Kebaikan Itu Menular!
Benediktus Kristiantoro 25 Januari 2012Awal semester dua ini banyak murid-murid SDN Papaloang yang mengalami penurunan semangat belajar. Aku hanya berpikiran bahwa mungkin mereka masih terlena dengan liburan satu minggu setelah penerimaan rapor. Namun kejadian ini terjadi berulang-ulang kali, bahwa mereka malas untuk belajar dan kinestetis mereka menjadi lebih besar, mereka lebih senang untuk berlari-lari di dalam kelas, menggambar di buku catatan mereka, ketimbang mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru mereka. Hal ini sempat membuatku bingung, apa mungkin mereka bosan belajar di dalam kelas?
Aku tidak menyerah dengan keadaan ini. Setelah berpikir beberapa saat, aku mengajak mereka belajar mandiri di perpustakaan, tetapi mereka tetap merasa bosan. Sambil berpikir keras, aku mencoba mencari apa yang menjadi kesenangan mereka. Pada kenyataannya, mereka bosan belajar di dalam kelas dan pada saat istirahat mereka justru lebih senang bermain di dalam hutan ketimbang di halaman sekolah. Perlu diketahui, SDN Papaloang tempatku bertugas, terletak di tengah-tengah hutan dan sekolah ini tidak memiliki pagar, sehingga mereka lebih leluasa untuk keluar masuk hutan atau bahkan pulang ke kampung tanpa sepengetahuan guru. Aku menjadi sedikit kerepotan jika mereka sering membolos pelajaran dan pulang ke kampung untuk bermain atau membeli jajanan di kios. Karena saking kesalnya, beberapa kali aku mengorbankan jam pelajaran untuk memutuskan mencari mereka satu per satu ke kampung dan menggiring mereka kembali ke sekolah.
Kali ini aku putuskan untuk menyusul mereka masuk ke dalam hutan di sisi sebelah barat sekolah. Seperti yang aku sampaikan di atas, bahwa setiap istirahat ini mereka lebih suka masuk ke dalam hutan untuk nangkring sambil memakan buah jambulan (semacam juwet kalau di Jawa). Aku meminta salah satu murid untuk memanduku masuk ke dalam hutan mencari pohon jambulan tempat tongkrongan favorit mereka. Beberapa murid yang sedang asyik duduk-duduk di bawah pohon jambulan kemudian melarikan diri karena melihat kedatanganku, beberapa memutuskan untuk tetap tinggal. Aku tidak memarahi mereka, dan karena penasaran dengan buah jambulan, aku pun terlena untuk mencicipinya (ternyata enak!). Yah, sekali-sekali menjadi guru bengal tidak masalah, toh mereka juga sedang malas belajar dan jika dipaksa belajar, mereka tidak akan maksimal. Setelah puas memakan buah jambulan, mereka mengajakku untuk pergi ke kebun untuk membeli sayur mayur. Aku tidak ingin kalah dengan keadaan, meskipun labelnya bersenang-senang dengan murid jalan-jalan ke kebun, aku tetap menyelipkan materi-materi pelajaran ketika bermain bersama mereka, memanfaatkan situasi yang sedang santai secara edukatif sekaligus mencari akar kebosanan mereka.
Rasa penasaranku ini terjawab ketika Wulan, salah satu muridku tiba-tiba nyeletuk, “Pak Nino, dulu Ibu Ayu (PM 1), sering ajak kita baronda (jalan-jalan)” pikiranku melayang mengenang bahwa betapa sayangnya Ayu kepada mereka dan sering mengajak mereka jalan-jalan keliling kota. Rupanya ada dua permasalahan yang terungkap di sini. Yang pertama adalah mereka merindukan Ayu, dan kedua mereka rindu jalan-jalan dengan gurunya. Yah memang, selama kedatanganku di sini, aku belum pernah mengajak mereka sekalipun jalan-jalan keliling kota, berbeda dengan Ayu yang pernah mengajak mereka pergi ke kantor pos, ke rumah makan, dan ke bandara. Lalu apa yang aku lakukan? Hari itu juga aku menyuruh mereka untuk menulis surat untuk Ayu, dan aku menyuruh mereka untuk menghias suratnya dengan cantik sedemikan rupa dan berjanji mengirimkan surat-surat itu secepatnya. Mereka pun menulis suratnya dengan gembira, kepada Ayu, guru kesayangan mereka.
Keesokan harinya, aku harus menjemput tim KKN Universitas Airlangga yang baru saja berlabuh di pelabuhan Babang. Aku menyewakan mobil untuk menjemput tim ini dan kemudian mengantarkan mereka untuk rehat sejenak di base camp sebelum melakukan kunjungan audiensi dengan Sekretaris Daerah Halmahera Selatan. Aku berusaha memanfaatkan momen ini, setelah meminta ijin dan berpamitan, aku segera membawa mobil dan mengarahkan lajunya menuju sekolah. Sesampainya di sekolah, aku meminta kepada wali-wali kelas untuk memilih perwakilan yang hendak kuajak pergi ke kantor pos. Wali kelas 5 dan 6 menolak karena mereka sedang dalam pelajaran penting, sehingga kuputuskan untuk mengajak beberapa murid dari kelas 3 dan 4 saja. Aku tidak memberitahu mereka kemana kami hendak pergi, dan mobil sengaja kuparkir jauh di jalan besar sehingga tidak terlihat oleh mereka. Sambil kebingungan, mereka bertanya-tanya kepadaku hendak pergi ke mana. Sepertinya mereka lupa bahwa hari ini aku berjanji untuk mengirimkan surat untuk Ayu. Kebingungan mereka menjadi-jadi ketika aku membuka pintu-pintu mobil dan mempersilakan mereka masuk ke dalam mobil dan mereka semakin tercengang bahwa gurunya ini bisa mengendarai mobil.
Wulan bertanya kepadaku “Pak Nino su tau bawa oto to? (Pak Nino sudah bisa membawa mobil ternyata)” aku hanya tertawa saja. Kemudian aku menyuruh Tasmin untuk memanggil Siman, murid kesayangan Ayu yang kini sudah duduk di bangku kelas 1 SMP, karena aku menjanjikan kepada Ayu untuk memberikan kepada Siman bertelepon dengannya. Karena kami terlalu lama menunggu kedatangan Tasmin dan Siman, akhirnya aku mengarahkan laju mobil menuju kampung untuk menjemput Siman.
Siman masih terheran-heran mengapa aku mengajaknya pergi, naik mobil pula. Lalu aku tidak tahan untuk memberitahu mereka bahwa aku hendak mengajak mereka jalan-jalan keliling kota, “hari ini torang baronda sebentar ron ke kota (hari ini kita jalan-jalan sebentar keliling kota” kataku sambil disambut teriakan girang mereka. Di perjalanan aku berkata kepada mereka, siapa yang sudah pernah naik mobil, dan hanya dua orang saja yang mengaku pernah naik mobil, sisanya berkata “kami bolom pernah naik oto avanza pakai angin dingin pula (kami belum pernah naik mobil avanza pakai AC pula).” Yah, anggap saja ini reward untuk mereka, hitung-hitung sebagai obat rindu kepada Ayu, meskipun tidak semua murid bisa ikut.
Pemberhentian pertama kami adalah toko pulsa di pusat kota, aku harus membeli pulsa untuk menelepon Ayu agar bisa berkomunikasi dengan Siman, setelah itu kami pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat kepada Ayu. Di kantor pos, aku memberikan secarik kertas dan sebuah pena untuk Siman agar dia juga ikut berkirim surat dengan Ayu di Jakarta. Kemudian aku menelepon Ayu untuk menanyakan alamat dan lantas Ayu menelepon balik untuk berbicara dengan Siman. Pak Pos bingung kenapa ada banyak murid SD di kantor pos dan aku menjelaskan kepadanya bahwa aku sedang mengajak mereka jalan-jalan sambil mengajari mereka cara berkirim surat. Setelah mengirimkan paket surat, kami berfoto sejenak di depan kantor pos dan kemudian kami berjalan-jalan keliling kota.
Di perjalanan, Siman bercerita kepada teman-temannya bahwa sekarang sedang musim durian. Lalu terbesit di pikiranku untuk bersantap durian bersama mereka, dan aku menawarkan kepada mereka. Mereka bergembira karena gurunya ini akan mengajak mereka untuk makan durian bersama. Di perjalanan menuju pasar, Syakur, PM Belang-Belang menelepon dan berkata dia sudah di swering (sebutan masyarakat setempat untuk plester beton di tepi pantai) dan menungguku untuk menyampaikan beberapa pesan. Aku pun menuju ke swering sebelum beranjak ke pasar untuk membeli durian.
Setelah memberi tahu Syakur bahwa paket kiriman untuknya sudah datang dan kuambil, aku segera berpamitan dengannya dan kemudian bergegas menuju ke pasar baru. Sesampainya di pasar, aku mencari-cari tempat parkir mobil yang lumayan susah di pasar ini, kemudian berjalan masuk ke dalam pasar bersama para murid dan Siman. Di pelataran luar pasar sudah banyak pedagan durian berkumpul di sana, lalu aku menyuruh Siman untuk mencari durian terbaik, dan kami mendapatkan empat buah durian seharga dua puluh lima ribu rupiah saja. Aku menyerahkan uang kepada Siman dan kemudian mengajak para murid untuk bersantap durian di salah satu lapak kosong. Mereka menyantap durian yang lezat itu dengan lahap!
Salah seorang pedagang rambutan melihat kami yang sedang bersantap durian dengan lahap, entah karena iba atau turut bergembira, pedagang itu memberikan dua ikat tangkai rambutannya kepada kami untuk turut disantap bersama dengan durian. Aku menyuruh anak-anak untuk mengucapkan terima kasih kepada pedagang rambutan tersebut kemudian kami menikmati rambutan pemberian pedagang tersebut.
Setelah puas bersantap durian dan rambutan, kami berjalan menuju mobil untuk kembali ke sekolah, dan pada saat aku melemparkan pandangan ke pedagang rambutan tadi, ternyata ada pembeli yang memborong beberapa ikat tangkai rambutannya! Sambil melihat keceriaan para muridku, kemudian aku menengadah ke langit, mengucap syukur, bahwa kebaikan itu menular! Hari ini aku telah berbuat satu kebaikan untuk mengajak beberapa muridku untuk mengobati kerinduan mereka dan memberi bonus bersantap durian, dan dibalas dengan kebaikan seorang pedagang rambutan yang memberikan dua ikat tangkai rambutan gratis kepada kami, dan kebaikannya itu terbalas dengan seorang pembeli yang memborong beberapa ikat tangkai rambutannya.
Aku selalu percaya bahwa mendatangkan kebahagiaan pada satu hati dengan satu perbuatan baik lebih baik daripada seribu kali menundukkan kepala dalam doa :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda