info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ramadhan dan Ibu

Agung Hari Cahyono 3 Agustus 2012

Ramadhan, pulang penuh berkah, bulan penuh ampunan dan bulan belajar bagi seluruh umat muslim, begitu pula bagiku. Menjalani ibadah puasa di rumah baru, kampung halaman baru dan bersama anak-anak yang dengan tulus selalu menyemangati hariku. Tak pernah terbayangkan segala hal baru ini, seketika itu pula menjadi sangat ku senangi.

Mengawali hari pertama di bulan ramadhan, sekolah masih tetap ramai namun terasa berbeda. Anak-anak yang biasanya berlarian riang gembira, terlihat mencoba menghemat energi mereka, tanpak lebih tenang, bahkan nyaris lesu,  masih tahap adaptasi, pikirku. Proses belajar di kelas pun tak menunjukkan adanya hal yang berbeda, beberapa anak di kelasku tanpak menguap sepanjang hari, bahkan ada yang sempat tertidur, beberapa orang tak masuk sekolah.  Melihat kondisi itu, saya dan anak-anak memilih tuk duduk santai tak membahas pelajaran. Sepanjang hari kami berbicara, bercerita tentang aktifitas sepanjang bulan ramadhan dan mendiskusikan konsep kelas yang sesuai untuk kami gunakan belajar di bulan ramadhan. Pada diskusi itu hal yang jelas terjadi adalah proses tawar-menawar yang berlangsung dinamis dan berbagai gagasan menarik yang mereka lontarkan namun tetap bertanggung jawab. Mengajak mereka berpikir dan menentukan manajemen kelas, membuatku sejenak lupa bahwa mereka adalah anak-anak. Ternyata yang diperlukan hanya mendengarkan dan mengarahkan mereka, anak-anak ini pun bisa memutuskan apa yang tebaik untuk mereka dan lebih bertanggung jawab selayaknya orang dewasa. Berdasarkan diskusi kelas, kami memperoleh kesepakatan bersama, yakni

Pertama, selama bulan ramadhan kami memulai pelajaran lebih siang, jam 8 pagi. Jelas mereka senang, hehehe... Karena tiga hal yang amat berharga bagi murid-muridku, datang lebih siang,  pulang lebih cepat dan jam istirahat yang lebih lama.  Tiga hal ini juga yang menjadi senjata pamungkasku untukku, terkadang ketika kelas menjadi sangat gaduh dan tak terkontrol lagi, satu kalimat ajaib ternyata dapat menenangkan mereka

...jika semua belajar dengan tenang dan mau menghargai orang lain yang berbicara, maka kita akan pulang lebih awal hari ini”, seruku. Dan wallah.. abrakadbra, kelaspun tenang seketika.

Atau ketika mereka malas mengerjakan tugas, terlihat ogah-ogahan. saya cukup berkata, “Siapa yang mampu menjawab semua pertanyaan dengan benar, maka akan keluar istirahat dan dapat ekstra time 5 menit.”  Dan seperti biasanya, Merekapun menjadi sangat bersemangat, berlomba tuk menjadi lebih baik. Yes. !!!!

*Kesepakatan ini jelas dengan syarat dan ketentuan berlaku, muridku harus BERJANJI hadir ke sekolah lebih rajin.

Kesepakatan kedua, belajar tanpa kursi dan meja, duduk di lantai menggunakan tikar yang anak-anakku bawa dari rumah secara bergantian dengan anggota kelompok piket kebersihan kelas. Dalam kesepakatan ini murid-muridku di kelas dapat memilih cara duduk yang mereka sukai, atau bahkan berbaring di lantai selama mereka tetap dapat fokus memperhatikan pelajaran dan mengerjakan tugas mereka. Tak jarang sayapun melepas alas kaki dan duduk di tengah-tengah muridku, memperhatikan mereka mengerjakan tugas di papan tulis atau di buku mereka.

Momen ini jelas mengakrabkan kami, banyak kesenangan yang kami lakukan dengan ruang kelas yang terasa lebih luas bagi ke 53 muridku dan saya tentunya (oia, di kelasku ada dua murid baru, Selamat datang !!!). Disela-sela pelajaran, kami sering bernanyi dan bergoyang bersama, untuk menghilangkan kepenatan dan mengembalikan kelas pada kondisi Alpha. Untuk yang satu ini kupersembahkan khusus rasa terima kasihku teruntuk saudara-saudaraku PM IV yang telah sangat gemar menyanyi dan memberikan kesenangan tak terhingga selama pelatihan, berkat kalian saya dapat menjadi penyanyi profesional di kelas, hehe....

 *list lagu papa tome papa, maga-maga, banana, teko kecil, salam-salam, apa kabar kawan dan buaaaanyak lagi. Merindukan kalian, kelompok bernyanyi..

Tak jarang kondisi kelas kami menuai pertanyaan dari guru lain atau ibu-ibu yang menemani anaknya di kelas satu. Dengan gaya khasnya, ibu-ibu muridku terkadang berdiri cukup lama di depan kelas, memperhatikan kami, dan bertanya “ kenapa kursinya tak dipakai, pak? Bapak betah berada disini?”

*Pertanyaan ini sebenarnya menggunakan bahasa sunda, yang diterjemahkan secara bebas

Dengan tersenyum, “iya bu, supaya anak-anak nyaman belajar, muhun bu, saya betah disini”, jawabku.

Kini hampir setengah bulan ramadhan berlalu, ternyata kami menjelaninya dengan banyak pelajaran. Aturan datang lebih siang ini ternyata sangat membantu, mengurangi jumlah siswa yang tidak hadir karena kesiangan atau malas bangun pagi setelah semalaman begadang dan terbangun saat sahur. Meskipun masih ada saja yang tidak datang kesekolah secara bergiliran setiap harinya. Begitu pula dengan konsep kelas tanpa meja, kami menjalani puasa dengan tetap dapat bersenang-senang di kelas. Dan memberikan kursi dan meja kami untuk dipakai dikelas lain yang kekurangan.

Selain aktifitas di sekolah, ternyata selama bulan ramadhan ini banyak jadwal kegiatan yang berubah, diantaranya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang dulunya dilaksanakan jam 02.00 siang, kini dipindahkan jam 10.00 pagi, karena orang tua murid harus mempersiapkan buka puasa disore hari. Walhasil, sayapun tak dapat lagi terlibat di sana. Sangat Merindukan kelas kecilku. Selain itu, kini tak ada lagi aktifitas mengaji usai magrib di rumah Ustd. Sanudin. Namun, selalu ada cara tuk bermain, itulah mottoku disini, jika sore tiba bermain sepeda, memancing, hingga duduk ngabuburit di tepi desa. Malamnya sebelum ke masjid bermain kembang api dan menyaksikan gemerlapan cahaya kembang api dilangit. Yah, setiap malam bak tahun baru di desa ini. Kembang apinya mantab...

Terlepas dari semua kesenangan menjalani ibadah dan bermain di desaku ini, pada suatu siang, tepat sesaat setelah ku mengakhiri kelas dan bergegas pulang bersama anak-anak. Sebuah pesan singkat kuterima dari kakakku di rumah mengabarkan kalau mamaku sakit dan harus segera dirawat di rumah sakit. Panik sudah pasti, cemas, jangan ditanya lagi. Tak berpikir panjang, kucoba menghubungi rumah dan saudara-saudaraku menanyakan hal tersebut. Tak ada jawaban, tak ada yang mengangkat telepon,

.... “kemana mereka semua?”, pikirku.

Mengetahui orang tua kita sakit, namun kita berada jauh dan tak mampu berbuat apa, sungguh menyiksa.

Lama berada tanpa kepastian kondisi dan tanpa jawaban. Hingga akhirnya pada pukul 5.00 sore, bapak menjawab panggilan teleponku. Terlupa salam dan sopan santun, banyak pertanyaan terlontar tak henti, disertai dengan suara amarah, menanyakan kondisi mama di rumah sakit.

Bapakku hanya menjawab, “mama baik-baik saja.”

Masih tak percaya, kembali menghujankan berbagai pertanyaan, “mengapa mama bisa sakit? Sakit apa? Katanya jatuh pingsan di tangga rumah? Kemana semua orang? Kenapa tak ada yang memperhatikan?

Di seberang sana, terdengar suara parau ibuku, terbatuk-batuk lemah beliau berbicara dibalik telepon,

“Assalamu Alaikum, kenapa Agung tidak mengucapkan salam ? Bagaimana kabarmu, nak? Puasanya lancar?”

Ternyata sedari tadi, bapakku sengaja mengaktifkan loadspeaker, sehingga ibuku mendengar seluruh percakapan kami.

“Wa Alaikum Salam. Lancar, Ma. Mama sakit apa ?  jawabku.”Agung mau pulang yagh, ma.”

“Mama baik-baik saja, besok pasti sudah pulang kerumah. Jangan pulang, karena mama pasti akan sembuh. Cukup doakan mama disana. Titip salam untuk murid-muridmu, Pak guru”, kata beliau sambil tertawa ringan.

Iya, Insya Allah, jawabku

Jaga kesehatan, jangan menyusahkan orang lain disana. Pak guru tak boleh suka mengeluh, ujarnya mengakhiri percakapan telepon.”

Menurut penuturan kakakku ternyata mama sengaja melarang semua orang untuk menjawab telepon dan beliau sempat marah ketika salah seorang kakakku mengabari mengenai kondisinya. Dia tak mau saya cemas, dia tak mau saya pulang sekarang, karena dia percaya muridku lebih membutuhkanku ketimbang dirinya.

Kini, meskipun sejujurnya, sayapun tak tahu akan berbuat apa disini, meskipun saya tak yakin kehadiranku memberikan manfaat bagi murid-murid disini, atau apakah mereka benar membutuhkanku. Tapi satu hal yang kuyakini bahwa orang tua, saudara dan teman-teman yang kusanyangi senantiasa mendukungku disana, mereka percaya padaku. Semoga kudapat menjalani kehormatan ini dan berharap dapat memberi sedikit manfaat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua