We Are Supposed To Be Inspiring

Benediktus Kristiantoro 18 Januari 2012

Sudah puluhan kali aku menonton film kesayanganku, Band of Brothers, film yang berkisah tentang tentara-tentara Kompi Easy Pasukan Penerjun Payung ke 101 Amerika Serikat yang berperang dengan gagah berani melawan tentara Jerman dengan sederet mesin perang yang mutakhir di masanya. Di salah satu episode terbaik, aku selalu menyukai jargon yang dilontarkan oleh Richard Winters, komandan Kompi Easy. Letnan George Rice khawatir akan keselamatan Kompi Easy yang akan melawan tentara Jerman dengan peralatan terbatas, ia berkata kepada Kapten Winters “Looks like you guys are going to be surrounded” dan dengan lantangnya Kapten Winters menjawab “We’re paratroopers, Lieutenant, we are supposed to be surrounded.”

Sepertinya judul di atas menjadi tagline kebanggaan seorang Pengajar Muda di medan tugasnya, sama seperti jargon Kapten Winters akan kebanggaan atas kemampuan pasukannya yang selalu berhasil menjalankan misi di tengah kepungan musuh. Sepertinya rasa optimisme menjadi bumbu rahasia keberhasilan suatu misi disamping kemampuan yang ada. Betapa tidak, kami para Pengajar Muda tidak jarang mendengar nada-nada sumbang optimisme. Ya, pesimisme bak virus endemik yang mudah terjangkit di mana-mana, dan itulah yang kami rasakan di daerah penempatan kami Pengajar Muda Halmahera Selatan.

Pesimisme ini tentu saja menjadi racun yang menyebabkan daerah ini selalu mengalami kesulitan untuk maju. Inilah tantangan kami. Meskipun dengan kemampuan Pengajar Muda yang terbatas, berada di tengah-tengah pesimisme, sudah seharusnya kami dengan lantang mengibarkan panji-panji optimisme, bahwa sesungguhnya segala sesuatu bisa tercapai bila niat dan keinginan itu terpatri 5 cm dari dahi kita (silahkan baca novel 5 cm, karya Donny Dhirgantoro). Berbicara mengenai jargon atau tagline We Are Supposed To Be Inspiring, ada dua cerita yang hendak kumuat di sini.

Yang pertama adalah pengalamanku pribadi. Saat itu aku diminta secara langsung oleh orang tua asuh Ikhsan Abdusyakur, Pengajar Muda di desa Belang-Belang, untuk mengisi acara pada saat penerimaan rapor semester satu. Apa acaranya? Meyakinkan masyarakat setempat tentang pentingnya membangun rumah guru. Glek! Aku menelan ludah. Seperti seorang pengidap skizofrenia, bayangan-bayangan liar seakan-akan tumpah menyeruak dari kepalaku. Meyakinkan. Well, memang sekilas gampang saja kalau hanya sekedar memberikan penyuluhan, tetapi maka ‘meyakinkan’ secara literal seharusnya membuat orang menjadi yakin dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu.

Bayangan-bayangan skizofrenik itu memproyeksikan kesia-siaanku meyakinkan masyarakat di desaku mengenai pentingnya membangun perpustakaan desa dan pagar sekolah, yang pernah membawaku pada titik kekesalan karena setiap kali harus keluar masuk hutan mencari murid-muridku yang tidak kunjung kembali ke kelas selepas istirahat. Meskipun bayangan-bayangan skizofrenik itu belum juga luntur, entah kenapa kali ini saraf motorikku yang menang: aku mengiyakan, tapi pada akhirnya harus memeras otak juga. Hahaha.

Pukul 07.00 WIT, ketinting jemputan tak kunjung datang, sementara langit cerah berubah menjadi gelap gulita. Cuaca sepertinya sedang buruk. Perjalanan ke Belang-Belang merupakan jarak paling dekat dari desaku, namun tetap saja harus menggunakan moda transportasi darat dan laut untuk mencapai tujuan. Setelah satu jam menunggu di Pasar Ikan, akhirnya Om Mus –orang tua asuh Syakur- datang dengan ketintingnya. Selama perjalanan tiga puluh menit aku memutar otak, apa saja yang harus aku sampaikan untuk meyakinkan. Sekali lagi, meyakinkan. Bahkan ketika ketinting mogok dan terombang-ambing di tengah laut pun tak kuasa menyita perhatianku.

Setengah jam berlalu dan ketinting sudah merapat di dermaga Belang-Belang. Aku segera bergegas menuju SD Inpres Belang-Belang untuk menemui Syakur dan para orang tua murid. Setelah bercengkerama sebentar dengan tokoh masyarakat setempat, sambil menunggu para guru membagikan rapor dan hadiah kepada para murid, aku menenangkan pikiran sejenak, mencoba untuk mencari jiwa inspiratif yang sedang bersembunyi dalam pikiranku. Akhirnya pembagian rapor usai, dan tiba giliranku untuk menyampaikan presentasi. Aku hanya berusaha untuk membuatnya menjadi sederhana, dan entah kenapa semua yang kukatakan keluar dengan sendirinya secara otomatis. Bagian terpenting adalah aku menyampaikan bahwa kehadiran Pengajar Muda di penempatannya jangan dianggap seperti dewa yang selalu bisa menyelesaikan masalah, karena tanpa dukungan masyarakat semua akan menjadi sia-sia, dan kemudian setelah Pengajar Muda selesai bertugas, seperti yang dikatakan oleh Pak Anies, bahwa pilihan untuk maju atau tidaknya hanya dua, lipat tangan atau turun tangan. Dan seketika itu hadirin di seluruh ruangan tercengang, bak ada gong besar yang dibunyikan, kebanyakan dari mereka manggut-manggut, entah itu sebagai tanda setuju atau berpikir keras. Tugasku selesai sampai di sini.

Selang beberapa hari kemudian para PM Halmahera Selatan berkumpul di base camp di Mandaong untuk koordinasi, dan Syakur membawa berita gembira, bahwa setelah aku selesai memberikan presentasi, masyarakat seakan-akan memiliki positivisme tinggi dan mereka memilih jalan yang pertama, turun tangan. Mereka setuju bahwa mereka akan membangun rumah dinas guru dalam waktu dekat! Well, let me say we’re supposed to be inspiring, thanks to Mr. Anies :)

Cerita kedua adalah berita dari PM Tulang Bawang Barat, Ardi Wilda, menyebutku di akun twitternya. Di dalam tweet update nya tercantumkan alamat tautan menuju ke blognya. Penasaran, dan aku pun segera mengikuti tautan itu. Ada perasaan bangga setelah membaca blognya. Awe, sapaan akrabnya, bercerita bagaimana dia menginspirasi murid-muridnya untuk berani memiliki cita-cita setinggi langit. Karena yang selama ini murid-muridnya tahu adalah cita-cita menjadi santri, dokter, atau guru, tidak lebih dari itu. Awe mengajak mereka untuk bermimpi lebih tinggi dengan menghadirkan TV Cita-cita, yakni dengan instrumen selembar kertas karton yang dilubangi di bagian tengahnya, dibuat persis seperti TV dari tampak depan.

TV ini menghadirkan orang-orang yang pernah berkecimpung di profesi-profesi selain guru, dokter, dan bahkan santri. Bintang tamu perdana adalah Meiske, juga PM TBB yang sebelum memutuskan menjadi Pengajar Muda berprofesi sebagai pengacara di suatu firma hukum di Jakarta. TV ini dilengkapi dengan remote, tapi bukan untuk mengganti saluran, namun sebagai syarat untuk bertanya kepada bintang tamu sambil memencet beberapa tombol di remote tersebut. Di bagian akhir cerita di blognya, Awe menyampaikan rasa terima kasihnya kepadaku dan Keceng (PM Bengkalis) karena telah menginspirasinya membuat TV Cita-cita.

Setelah membaca keseluruhan cerita Awe, memoriku melaju ke belakang ketika aku dan Keceng bersemangat untuk menghadirkan sebuah media hiburan di asrama pelatihan Calon Pengajar Muda berupa TV dari kardus bekas yang bisa diisi dengan acara apa saja sesuai dengan keinginan para PM, karena di asrama tidak terdapat TV. Aku dan Keceng menamai produk TV itu MTCTV sesuai dengan nama asrama, dan setelah TV itu dibuat, banyak acara-acara hiburan seperti parodi berita, sekilas info, telah menemani hari-hari CPM selama di asrama. Aku masih belum percaya MTCTV bisa menginspirasi Awe untuk menciptakan TV Cita-cita yang juga segera aku terapkan di daerah penempatanku.

The awesome moment is when you inspired others to create an idea and then their idea inspires you to do so. For all Pengajar Muda, we’re supposed to be inspiring!


Cerita Lainnya

Lihat Semua