Dingin itu Rasa, (Edisi: “Layar Tancap” di Langgar)

Raisa Annisa 25 Januari 2012

Rabu malam.

Hari itu tidak biasa. Tadinya jadwalku adalah mengajar ngaji di langgar, namun karena hari itu bertepatan dengan sewelasan (tanggal 11 penanggalan jawa) pengajian anak-anak ditiadakan. Hari itu, langgar di dekat rumah dipakai untuk pengajian akbar yang diadakan bergantian dari langgar ke langgar tiap tanggal 11 bulan jawa. pengajian ini tidak biasa, ibu sudah heboh sedari hari senin. Bahkan pada hari rabu pagi, Ibu sampai tidak masuk mengajar karena membantu masak untuk pengajian. Saya semakin penasaran seperti apa pengajian itu.

Jam 17.30 saya masih bersantai membaca buku seperti biasa. Tetangga-tetangga sudah mulai heboh mengantar makanan yang telah dibuat pada siang harinya. Jam 18.00 saya sudah siap, namun masih malas untuk makan malam. Setelah sholat maghrib Ibu menyuruhku untuk makan terlebih dahulu. Ibu: “Mbak Acha, wes madang to?”. Saya: “Urung Bu, nanti aja bu habis pengajian”. Ibu: “Wealaahh mau madang jam berapa to? Pengajianne slese jam 1”.  (dengan nada medok nan heboh)

Saya kaget betul. Pengajian macam apa sampe tengah malam begitu. Memang di bulan sebelumnya saya belum pernah ikut pengajian sewelasan, di pengajian sebelumnya hanya membaca tahlil sampai isya’. Ibu Cuma bilang, “Yowes liat wae”. Akhirnya saya memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu.

Ba’da isya saya berangkat bersama kiki (host-sister saya). Ternyata benar, pengajian ini pengajian cukup besar. Tenda sudah disiapkan, bangku-bangku pun tertata rapi. Ibu-ibu pejabat desa berjejer di depan menyambut tamu. Semua berkumpul, mulai dari balita sampai manula. Sampai ada tikar khusus anak-anak duduk. Suasana ramai sekali malam itu. Rasa-rasanya pengajian ini seperti hiburan juga, ajang bertemu dengan tetangga. Tidak kalah dengan layar tancap, semua larut dan menikmati malam itu. Pengajian resmi dimulai pukul 9. Para santri bersama kyai duduk di dalam langgar membacakan sholawat, kami para jamaah menghayati dari luar. Rangkaian acara adalah membaca sholawat, menghaturkan doa-doa untuk leluhur, dan mendengarkan sambutan serta pengajian inti yaitu ceramah dari para kyai pondok. Ternyata pak lurah datang, dan ternyata sambutan darinya sekaligus pidato perpisahan karena masa jabatan beliau sudah selesai. Rasa-rasanya banyak sekali yang saya ingin tanyakan kalau saja ceramah pak lurah itu diskusi dua arah. Namun saya harus menahan diri. Saya tengok kiri kanan, jamaah masih kalem. Mungkin ada yang betul menyimak, menunggu scene berikutnya, atau ada juga yang bingung. Persis seperti penonton layar tancap

Setelah masuk acara inti, tanpa diduga, hujan turun, langsung deras. Jamaah (terutama Ibu-ibu) mulai panik. Terpal bocor, air masuk, halaman langgar menjadi banjir. Yang tenang Cuma para santri dan kyai yang berada di dalam langgar. Saya mengecek jam, ternyata sudah jam 11 malam. Hujan makin deras, akhirnya pengajian dibubarkan. Sambil celingak-celinguk saya menemukan beberapa murid saya datang dan masih ON sampai terakhir. Mereka pun pulang dengan berbekal terpal-terpal kecil dan bahkan ada yang nekat pulang hujan-hujanan. Inilah yang disebut Misbar (geriMIS buBAR).

 

Saya dan Kiki bingung, kami ketinggalan rombongan menuju rumah karena masih ribet dengan membereskan bangku. Kami menunggu sebentar, berharap ada yang menjemput. Tapi tak ada tanda-tanda orang rumah yang datang. Hujan pun tak kunjung deras. Dingin semakin melanda. Cuma satu hal dibenak saya waktu itu, pesan pelatih kopassus: “DINGIN ITU RASA,SISWA!!”. Benar pelatih, jika saya terus menggigil saya hanya akan semakin kedinginan. Jam menunjukkan pukul 12, saya bersama kiki akhirnya nekat menerobos hujan yang deras. Dingin melanda, tapi saya tahu itu rasa. Akhirnya saya bisa sampai rumah dengan selamat dan langsung mengguyur kepala supaya tidak masuk angin.

 

Ah memang, Dingin itu Rasa, kawan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua