Bingkisan kecil di Selasa pagi...

Valisneria Utami 27 November 2011

 

Hari itu hari Selasa, hari ketujuh saya mengajar di SDN Inp 22 Rura. Seperti biasa, saya bangun pagi (walau agak sedikit kesiangan karena ternyata disini menjelang 1/3 malam udara luar biasa dingin), saya bersihkan kamar kemudian bergegas menuju kamar mandi. “Brrrr!!” luar biasa dinginnya air..

15 menit kemudian, saya sudah siap untuk berangkat tapi sebelumnya saya punya ritual unik yang harus saya lakukan sebelum pergi ke sekolah. Saya biasa duduk di ruang tamu sebentar, menghirup kopi dan pisang goreng buatan Ibu sambil membaca materi pelajaran untuk mengajar dan menggantung HP saya di salah satu dinding bagian atas ruang tamu, sekedar mengecek apakah ada info terbaru dari teman – teman sesama pengajar muda. Awalnya cukup lucu juga melakukan hal yang satu ini. Pertama saya harus naik kursi atau sedikit memanjat karena tempat menggantungnya lumayan tinggi. Kedua, ketika ada telepon masuk, maka saya harus berdiri sepanjang obrolan di telepon itu dan saya harus menekan tombol “loudspeaker” agar suara diseberang sana terdengar jelas. Jadi bisa dibayangkan kalau saya harus menerima telepon selama 2 jam, maka saya harus berdiri diatas kursi dan sedikit memanjat selama 2 jam pula, hahaha. Dan boleh percaya atau tidak hanya di dinding itulah sinyal dapat ditangkap dengan jelas. (Untuk PM 1, terimakasih banyak telah menemukan spot sinyalnya..:D)

Oke, kembali ke cerita ritual pagi saya ternyata  belum ada satu sms pun yang masuk. Hmm, berarti belum ada info terbaru. “Kela!! Lekba masikola!!” begitu ujar saya. Hahaha, itu bahasa mandar kawan yang artinya “Ayo berangkat ke sekolah!!”. Saya segera mengambil sepatu hak cukup tinggi yang sampai saat ini saya kutuk keberadaannya karena sangat tidak sesuai untuk berjalan ke sekolah saya. Trek jalannya mendaki, kadang licin kalau hujan turun deras belum lagi jalannya sebagian mulus sebagian lagi berbatu bahkan masih jalan tanah. Kadang saya malah mencopot sepatu saya ini ketika berjalan pulang ke sekolah. Itu artinya jalanan turun dan cukup curam. “Daripada terpeleset dan jadi tertawaan murid – murid..” begitu pikir saya.

Tapi ternyata, pagi itu saya mendapat kejutan kecil dari murid saya di kelas 4. Jiplin namanya. Sekilas tentang Jiplin, murid saya yang satu ini berbadan kecil dan mungil dengan kepala agak (sedikit) botak dan berkulit coklat. Sehari – hari saya melihat dia sebagai murid yang amat sangat “aktif”. Dia selalu berada dimanapun saya mengajar. Pernah saya mengajar bahasa Inggris di kelas 6, tiba – tiba dia membuka pintu, masuk, dan duduk manis di lantai sambil mengikuti pelajaran. Setelah bosan, dia akan keluar kelas dan kembali masuk jika ingin belajar lagi. Pernah juga  ia mengintip saya mengajar dari luar, setelah itu berteriak, “Bu!! Kapan masuk kelas 4??” berkali – kali dan baru berhenti ketika saya merespon pertanyaannya.  Dalam pergaulan sesama teman, dia adalah anak yang usil. Dia suka sekali mendorong bahkan memainkan kepala teman – temannya. Ketika belajar, dia gemar maju ke depan. Bukannya menjawab soal yang saya berikan, dia malah berlari kesana – kemari, sesekali menjahili temannya lalu kembali duduk tapi bukan di kursi melainkan di meja. Satu kali juga ia pernah menyapa saya dengan pakaian bermainnya padahal waktu itu sudah jam masuk sekolah!

                                                                                                                               

“Ibu!!” begitu teriaknya sambil memperlihatkan giginya. “ Tunggu bu ya..saya ganti baju dulu!” begitu katanya lagi. “Oh my God!!!”  saya cuma bisa mengelus dada :D

Terlepas dari semua kekurangannya sebagai murid, saya akui Jiplin adalah bintang sama seperti anak – anak lain. Tahukah kawan, bahwa walaupun ia nakal dan usil ternyata Jiplin salah satu anak yang cepat menangkap pelajaran terutama pelajaran matematika sehingga kadang saya meminta dia untuk membantu mengajarkan teman – temannya yang kesulitan dan dia dengan senang hati membantu..^_^

Pagi itu, Jiplin datang kerumah orang tua angkat saya dengan tangan penuh dengan hantaran. Buah durian di tangan kanan dan satu ikat buah langsat (duku) di tangan kiri. “Wuih, banyak sekali buahnya. Pasti untuk bapak” begitu pikir saya. Dia tersenyum kepada saya, saya membalas senyumnya dan kembali sibuk memakai sepatu untuk berangkat ke sekolah. Tiba – tiba dia berjalan ke arah saya, sambil meletakkan buah – buahan itu tepat dihadapan saya.

“Ini bu buah durian sama langsat dari kebun saya untuk Ibu..” begitu katanya.

“Eh, terimakasih banyak ya..” begitu ucap saya kikuk

Dia mengangguk dan bergegas keluar rumah dan berlari menuju sekolah. Saya hanya terpaku menatap buah – buahan itu. Satu lagi alasan saya temukan untuk meyakinkan hati bahwa Jiplin adalah bintang. Hatinya begitu baik dan tulus. Kalau dipikir – pikir lagi saya belum genap sebulan mengenal dia tapi sungguh kedatangannya pagi itu membawa bingkisan kecil buat saya membuat saya benar – benar merasa tersanjung. Rasanya lebih dari sekedar mendapat undian berhadiah mobil atau uang berjuta – juta..

Saya menikmati durian dan buah langsat itu siangnya ketika sekolah usai dan tahukah kawan, rasanya entah mengapa begitu terasa manis dan nikmat di lidah. Mungkinkah ini rasa manis dari ketulusan Jiplin yang merasuk kedalam buah- buahan itu??. Saya makan buah itu bersama  dengan adik – adik angkat saya. Tiba – tiba rumah kembali kedatangan murid saya, Fikram namanya, murid kelas 6, membawa satu buah durian dan sekantong rambutan..

“Ini dari kebun saya bu....” begitu katanya..

 

 16 November 2011, pkl. 17.55

Dusun Rura, Desa Sambabo, Kecamatan Ulumanda, Majene, SULBAR


Cerita Lainnya

Lihat Semua