Aku dan Mereka Sama

Valisneria Utami 28 Januari 2012

 

Hari ini matahari bersinar begitu terik, cuaca sangat panas, aku melangkahkan kaki berjalan menuju ruang guru. Pelajaran matematika baru saja usai di kelas 4, kelas yang kuajarkan tadi. Kulihat di lapangan, murid – murid kelas 5 dan 6 tampak asyik bermain gol (bermain bola). Tak mereka pedulikan peluh yang membasahi seragam atau debu yang menyapu wajah – wajah polos mereka. Semuanya tampak bergembira. Aku duduk sendiri di ruang guru karena guru – guru lain kebetulan sedang mengajar. Dan hari ini tidak semua guru naik ke sekolah, hanya ada aku, pak Rasyid (wali kelas 5), Bu Hariana (wali kelas 2), dan Pak Kaco (wali kelas 6). Sambil memeriksa tugas – tugas murid yang kuberikan tadi, aku kembali teringat tentang percakapan singkatku dengan Laskmi, muridku di kelas 4.

Laskmi adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Sehari – harinya ia tinggal bersama kakak dan adiknya di rumah. Rumah Laksmi hanyalah sebuah rumah panggung kecil yang letaknya di ujung kampung. Dari beberapa informasi yang kudapat dari guru, ternyata beberapa bulan yang lalu sebelum aku mengajar disini rumah Laskmi kebakaran. Semuanya hangus dilalap api, termasuk buku – buku pelajaran dan seragamnya. Satu hal yang membuat guru – guru tidak percaya adalah tepat sehari sesudah kebakaran Laskmi datang ke sekolah dengan seragam yang ia pinjam dari saudaranya di kampung lain, yang letaknya cukup jauh dari kampung kami. Ia datang dengan seragam  kebesaran tanpa alas kaki dan buku namun tetap tenang masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Selain itu, orang tua Laskmi pergi merantau ke Kalimantan dan hanya bisa kembali pada saat bulan – bulan tertentu saja.

Aku sendiri mengenal Laskmi sebagai salah satu muridku yang paling cerdas dan kritis. Seperti hari ini, ketika aku mengajarkan tentang bilangan bulat. Ia dengan cepat menangkap konsep yang kuajarkan, tak jarang juga ia mengeluarkan pertanyaan – pertanyaan kritis yang kadang ku sendiri perlu waktu untuk menjawabnya. Karena itu, ia sering kujadikan asistenku untuk membantu teman – temannya. Aku lalu memberikan mereka latihan soal dan  mulai berkeliling ke meja – meja mereka. Kegiatan ini adalah kegiatan favoritku karena aku bisa membangun hubungan yang akrab dengan murid. Aku bertanya berbagai macam hal, tentang cita – cita mereka, kegiatan sehari – hari atau hanya sekedar bercanda ringan. Aku lantas menuju ke tempat duduk Laskmi dan memulai percakapan

“Bagaimana Laskmi, bisa mengerjakan soal ?” tanyaku                                  

“Bisa bu, mudahan – mudahan..hahaha” jawabnya sambil tertawa

“Oiya, apa kabar bapak sama ibumu di kalimantan ? Sehat? Kapan mereka kembali?

“Sehat aja bu, kalo kembali saya ndak tau bu..” balasnya tanpa ekspresi

Aku menaikkan alis, jawaban yang cukup cuek menurutku untuk anak seumurannya. Aku kembali penasaran,

“Memangnya kamu tidak rindu dengan orang tuamu?”

“Ya rindu bu, apalagi sama bapak kandungku...”         

“Loh maksudmu???”

Akhirnya baru kutahu dari Laskmi, bahwa ia dan ketiga saudaranya bukanlah saudara kandung. Mereka saudara tiri. Ibu Laskmi sudah 3 kali bercerai dan 3 kali pula menikah. Dari mulut Laskmi, kutahu pula bahwa begitu mengerikannya proses perpisahan ibu dengan ayah – ayahnya terdahulu sehingga membuat ia tak mampu lagi meneruskan ceritanya kepadaku. Matanya memerah. Aku lalu buru – buru menyudahi obrolan kami dan minta maaf padanya kalau pertanyaan ku tadi membuatnya bersedih tapi Laskmi hanya menggeleng pelan dan memberikan senyum tipisnya kepadaku.

 Percakapan dengan Laskmi juga mengingatkanku pada cerita Hari dan Reki, muridku dikelas 1 dan kelas 6. Kisah yang persis sama. Anak – anak korban perpisahan orang tua dan harus menjalani masa kecilnya dengan hidup terpisah jauh dengan orang tua karena alasan ekonomi. Kisah Hari misalnya, setiap malam ia tinggal berpindah dari satu rumah ke rumah lain untuk sekedar berisitirahat atau makan padahal ayah kandungnya tinggal di kampung yang sama dengan kami. Hari tidak mau untuk tinggal satu rumah dengan ayahnya karena ternyata ayahnya sudah beristri dan mempunyai anak lagi. Hari kecil takut merasa tersisih. Kurasakan aura kesedihan yang memancar dari kedua bola matanya. Jauh dari dalam lubuk hatinya, ku tahu bahwa bukanlah perpisahan ini yang ia inginkan..

“Saya rindu sama mamak saya Bu,...” begitu kata Hari pada suatu malam kepadaku. Kedua tangannya memeluk erat lenganku..

Lain lagi kisah Reki. Anak berbadan paling besar di sekolahku. Reki juga anak korban perpisahan orang tua. Ayahnya merantau ke Kalimantan sementara Ibunya tinggal di kampung sebelah karena sudah menikah lagi. Dari Reki, kutangkap kebencian yang mendalam bila kutanyakan kabar ayahnya di Kalimantan.

Ndak usah tanya – tanya tentang bapak saya Bu..” begitu jawabnya sambil berlalu.

Suatu hari ketika ayahnya tiba dari Kalimantan, Reki dengan santainya bermain di rumahku tanpa menghiraukan kedatangannya. Ayah Reki singgah sebentar di rumahku dan berbincang sebentar tapi Reki tetap tak bergeming. Jujur aku tak tahu, apa yang menyebabkan ia begitu tak mengindahkan ayahnya. Aku pun tak ingin tahu, biarlah itu menjadi rahasia Reki dan kuserahkan kepada Sang Waktu untuk membantunya mencari dan memahami jawabannya.

Tapi Reki tetaplah seorang anak kecil biasa yang ingin dunianya diisi oleh hujan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Pada perayaan Hari Ibu, 22 Desember lalu aku meminta murid – murid untuk menuliskan surat kecilnya kepada Ibu mereka. Isi surat Reki sangat singkat, isinya hanya berisi permintaan agar Ibu dan Ayahnya kembali bersatu. Dadaku sesak, haru sekaligus bahagia..

Melihat Laskmi, Hari, dan Reki aku seperti melihat cerminan diriku. Aku dan mereka sama. Kisah ku pun tak berbeda jauh dengan mereka. Hanya aku lebih beruntung. Orang tuaku berpisah ketika aku beranjak dewasa, ketika ku memasuki bangku kuliah. Aku tak memungkiri bahwa jiwa ini tak kalah bergoncang. Rasanya tidak ada satu kata pun yang bisa menggambarkan perasaanku pada waktu itu. Sudah tak terhitung lagi hari – hari yang kuisi hanya dengan cucuran air mata, kemarahan, serta keluh kesah. Dulu aku pun bersikap sama seperti mereka. Diam, cuek, acuh tak acuh namun aku masih bersyukur bahwa cobaan ini diberikan kepadaku ketika aku pelan – pelan bisa mengeja pelajaran hidup. Aku pun tak sendiri kala itu, aku dikelilingi oleh sahabat – sahabat dan keluarga yang mencintaiku. Merekalah yang dengan sabar membantuku menghadapi badai perpisahan, mengangkat raga serta jiwa ini. Tak kubayangkan jika ujian ini harus kuhadapi ketika aku masih seumur mereka, masih bisakah aku tersenyum seperti Laskmi, mendapat rangking I di kelas seperti Reki, atau sekuat Hari yang harus tidur dan istirahat di rumah yang berbeda setiap harinya ? Dari cerita mereka pula kutemukan alasan mengapa mereka tumbuh menjadi anak yang begitu keras kepala, sulit diatur, membangkang, dan cenderung suka menyakiti temannya. Karena memang selama ini, porsi kasih sayang dan perhatian yang seharusnya mereka dapatkan harus beradu dengan porsi sepiring nasi yang harus orang tua mereka perjuangkan setiap harinya. Manalah mereka tahu definisi “sayang” kalau setiap hari mereka harus berjibaku dengan kepentingan perutnya dan kerasnya hidup.

Dinding - dinding kayu di ruang guru ini menjadi saksi bahwa hari ini akan kusudahi semuanya. Aku dan mereka memang sama tapi tak akan kubiarkan mereka mengutuk dan meratapi nasibnya. Masa lalu murid – muridku disini memang kelam, tapi kuyakin masa depan mereka tak kalah terangnya dengan sinar matahari siang ini. Kupejamkan mata sejenak dan memohon pada Maha Pengasih agar senantiasa ada dalam hatiku dan mereka, mengangkat, menguatkan aku dan murid - muridku. Dan ketika setiap pagi anak – anak berteriak memanggil namaku ketika ku tiba ke sekolah, berhamburan berebut mencium tanganku begitu lama, selalu bermain di meja ku ketika istirahat tiba, bercerita begitu semangatnya sampai larut malam, dan tidur dengan nyenyak di kamarku bersamaku tidak akan kuzinkan mulut ini berkata “jangan” atau kepala ini dengan tegasnya menggeleng. Akan kutunjukkan pada mereka bahwa kasih sayang itu murah (bahkan gratis!!) harganya....

 

Dusun Katumbangan, Desa Sambabo, Ulumanda.

Pkl.14.09 WITA. Majene, Sulbar 


Cerita Lainnya

Lihat Semua