info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kebaikan Asis

Valisneria Utami 26 Februari 2012

 

"Semakin hari berlalu, semakin saya diperlihatkan bahwa setiap anak berbeda, setiap anak punya ciri khas, mereka spesial dan saya bersyukur...."

Namanya Asis. Murid kelas 4, berusia 10 tahun, berkulit hitam legam, bertubuh sedikit pendek dan gempal. Tanyakan tentang dia pada salah seorang warga kampung sini, maka percayalah dia akan bercerita dengan begitu semangat, sesekali keningnya dikerutkan dan digeleng – gelengkan kepalanya. Tak ada yang tak mengenalnya. Ya Asis begitu terkenal di kampungku, melebihi keteranaran seorang artis dangdut lokal yang biasa mengisi malam hiburan di acara pernikahan.

Ketika pertama kali aku tiba di kampung ini, salah seorang guru di sekolah tempatku mengajar sempat bercerita tentang dia. “ Hati – hati kalau mengajar di kelas 4 bu..Ada anak namanya Asis. Pendek Hitam..Marroca beka (nakal betul) eh bu. Kalau dinasihati melawan, dibiarkan semakin menjadi...” ucapnya dengan kepala yang digeleng – gelengkan. Bahkan bapak kepala sekolah sudah mafhum jika melihat ada dua atau tiga siswa perempuan yang tiba – tiba menangis kencang. Pastilah itu ulah Asis yang suka sekali mengganggu teman – temannya. Suatu hari mataku tidak sengaja menangkapnya berkelahi dengan adik angkatku, Maslim yang duduk di kelas 3. Anak – anak disini ternyata kalau berkelahi tidak tanggung – tanggung, persis seperti adegan film action di TV. Baku pukul sampai terluka. Sementara murid – murid lain hanya diam menonton, tak berani melerai apalagi kalau bukan karena “The Notorious Asis”. Adikku menangis kencang, sambil memeluk kakinya yang berdarah karena ditendang. Aku  menghampiri mereka berdua.

“Siapa yang membuat kaki Maslim sampai berdarah begini ?” ucap aku kepada  mereka.

“Aku bu..” jawab Asis. Begitu tenang, santai tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.

“Kenapa kamu tendang dia ?” balas aku. Asis hanya diam sambil ujung dahinya dinaikkan sedikit seperti mencari alasan yang tepat....

“Anu bu eh..gini bu..anu...” begitu kilah Asis. “Sekarang minta maaf!!!” ucapku dengan nada meninggi. Si Asis lantas pergi berlalu meninggalkanku, Maslim, dan murid – murid lain yang termangu melihat tingkahnya. Aku menggeleng – gelengkan kepala..

Suatu hari aku juga pernah dibuatnya hampir melayangkan batang kapur karena Asis sulit sekali diajak untuk belajar dengan baik, memperhatikan. Ia duduk, kemudian berdiri, berjalan berlari kesana kemari, mengambil alat tulis temannya yang lain, menuju papan tulis, menghapus semua catatan yang kutulis di papan sementara teman – temannya mencatat lalu kembali duduk manis tapi bukan di kursi !! melainkan di meja. Aku menerangkan, ia berbicara. Aku tegur baik – baik, ia membuat lelucon. Cukup sudah...aku lantas berlalu pergi menuju ruang guru. “Tuhan, tolong...”

Di ruang guru aku berpikir keras, bagaimana cara menghadapi anak seperti Asis. Ku tanyakan pada guru – guru lain mereka pun sama bingungnya. Anak ini benar – benar pintar sekali memancing emosi dan ketika ku terpancing mungkin saat itu jugalah ia merayakan keberhasilannya dengan ulah yang semakin menjadi – jadi. Oh ya, ternyata baru kutahu dari rekan guru bahwa Asis mempunyai 2 kakak laki – laki yang ternyata juga pernah bersekolah di SD yang sama. Sarmidin yang sekarang duduk di kelas 1 SMP di Makassar, dan Supriyadi (kelas 6). Yang membuatku terkejut adalah tingkah laku mereka sungguh berbeda 720 derajat (yah, saking amat berbedanya..). Sarmidin adalah anak yang selalu menduduki peringkat teratas di sekolah begitu juga Supriyadi selalu masuk rangking 3 besar. Keduanya juga anak yang baik, tidak berulah, dan memiliki suara yang indah setiap kali ku  mendengar mereka mengaji, melantunkan ayat – ayat suci Al – Qur’an. Tapi buru – buru aku sudahi kegiatan membandingkan – bandingkan ini. Tentu akan semakin membuatku makin tidak menyukai anak itu.  Lantas kucoba untuk mendekati sang kakak, Supriyadi dan menanyakan keseharian Asis dan sedikit bercerita mengenai kesulitanku untuk mendekatinya. Berharap ia memberiku beberapa masukkan, tapi jawaban yang kudapat masih tetap sama. Supriyadi sendiri nampaknya sudah angkat tangan melihat sikap si adik. Sebaliknya ia malah meminta maaf kepadaku atas tingkah adiknya yang selama ini berulah.“Mungkin belum saja kutemukan kelebihannya...”

Hari demi hari kulewati dengan tetap memberikan pelajaran matematika di kelas 4. Dan Asis tetaplah sama, masih dengan tingkahnya yang selalu memberi kejutan dan memberi dinamika tersendiri di kelasku. Ku coba untuk tetap bersabar menghadapinya, walau kadang rasa jengkel tak mampu lagi kutahan. “Duh anak ini maunya apa sih???!!!” teriakku.. Pernah kuminta ia keluar untuk bermain dengan nada penuh kemarahan, tapi dasar si Asis bukannya malah merasa bersalah malah langsung membawa bolanya dan mengajak anak kelas 5 bermain bola..”Astaga!!!”

Puncaknya adalah beberapa minggu lalu, disuatu hari tepatnya hari Sabtu. Asis membuatku kembali menangis (lagi)!!!. Kebetulan saat itu aku menjadi “single figther” karena guru – guru yang lain tidak ada yang naik. Pertama – tama kuajarkan mereka dasar baris berbaris. Lencang depan, lencang kanan, sikap sempurna, hadap kanan, hadap kiri. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Si Asis yang ku khawatirkan akan membuat ulah ternyata tidak. Ia nampak mengikuti kegiatan dengan tertib. Aku lalu meminta mereka masuk ke kelas masing – masing dan mulai untuk belajar. Setelah itu dimulailah kegiatanku, pindah dari kelas satu ke kelas yang lain, memberi tugas, menerangkan, membimbing murid – murid yang belum pandai menulis. (Ketika aku menulis ini, aku seolah tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Takjub pada diri sendiri. Mengajar 6 kelas, 60an murid, 60 kepala, 60 karakter.  Sendiri !!!). Beruntung ketika aku mengajar, datang beberapa orang pemuda – pemuda desa ke sekolah. Mereka melihat aku mengajar di balik jendela. Kutawarkan kepada mereka apakah ingin membantu aku mengajar murid – murid disini. Bersyukur akhirnya mereka mau. Mereka masuk mengajar di kelas 3 dan 4. Belum sampai 30 menit mereka belajar, tiba – tiba salah seorang murid kelas 4 datang kepadaku yang sedang mengajar di kelas 6 dan mengadu kalau Asis berulah lagi. Aku menarik nafas panjang, meletakkan spidol dan berjalan ke kelas 4. Kulihat Asis sedang berdiri di depan papan tulis seraya menghapus catatan yang terpampang disana. Oh ya, satu murid perempuan juga menangis kala itu.

“Ada apa Asis ? “ tanyaku. Diam. Si Asis seolah tak mendengar.

“Asis nakal buk! tidak bisa diam..Tidak nurut sama kata pak Usman.” Beberapa murid bersuara. Ku dengar juga Usman, pemuda yang membantuku mengajar juga kelihatan kesal dengan ulah Asis. Ia berceloteh dalam bahasa mandar walau ku tak tahu persis apa artinya.

“Ya sudah. Kalau begitu, Asis sekarang ayo kamu ikut Ibu. Kita keluar kelas dulu. Kita selesaikan masalahanya sama – sama ya...” Aku menawarkan tapi Asis tetap tak mau. Hanya diam. Sedikit memaksa, aku menarik lengannya dan membawanya keluar kelas.

“Keluar ko, keluar ko Asis!!!” kudengar teman – temannya berkata demikian padanya.

Kami duduk di lantai semen berpasir di depan kelas. Lambat laun semakin kulihat bahwa Asis makin menjadi “public enemy” di kelasnya. Hampir tidak ada yang mau berteman dengan Asis. Aku pun lantas teringat ketika aku mencoba menerapkan sistem “rolling” di kelas 4, aku tidak berhasil. Tak ada anak yang mau pindah tempat duduk dan sebangku dengan Asis. Mereka bilang karena Asis terlalu nakal.

“Sekarang coba Asis cerita kenapa kamu berbuat seperti tadi? Menghapus semua catatan di papan tulis?” tanyaku. Asis diam menunduk. Aku diam. Memberinya waktu untuk merangkai untaian huruf, kata, kalimat, atau mungkin paragraf penjelasan akan tindakannya barusan. Detik menit berlalu masih tak ada jawaban. Diam. Hening. Hanya suara murid – murid di dalam kelas.

“Asis, kamu sebenarnya anak yang baik. Ibu percaya itu. Sekarang tolong bantu Ibu agar teman – teman Asis juga percaya kalau Asis anak baik ya...” ucapku.

“Ibu senang kalau Asis pintar, rajin tapi Ibu bangga kalau Asis bisa bertingkah laku baik.” ucapku lagi. Asis lantas melihatku. Mata kami bertemu. Pelan – pelan bulir bening membasahi pipiku. Buru – buru kuhapus dan berlalu pergi.

Sore itu mendung, langit kelabu. Aku memutuskan untuk tetap pergi ke mesjid, mengajak anak – anak untuk sholat maghrib bersama. Aku melihat dia disana. Di mesjid seorang anak laki – laki, berkulit hitam, bertubuh pendek dan sedikit gempal. Sarung hijau dan peci putih melengkapi pakaiannya. Asis. Ia ikut sholat berjamaah. Berdoa bersama. Lantas mengambil Iqra yang ada di lemari. Membaca. Aku mengamatinya. Aku tersenyum. Bangga.

Sore lain aku kembali melihatnya. Dia mengetuk – ngetuk pintu kamarku. Berkali – kali. Pelan ku membuka mata, beranjak dari balik spring bed kapuk tipis, pelan – pelan membuka pintu. Aku kembali melihatnya. Tangannya penuh dengan setumpuk cucian yang tadi pagi barusan kujemur.

“Cuciannya nanti basah Buk. Di luar hujan deras....” Aku terpana, termangu. Ia lantas berlari, meninggalkanku. Melambaikan tangannya, tersenyum. Ia berlari meninggalkanku yang masih tak mampu berkata – kata dengan tingkahnya tadi. Esok, lusa, dan seterusnya aku tak akan pernah tahu. Mungkin Asis telah benar – benar berubah. Namun bagiku biarlah pertanda ini menjadi bukti yang kuat, sehingga ketika nanti ia, Asis kembali menendang temannya, membuat murid perempuan menangis, tidak mengerjakan PR,  berlari kesana kemari ketika ku mengajar bukti ini akan menjadi “pengobatku” kala itu. Every child is special....

 

Dusun Rura, Sambabo.

20 Februari, 2012. Pkl 08.41 WITA


Cerita Lainnya

Lihat Semua