info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tangisan Itu Sungguh Berbeda

UUN TSANI YUDANTI 25 Juli 2012

Entah sudah yang keberapa kali, pagi ini saya mendamaikan anak-anak yang saling baku pukul. Entah sudah berapa anak yang menangis hari ini. Mungkin kebiasaan baku pukul (saling pukul diantara mereka) sudah mendarah daging, hingga apa yang saya katakan tiap pagi untuk tidak saling pukul, masih saja dilakukan. Kadang saya tak habis pikir kenapa bisa anak-anak ini hobi baku pukul dengan temannya.

Pernah sesekali saya bertanya pada salah seorang guru tentang kebiasaan baku pukul ini. Jawabannya diluar dugaan, “Ibu pukul saja anak yang saling baku pukul, mereka pasti diam” Di ujung rotan ada emas, pepatah itu yang menjadi pegangan untuk mendidik anak-anak ini. Pantas saja anak-anak juga sudah terbiasa baku pukul dengan teman yang lain karena sering mendapat pukul juga.

Saya tak mampu berbuat banyak. Saya hanya mampu membuat tulisan-tulisan di dinding kelas untuk mengingatkan mereka untuk saling sayang pada teman, menghormati dan menghargai guru. Semoga tulisan itu selalu dibaca dan masuk ke hati mereka.

“Teng..teng” suara bel istirahat berbunyi, saya pun mengakhiri pelajaran IPA Kelas 3 hari ini. Anak-anak berhamburan keluar setelah saya ijinkan keluar. Saya mulai merapikan sisa-sisa kegiatan di kelas tadi. Tak lama kemudian suara tangisan kencang sekali meraung-raung. Dalam hati saya berkata “ Yaah..suara tangisan lagi”. Lantas saya keluar, sambil menggelengkan kepala mendekat ke anak tersebut. Saya mencoba bertanya kenapa menangis, tak ada jawaban dan tetap menangis dengan keras.

Teman-teman yang ada di sekitarnya mulai menceritakan kenapa Sammi menangis. Mereka bilang kakaknya yang pukul. Lantas saya melirik ke arah Mecki. Mecki ini adalah anak murid saya. Memang tingkahnya tidak pernah bisa dikendalikan. Ketika pelajaran dimulai saja saya harus memanggil berkali-kali sampai dia masuk. Kadang dia tiba-tiba bersembunyi di bawah meja dan menunggu saya memanggilnya hingga dia mau bergerak. Saya hanya tersenyum mengingat tingkahnya yang cari perhatian ini. Tapi siang ini saya cukup geram juga, kenapa dia jahat sekali sampai memukul adiknya sendiri.

Lantas saya tarik dia ke dalam kelas, saya hadapkan pada tulisan yang tadi saya buat bertuliskan “Sayang pada Teman”. Saya mengulang kata-kata saya tadi pagi. “Mecki, baru tadi pagi ibu bilang sesama teman saja kita harus saling sayang tho? Kenapa sama adik sendiri malah jahat begitu?” Dia Cuma diam saja, menunduk. Saya coba tanya alasan kenapa dia memukul adiknya. Dia tetap diam menunduk. Saya mencoba melihat ke wajahnya, ternyata dia menangis. Tapi tangisannya lain tidak seperti anak-anak lain. Tanpa suara, air matanya menetes. Saya merasa bersalah lantas saya peluk anak itu. “Mecki, coba cerita sama ibu, tadi Mecki kenapa?” tapi masih saja air matanya menetes tak henti, dia memandang ke arah ku. Tuhan... wajah ini berbeda dari yang biasanya. Saya melihat raut muka penyesalan. Saya kembali memeluknya dan mengantarkannya ke bangkunya.

Selama pelajaran, sesekali air mata Mecki menetes lagi. Saya mencoba membiarkannya sendiri. Mungkin memang dia butuh waktu untuk menyelesaikan perasaan bersalahnya. Mungkin kata-kata saya telah masuk dalam hatinya sehingga dia menyesal telah memukul adiknya.

Pelajaran usai, anak-anak lain bersalaman dengan saya tetapi dia langsung berlari pulang. Yah mungkin dia sedikit marah dengan saya. Mungkin besok juga sudah kembali ceria, yah semoga saja.

Keesokan harinya saya melihat hal yang berbeda dari Mecki. Dia tersenyum malu padaku sambil menyalami dan mencium tanganku. Selama pelajaran tak lagi nampak Mecki yang dulu selalu jalan-jalan di kelas atau bersembunyi di bawah meja. Tapi kali ini Mecki duduk tenang di mejanya mendengarkan dan mengikuti alur pelajaran yang saya buat.

Bahkan mulai hari itu, Mecki menjadi anak yang paling rajin di kelas. Ketika pelajaran tambahan sore pun saya berikan, dia selalu datang pertama kali. Mulai saat itu juga saya tidak pernah melihat lagi dia memukul temannya. Bahkan kadang mengingatkan temannya yang saling baku pukul. Syukurlah... ternyata Mecki tidak marah padaku. Ternyata tulisan-tulisan di kelas itu cukup mujarab. Semoga tidak hanya Mecki saja yang menghentikan kebiasaan saling baku pukul. Sekarang saya tahu bahwa tangisan Mecki hari itu berbeda dengan tangisan biasanya. Tetapi kini saya tahu tangisan itu dari hatinya, bukan karena disakiti raganya tetapi karena sadar akan kesalahan.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua