Penjagal Muda

Khaerul Umur 26 Februari 2012

Semester pertama keberadaanku di Desa Mukekuku, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao disibukkan dengan mengajar di dua sekolah. Pagi hari anak-anak Sekolah Dasar GMIT Oeulu selalu mengaduk-aduk perasaanku. Mereka bisa membuatku geli, kesal, terharu, terpingkal-pingkal, jengkel, dan perasaan lain dalam satu waktu. Dan setelah istirahat makan siang, aku harus berjalan kaki ke dusun sebelah – sebelum akhirnya mendapatkan sewa motor – di tengah hari yang terik untuk kembali mengaduk perasaanku di SMP Negeri 4 Rote Timur, sebuah sekolah baru yang hanya mempunyai 50 siswa kelas VII, tidak ada hal lain yang mereka punya, hanya 50 orang siswa. Gedung sekolah, kepala sekolah, guru-guru, dan buku pelajaran semuanya masih berstatus pinjaman kala itu.

Dari sinilah kisah itu berawal.

Matahari sudah di ujung barat ketika jam mengajarku telah selesai. Jika aku harus berjalan pulang ke rumah, waktuku tidak akan cukup untuk melaksanakan sholat ashar. Tentu tidak ada persoalan seandainya aku sudah lama berada di sini, dengan mudahnya aku bisa numpang di rumah penduduk di sekitar sekolah yang sudah ku kenal. Tapi aku orang baru. Aku tidak tahu apakah mereka bisa menerimaku untuk beribadah. Satu-satunya orang yang saya kenal baik di dusun itu adalah Pak Milson Nenotek yang tinggal dengan Paulus Wahy. Seorang pendeta dan calon pendeta yang bertugas di wilayah Bilba Selatan, termasuk Desa Mukekuku. Mereka tinggal di rumah dinas pendeta. Disanalah tempat yang akhirnya aku kunjungi untuk numpang sholat ashar. Ternyata dengan sangat terbuka mereka mempersilahkanku untuk beribadah di kediaman mereka yang tepat bersebelahan dengan gereja. Malah pada akhirnya, tidak hanya sholat ashar yang pernah ku jalankan di rumah mereka. Seringkali ketika aku terdesak oleh waktu sholat, entah itu Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, atau Shubuh, mereka selalu mempersilahkanku.

Satu hari, selepas sholat ashar, Pak Pendeta memberitahuku bahwa seseorang memintaku untuk menyembelih kambing untuk acara sukuran orang meninggal. Mereka hendak mengundangku untuk datang ke acara mereka. Dan karena mereka tahu bahwa muslim hanya memakan hewan dengan tata cara tertentu, mereka memanggilku untuk memotong sendiri hewan yang akan kami santap.

Kegalauan menghampiriku. Memotong seekor ayam pun belum pernah ku lakukan sebelumnya. Dan sekarang aku harus memotong kambing, bahkan bukan hanya seekor kambing, tetapi dua. Untuk pertama kalinya aku langsung memotong dua ekor. Tapi jika aku tidak melakukannya, aku akan makan daging dengan seribu rasa gelisah, karena tidak makan pun aku merasa tidak menghargai ketulusan yang mereka berikan padaku. Akhirnya dalam keragu-raguan aku iyakan saja permintaan mereka.

Dengan ditemani Pak Pendeta aku datang ke rumah hajat. Di rumah itu sudah tampak ibu-ibu sibuk mengepulkan asap di dapur. Kami disambut dengan hangat. Entah siapa sebenarnya yang disambut, aku atau Pak Pendeta. Tidak lama kami duduk di depan, seseorang datang mengajak kami ke belakang rumah untuk menemui dua calon korban yang akan ku bantai. Aku mengiyakan dengan menyeringai getir. Ya, seringai getir itu adalah hasil dari senyum yang ku paksakan dalam ketegangan. Aku merasakan jantungku berdetak semakin cepat. Entah bagaimana aliran darah ditubuhku, rasanya berdesir seiring keringat yang kurasakan dingin. Belum sampai ku lihat kambing-kambing malang itu, ku dengar embikan mereka seakan berteriak, “tolooong!!! Jangaan!!”

Rasa belas kasih yang ku rasakan seakan langsung sirna ketika seseorang menyodorkan sebilah golok yang ku lihat mengkilat. Dan entah kenapa begitu baja pipih itu berada ditanganku, semua keraguan sedikit semi sedikit hilang. Dengan penuh keyakinan ku pegang leher kambing pertama dan aku berbisik, “bisillah.. Allahu akbar!”  Ternyata semuanya berjalan lancar. Ketika ku pegang kambing kedua, tidak ada lagi rasa galau dan tegang yang sedari tadi menyelimutiku. Demi menghargai manusia, aku tega membunuh binatang.

Sejak saat itu, tanpa kusadari masyarakat Mukekuku mulai mengetahui kemampuan baruku membantai binatang. Mereka mulai sering memanggilku untuk memotong kambing. Ayam, entah berapa yang sudah ku bunuh. Pernah dalam suatu acara gereja, aku diminta untuk memotong 20 ayam seorang diri. Masyarakat Mukekuku memang sering menunjukkan rasa sukur dengan mengajak tetangga dan saudara untuk makan bersama. Sampai-sampai di sini ada istilah “pi makan daging” yang artinya datang ke suatu acara. Karena memang hampir setiap kebahagiaan yang mereka rasakan, jika mereka mampu, mereka setidaknya akan memotong ayam.

Pernah sebuah keluarga mengadakan perayaan ulang tahun. Dan karena mereka mengundangku untuk makan, lagi-lagi aku diundang juga untuk memotong calon makanannya. Tidak tanggung-tanggung, untuk merayakan ulang tahun seorang bayi berusia satu tahun, mereka memotong tiga ekor kambing untuk dimakan bersama tetangga dan keluarga. Jadilah siang itu, sambil berjalan menuju SMP, aku singgah di rumah hajat dan membantai tiga ekor kambing sekaligus. Setelah itu cuci tangan dan melanjutkan perjalanan ke sekolah. Terkadang aku membatin, oh tuhan, sesadis itukah aku sekarang. Mengambil tiga nyawa, mencuci darahnya, dan berjalan kembali seperti tidak melakukan apa-apa.

Ternyata ujian kesadisanku belum selesai sampai di situ. Belum ada riwayatku membantai hewan yang lebih besar dari kambing. Sampai pada suatu pagi buta. Tidak seperti biasanya ibu piaraku mengetuk pintu di pagi buta. Ibu piaraku berteriak dari luar kamar, “Pak Umur! Ada Pak Bulan cari!” Aku berfikir sejenak ada apa gerangan? Dalam waktu yang singkat dari tempat tidur menuju pintu aku mencoba menerka-nerka. Apakah aku diminta untuk menghitung volume balok? – Ya, pernah aku dikagetkan di suatu pagi yang lain hanya untuk membantu seseorang menghitung volume balok. Ia merasa ditipu oleh seseorang yang mempekerjakannya membuat pembatas jalan yang dibayar per meter kubik – , atau seseorang memintaku untuk mengetik sesuatu? – diminta mengetik juga sering tejadi, walaupun belum pernah sepagi itu – , atau diminta untuk melakukan pekerjaan yang selalu ku lakukan dengan terpaksa? Memotong hewan. Begitu aku membuka pintu dan mendengar maksud Pak Bulan menemuiku, ternyata salah satu tebakanku benar. Aku diminta memotong hewan oleh kepala desa Mukekuku untuk acara tu’u belis. Tu’u belis adalah acara pengumpulan dana untuk membayar belis/ maskawin kepada seorang wanita yang akan dinikahi. Selain tu’u belis ada juga tu’u sekolah dan tu’u membuat rumah, sejauh yang aku ketahui.

Sepertinya otakku belum panas pagi itu. Sama sekali tidak kusadari bahwa hewan yang akan saya potong adalah sapi. Begitu sadar, aku langsung diam seribu bahasa. Seketika suasana pagi buta kembali hening. Aku ingin sekali menolak permintaan kepala desa. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya kepada Pak Bulan. Sejak seseorang bercerita kepadaku tentang sapi pembunuh, berhadapan dengan sapi di jalan saja aku gemetar. Aku utarakan keraguanku kepada Pak Bulan, karena memang ini bukan hal dan hewan kecil, dan lagi belum pernah aku memotong sapi sebelumnya. Namun begitu Pak Bulan berkata, “akan banyak tamu muslim yang akan datang.” Aku tidak bisa beralasan banyak lagi. Siapa lagi di sini yang akan memotong hewan itu agar menjadi halal?

Dengan memantapkan hati, aku pergi ke rumah kepala desa yang berada di dusun paling ujung dari Desa Mukekuku. Masih ku rasakan dinginnya pagi saat motorku menaiki dan menuruni bukit, berkelok kelok menghindari kubangan air dan lumpur. Dari kejauhan aku bisa melihat sebuah rumah yang sudah dipagari oleh daun kelapa. Tenda-tenda sedang didirikan oleh bapak-bapak. Sementara ibu-ibu sibuk dengan urusan dapur.

Setelah bapak-bapak selesai dengan tendanya. Mereka – sekitar 10 orang – dengan dadung yang mereka bawa siap menjerat sapi. Aku kembali tersentak. Banyak sekali sapi yang ku lihat. Penasaran aku bertanya kepada salah seorang bapak disampingku berapa ekor sapi yang akan di potong. Ternyata tiga ekor. Ini pertama kalinya saya memotong sapi dan langsung tiga ekor. Aku berdiri lemas karena sudah pasrah dan merasa malu. Sebenarnya siapa yang pembunuh? Sapi atau aku?


Cerita Lainnya

Lihat Semua