalu banyak. Alamak,..kurang semua!!!

Jadi begini kawan sambal dalam persepsi ku adalah campuran dari cabe merah, cabe rawit, sedikit potongan tomat segar, terasi yang di bakar, sedikit kemiri, gula, dan garam. Sebelumnya cabe, tomat, dan kemiri digoreng dulu supaya lebih gurih lalu diulek di atas cobek, masukkan terasi, tambahkan gula dan sedikit garam. Supaya lebih maknyuss, tambahkan lagi sedikit perasan air jeruk purut. Manis diawal tapi menyisakan sensasi panas pedas di tenggorokan.  Resep ini kudapat dari ibuku yang menurutku adalah koki terbaik di dunia. Dalam sejarah, tak pernah ku tak “nambah” jika makan dengan sambal ini. Sementara sambal buatan mamak bukannya ku tak suka tapi meminjam tagline salah satu mie instan “rasa memang gak pernah bo’ong”, rasa sambal yang biasa mamakku buat nampaknya perlu diberi sedikit variasi..

                Maka jadilah suatu hari aku memproklamirkan diri untuk jadi koki sehari dirumah. Memasak untuk semua anggota keluarga. Kebetulan hari itu adalah hari sabtu. Hari pasar. Kata bapakku, semua orang gunung berduyun – duyun turun ke pinggir (jalan poros) untuk berbelanja kebutuhan sehari – hari. Bahkan mereka yang tinggal di dusun atas sekalipun yang memakan waktu berjam – berjam perjalanan tetap turun jika hari sedang cerah. Mamak baru pulang dari pasar dan langsung saja ku mendekati beliau dan berkata, “ Hari ini saya saja yang masak bu..”. Mamak agak kaget mendengarnya tapi kemudian kembali kubilang bahwa untuk hari itu saja sekalian memperkenalkan beberapa masakan sumatera. Mamak lantas mengiyakan. Aku pun langsung mencuci sayur.

                Jujur keinginanku untuk memasak untuk seisi rumah bisa dibilang sangat berani. Kemampuan ku dalam meracik bumbu dan mengolah bahan makanan sama dangkalnya dengan kolam bebek yang biasa dipakai anak batita untuk belajar berenang pertama kali. Kelewat dangkal mungkin, hahahaha. Niat awal ku pun sebenarnya hanya ingin membuat sambal. Tapi sangatlah tidak lucu jika lantas aku berkata, “bu hari ini saya yang ngulek sambel yah..”. Pekerjaan yang biasa hanya memakan waktu tiga sampai lima menit. Modal nekat, usai aku mencuci segala macam sayur aku pun mulai menggoreng cabe, tomat dan kemiri. Tidak berapa lama aku memasukkan semuanya ke dalam cobek. Diulek. Sementara mamak memperhatikan baik – baik apa saja yang kulakukan dari tadi. Memang benar, tidak lama. Kurang dari tiga menit semua bahan sudah tercampur meski minus perasan air jeruk purut. Aku cukup puas. Warna merah campuran cabe dan tomat dengan list hijau dari cabe rawit benar – benar membuat ku menjadi berselera. Ditambah lagi wangi terasi yang mengepul, wuaahhh perutku sudah tak bisa diajak kompromi. Oh ya, sayuran tadi kutumis saja seadanya...:D

“Jadi begini rasanya sambal bengkulu yah...” kata bapakku sambil mengusap peluh,

“Enak pak?”

“Yah pedas sekali,..” komentar bapak singkat. Tapi kulihat sudah berapa kali bapak menuangkan sendok nasi dan (sedikit) sambal ke piringnya. Pun mamak dan adik – adikku. Makan seperti habis lari. Berkeringat. Semangat. Tangan mereka berganti – gantian menyedokkan sambal ke piring. Aku tersenyum puas. Sambalku ini nampaknya juga mempunyai efek candu. Hahahaha. Lain waktu aku juga pernah coba memasak ikan bakar buat mereka. Masih dengan sambal yang sama. Resepnya? Aku menelepon ibuku dulu beberapa jam sebelumnya..

                Sejak saat itu, sambal tak ubahnya menjadi “lauk keramat” diatas meja makan. Selalu ada. Mamak yang membuatnya untukku. Cabe dan tomat adalah sayuran yang wajib dibeli jika hari pasar tiba. Mamak juga kulihat semakin mahir membuat sambal. Kadang sambal itu ditumisnya supaya lebih wangi, atau ditambahkannya sedikit bawang. Tetap tidak mengurangi selera makanku. Kadang juga kulihat beliau mengulek sambal sambil menyusui dan menjaga anaknya. Mata dan hidung airnya sering berair karena terciprat cairan dari cabe entah bawang.  Bahkan pernah mamak pulang dari mencari kemiri ke gunung tanpa istirahat dulu langsung menuju dapur dan memasak. Kembali membuat sambal yang nanti akan dihidangkan untukku dan keluarganya. Sambal untukku biasanya mamak pisahkan. Agak lebih banyak. Mungkin karena dia tahu anaknya yang satu ini suka sekali sambal. Jika cabe yang ada sedikit, maka semua sambal yang dibuatnya dia berikan hanya untukku. Pernah suatu kali, salah satu adikku menangis tersedu – sedu karena punggung tangannya habis dipukul mamak gara – gara mencolek - colek sambal yang ia buatkan untukku. Itulah bentuk sayang dan cintanya mamak.

                Jika mamak sedang sibuk atau tak enak badan, maka ia pun memerintahkan dua anak gadisnya untuk membuat sambal untukku. Lauk itu harus ada. Bahkan kalau cabe di dapur habis, bapak tak segan – segan turun gunung sebentar membeli sambal botolan berlogo koki dengan tulisan “sambal lombok cap Adinatha”, berwarna merah terang mencolok. Entah benar cabe atau hanya rasa cabe dan walau rasanya kawan tak senikmat sambal buatan mamak. Ada cinta didalamnya. Cinta dan sayang mamak kepadaku, sama bahkan mungkin lebih dari anak – anaknya sendiri. Sambal mamak juga selalu memberiku kekuatan baru. Tak peduli jika hari itu aku harus mengajar seorang diri di sekolah, repot dengan urusan nilai anak – anak dan anak – anak itu sendiri, berselisih paham dengan guru – guru dan kepala sekolah, dikejar – kejar deadline borang, rindu keluarga dirumah atau ketika suasana hati tidak bersahabat. Sambal mamak selalu ada untukku. Menemaniku.

                Sayup – sayup kudengar suara adzan maghrib berkumandang dari suaru kecil kampungku. Pertanda bahwa sudah saatnya untuk berbuka puasa. Ramadhan ini mengingatkanku bahwa sudah masuk bulan ke-9 masa tugasku. Ah, rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di dusun ini. Tinggal hitung mundur. Beribu pertanyaan memenuhi otakku. Bertanya apa saja yang sudah kuberikan selama ini, untuk dusun ini. Sudah menginspirasikah? Atau sekedar memenuhi “kewajiban” saja? Tak tahulah. Yang jelas aku harus buru – buru ke dapur sekarang. Disana sudah menunggu sambal cinta buatan mamak..

 

Dusun Rura, Sambabo

Pkl 22.00 WITA

(Ditemani bunyi - bunyi petasan..)


Cerita Lainnya

Lihat Semua