Surat Untuk Andrew*

Marcella Chandra Wijayanti 26 Februari 2012

Andrew, aku tidak akan mengawali cerita dengan kalimat sedih mendayu-dayu. Meski kabar burung yang beredar di Jogja berat badanku turun delapan kilo karena kurang asupan protein, menderita herpes dan dekil. Oh ya, kamu pasti lebih senang jika kita membicarakan itu dulu. Hah, aku sudah bisa membayang cuping hidungmu bergerak-gerak menahan geli . Tapi sayangnya, bukan itu yang akan kita bicarakan.

Kita akan membicarakan kegembiraan.

Sampai di sini kamu pasti akan bilang : “Tidak mungkin! Kamu tinggal di  kabupaten terselatan  yang masuk dalam wilayah propinsi termiskin di Indonesia. Bagaimana bisa kamu bicara tentang kegembiraan? Ayolah Marcella, jangan mengada-ada.”

Andrew, ini bukan cerita fiksi. Rote Ndao memang sulit jika dikatakan sebuah kabupaten. Luas pulau Rote, pulau utama Kabupaten Rote Ndao tak sampai sepuluh ribu hektar. Penduduknya hanya sekitar seratus ribu jiwa. Angka kepadatan penduduk yang masih rendah membuat kamu akan lebih sering bertemu rombongan hewan daripada sesama manusia jika berkendara dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya. Di beberapa ruas jalan bahkan di beri tanda “hati-hati banyak hewan melintas”  karena angka kecelakaan kendaraan bermotor dengan hewan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sesama kendaraan bermotor. Bahkan ketika kamu sedang di kota kabupaten, kamu tetap akan merasa sedang di tengah hutan karena jarak bangunan satu dengan bangunan lainnya diselingi rangkaian tumbuhan perdu atau gerombolan pepohonan yang cukup rapat.

Ardi Sutriono, Wakil Kepala Kepolisian Resor Rote Ndao punya istilah yang mengesankan untuk menyebut kabupaten ini, Jurassic Park.  Hahaha, awalnya aku tidak sepakat namun kondisi geografisnya yang diselimuti tiga campuran alam yang unik yaitu padang rumput luas, garis pantai yang memukau dan hutan muson  membuat istilah Mas Ardi tidak bisa disangkal. 

Tidak seperti di kota sana, di  tempat yang memukau secara geografis tetapi  minim barang hiburan ini  justru kegembiraan mudah dan murah didapat. Senyum dan tawa anak-anak tak perlu dipancing dengan Ipad, es krim Baskins and Robin atau sepasang sepatu Nike.

Kegembiraan, anak-anak terutama, bisa dimana saja. Kadang-kadang di benda-benda yang terdengar ganjil di telinga city kid seperti kamu.

Pertama, pada truk-truk pengangkut barang. Bangunan SD Onatali, SD tempat aku mengajar, sangat strategis untuk ukuran Rote, terletak di pinggir jalan raya pelabuhan- kota kabupaten. Orang-orang bilang SD kota. Tetapi tolong jangan terjebak dengan kata jalan raya dan kota. Meski namanya jalan raya, kondisinya tidak sama seperti jalan raya yang biasa kita temui di kota. Kanan jalan hutan kirinya pantai. Jalannya beraspal tetapi tidak lebar, kalau ada dua truk berlawanan, satunya harus menepi dan berhenti agar truk dari arah berlawanan bisa lewat. Konturnya juga tidak lurus, naik turun. Setiap jam istirahat siang yang juga bertepatan dengan jam kapal sandar, anak-anak selalu bisa mendapat hiburan gratis menonton truk aneka ukuran dan warna lalu lalang di depan sekolah. Aku sering ikut anak-anak berdiri di belakang pagar dan menyoraki truk yang menggerung-gerung gagal memenenangkan jalan yang mendaki, sehingga harus berhenti untuk “menarik nafas”. Selalu menyenangkan ikut menonton truk-truk sarat muatan itu merayap sekuat tenaga di jalanan yang kondisinya memang tidak bersahabat bersama anak-anak. Lebih menyenangkan lagi melihat binar mata murid-murid SD Onatali yang terkagum-kagum setiap kali menikmati gagahnya tubuh truk-truk yang lewat. Meskipun kadang-kadang aku juga harus kesulitan menemukan jawaban atas pertanyaan murid-murid tentang arti tulisan-tulisan yang tertulis di badan truk. Truk-truk ini semacam truk yang sering kita lihat parkir di rest area sepanjang pantura, ditinggal sopirnya menikmati dangdut koplo dan meneriakkan yel “woyo woyo joss!”.

Truk di Rote sebagian besar didatangkan dari wilayah pantura Jawa. Banyak diantaranya masih memiliki nomor polisi dengan kode wilayah Surabaya dan sekitarnya. Ini merupakan trik pengusaha setempat untuk menghindari pajak kendaraan di Kabupaten Rote Ndao yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Trik yang cerdas tetapi tidak bijak. Truk mereka nyaris setiap hari menggerus jalanan Rote Ndao yang dibangun dengan dana APBD , tetapi menghindar membayar pajak yang masuk kas daerah. John Elim, teman akrabku di Rote yang juga juragan material bangunan, hanya nyengir lebar ketika ku sentil tentang masalah ini. Dia menjawab dengan enteng, “Siapa suruh pasang pajak tinggi-tinggi dan belum tentu juga kalau aku bayar pajaknya benar-benar masuk kas daerah.” Akhirnya aku memilih ikut nyengir gaya kuda dan ikut tertawa. Bingung mau jawab apa lagi. Rendahnya kepercayaan pengusaha terhadap pemerintah memang menjadi salah satu penyebab rendahnya investasi di Kabupaten Rote. Ini masih bisa kita bahas lebih panjang dan serius lain waktu. Sekarang kembali ke truk sumber penghiburan. Truk-truk barang tersebut masih dilukis dan diberi tulisan dengan gaya pantura. Kalimat yang seringkali membuat kita terbahak jika membacanya namun tentu saja tidak layak untuk diketahui artinya oleh anak-anak usia sekolah dasar. Jadi lebih tepatnya, setiap kali menonton pawai truk-truk barang, murid-murid terhibur karena kegagahan truk dan gurunya terhibur dengan tulisan-tulisan dan gambar norak yang ada di bak truk!Hahaha mudah ya membuat kami bahagia?

Kedua, pada papan kayu, bulu ayam, dan bonggol jagung. Mereka menggunakan benda-benda itu untuk bermain bulutangkis. Bonggol jagung ditancapi bulu ayam sebagai shuttle cock dan papan kayu sebagai raket. Susah membayangkan? Carilah di perpustakaan buku cerita anak-anak yang ditulis tahun 90-an dan berlatar tahun 70’an. Metode bermain bulutangkis semacam ini pasti diceritakan dan hebatnya sampai saat ini permainan itu masih langgeng. Ketika musim panas, permainan bulutangkis jadi permainan favorit. Selama jam istirahat, murid-murid tertawa, berteriak girang, tergelak jika sudah bermain bulutangkis bonggol jagung ini. Mereka adalah anak-anak dengan orang tua berpendapatan tak lebih dari sepuluh ribu sehari. Tapi lihatlah Andrew, mereka sepertinya tidak peduli orangtua mereka tidak bisa membelikan raket bulutangkis. Bukan karena mereka tidak tahu bentuk raket dan shuttle cock yang sebenarnya. Mereka tahu dengan pasti. Pada musim sea games mereka menonton televisi -di rumah yang sedikit beruntung memiliki televisi- atlet-atlet bulutangkis kita bertanding dengan mulut ternganga. Paginya ketika mereka memegang raket papan, mereka sudah membayangkan diri mereka Taufik Hidayat. Dan mereka gembira sekali.

Setelah bak truk dan bonggol jagung, laut surut juga jadi sumber kegembiraan tersendiri. Laut surut atau dalam bahasa setempat di sebut meting biasa terjadi di sore hari menjelang malam di bulan-bulan kemarau. Keceriaan seketika terasa ada di mana-mana. Orang-orang berbondong-bondong ke laut menenteng keranjang daun lontar dengan senyum lebar, sapaan selamat sore yang lebih keras, dan kunyahan daun sirih yang lebih cepat dari biasanya. Aku tentu saja juga ambil bagian. Selesai memberi les,aku segera menyambar keranjang dan bergabung dengan rombongan. Mata memang belum terlatih untuk menandai teripang yang bersembunyi dibalik batu karang. Satu jam mencari keranjang biasanya keranjang masih kosong melompong, sedangkan rombongan yang lain bahkan sudah tidak tahu lagi harus menampung teripang dimana lagi. Tapi tenang, aku tidak mungkin pulang dengan keranjang kosong. Murid-murid atau orangtua murid yang aku temui dan melihat kemajuan berburu teripangku yang memprihatinkan pasti akan mengulurkan satu dua hasil buruan mereka ke keranjangku. Ketika matahari terbenam sempurna, barulah orang-orang bubar jalan menenteng keranjang teripang sambil bersiul-siul gembira. Kenapa mereka begitu gembira toh itu hanya teripang? Jangan mengernyit dulu. Ketika laut surut, bisa dipastikan malam itu tidak ada rumah tangga yang makan nasi kosong (nasi tanpa lauk apapun) seperti biasanya. Akan ada teripang dan kerang yang terhidang di meja. Kerang dan teripang adalah dua jenis makanan laut enak yang tersedia melimpah di pantai Termanu ketika laut surut. Pantai Termanu itu pantai dengan sunset terbaik dan yang paling penting terletak di belakang rumahku. Willingness to pay masyarakat untuk makanan bergizi sangat rendah. Catat, ini WTP bukan daya beli. Harga bahan mentah seperti sayuran dan ikan sama dengan harga di Jawa, dengan penghasilan 10 ribu perhari saja, orang tua seharusnya bisa membeli satu ikat sayur seharga seribu untuk anak-anaknya setiap hari. Tetapi makan nasi kosong menjadi kebiasaan. Sebiasa memakai celana pendek ketika tidur. Menyuruh orangtua menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak sama saja dengan menyuruh memakai celana jeans untuk tidur. Terasa ganjil. Anak-anak biasa makan nasi tanpa lauk sepanjang hari. Daging hanya bisa dimakan ketika ada pesta. Makanya, kami orang Rote menyebut pergi ke pesta pernikahan atau pesta syukuran lainnya dengan istilah pi makan daging (pergi makan daging) . Seolah-olah haram kalau daging dan sayuran menjadi makanan sehari-hari, makanan itu hanya untuk pesta. Bahkan oleh keluarga yang punya sapi dan kambing ratusan ekor, anaknya sehari-hari hanya makan nasi kosong. Kalau sedang beruntung mereka makan dengan nasi ditaburi Masako rasa ayam (kalau ingin tahu rasanya coba saja di rumah).

Nah, jika anak-anak identik dengan pilih-pilih makanan, tidak mau makan ini-itu sampai orang tuanya harus berkonsultasi dengan ahli gizi,  anak Rote mungkin perkecualian. Mereka tidak memilih makanan, karena memang tidak ada pilihan. Tetapi mereka bahagia-bahagia saja dengan nasi kosong. Mereka tetap makan banyak. Setiap pulang sekolah mereka pasti memburu meja makan dan menyendok sepiring nasi kosong mereka dengan bersemangat. Dan ketika ada teripang dan kerang? Kecepatan menyendok mereka bisa naik dua kali lipat. Andrew, laut surut benar-benar membahagiakan.

Kegembiraan yang meluap-luap lainnya   juga ada pada bebak, batang daun lontar tua yang biasa dijadikan alat seluncur di jalan yang berkontur menurun.  Ada juga pada ban bekas yang di dorong dengan tongkat kayu. Anak-anak biasa berlomba-lomba mendorong ban bekas itu sepanjang jalan dan melihat ban siapa yang lebih lama tegak.   Jangan remehkan permainan ini, 6 bulan berlatih keras, ban yang kudorong tak pernah bisa tegak lebih dari 30 detik.

Setahun yang lalu kita berdua duduk menghitung-hitung untung rugi dengan cost-benefit analisis yang rumit tapi tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah ketika aku kesulitan memutuskan apakah  akan bergabung dengan gerakan ini atau tetap menggeluti karir profesional yang baru saja aku mulai atau bergabung ke persatuan pemburu beasiswa master yang kamu didirikan. Kalu coretan hitungan itu masih ada, tolong dirbek lalu dibuang. Setelah enam bulan tinggal disini, hitungan itu rasanya tidak perlu. Andrew, nyatanya aku tidak berkorban apa-apa untuk bisa tinggal disini, justru aku mendapat tabungan kegembiraan yang tidak akan pernah habis. Sekali-kali datanglah ke Rote dan bergabung bersama kami, merasakan kegembiraan yang mudah di dapat, dimana-mana.

 

*Andrew adalah tokoh nyata. Posisinya bagi saya tidak pernah pasti, kawan atau lawan, mendadak juga bisa menjadi pembimbing rohani. Pilihan pekerjaannya juga belum pasti, diplomat atau akademisi. Yang pasti umurnya nyaris seperempat abad dan lajang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua