Romantisme Sejarah Bagi Sang Orator
Trista Yudhitia Bintoro 7 Juni 2014Saya sesungguhnya mempunyai janji kepada teman-teman Pengajar Muda VI, entah mereka ingat atau tidak. Yang pasti, janji itu tidak bisa saya tepati kepada alm. Adit. Janji itu adalah mengirimkan lembar refleksi tentang hidup atau harapan mereka -yang mereka tulis dengan tulisan tangan mereka sendiri-- setidaknya setelah 6 bulan penempatan. Saya menyebutnya, diary time capsule. Tidak dikubur di suatu tempat dalam tanah, tetapi saya bawa sampai penempatan. Sempat pula teringat Desi yang berkata, "benar ya? benar ya? janji loh". Iya, ternyata memang sukar melawan rasa malas pergi ke kantor pos dan memeriksa satu-satu alamat mereka .
Selalu ada niat mengirim, tetapi ada satu alasan yang membuat saya menundanya. Lembar buku tersebut tidak cukup untuk 73 kawan saya. Alhasil, di akhir-akhir, terdapat beberapa tulisan dengan penulis yang berbeda, yang tergabung dalam satu lembar tersebut. Konsep awalnya adalah saya ingin merobek lembar tersebut dari buku saya dan mengirimkan tulisan tangan asli mereka. Namun belakangan saya ketahui itu tentu tidak mungkin, karena akan ada beberapa teman yang tidak mendapatkan tulisan tangannya. Saya harus memilih dia atau yang lain. Mau tidak mau, agar semua kebagian, saya harus fotokopi atau scan. Kesibukan ternyata belum menyempatkan saya untuk melakukannya. Saya menunda.
Ketika mendapatkan telepon tentang meninggalnya alm. Adit dan menyudahi pembicaraan, saya tertegun sejenak. Saya teringat tulisan beliau di diary oranye saya. Belum sempat aku kirim, Dit!
Saat itu, entah kenapa, banyak sekali tim Muba yang sedang tidak memegang handphone mereka. Faktor hari Libur sepertinya, dimana saya sendiri sedang menikmati rekreasi memancing dan mengambil buah nipah sampai siang hari. Sukar bagi kami untuk mengejar pergi ke Lampung pada hari itu juga, karena speedboat sudah pergi dari pagi hari tadi. Ada wacana membahas kemungkinan carter speedboat untuk dapat keluar desa pada hari itu, tetapi karena biaya yang mahal dan hari terlalu gelap untuk berangkat, kami terpaksa memilih esok pagi. Resikonya, kami tidak dapat mengantar kepergian Alm Adit ke tempat peristirahatan terakhir, tetapi positifnya kami tetap bisa berkunjung dan berbincang di tanahnya. Prosesi penguburan diwakilkan oleh Kahfi dan Rinay yang sudah berada disana karena dapat pergi karena melalui jalan darat.
Malam setelah berita tersebut, saya teringat janji yang tidak bisa saya tepati ke alm. Adit. Kenyataan bahwa umur tidak bisa diduga, membuat saya takut tidak dapat melunasi janji. Saya bergegas ke sekolah malam-malam, memakai fasilitas printer agar saya dapat fotokopi tulisan mereka. Terlebih dan terpenting, menggandakan tulisan Alm. Adit.
Dari selepas maghrib sampai jam 10 malam, saya menunggu kopian tersebut. Yah, 73 tulisan itu tidak sedikit, belum lagi yang berlembar-lembar. Seraya menunggu, saya membaca-baca tulisan jujur mereka. Kemudian sampai pada lembar tulisan Alm Adit…
Hi Trista
So Suits, pas trista minta testimony saya ini, serasa kayak jadi Pak Anies, hahaha…
Tapi saya tahu ini untuk kenangan kita, karena sejarah hidup itu perlu untuk direkam, dan tulisan testimoni ini nantinya saya yakin, jadi salah satu momen “Romantisme Sejarah” PM 6 kita…
Bagi saya hidup itu;
- Berguna bagi yang lain. Apapun prestasi kita, selama tidak berguna/ tidak ada manfaat bagi sekitar kita, itu bukanlah hidup.
- Belajar. Belajar makna apa saja. Belajar itu sulit, tetapi dengan kesulitan itulah kita bisa ambil hikmah dari setiap peristiwa. Dan itulah belajar yang baik.
- Menahan, karena pada dasarnya menahan segala sesuatu adalah kehidupan. Lihat pohon, karena dia tidak bergerak, tetapi dia berguna.
- Mengalir, karena dalam mengalir itu kita bisa berpikir untuk lebih hidup. Dan…
- Memimpi untuk esok, karena tanpa mimpi esok, kita tidak tahu besok kita mau apa dan bagaimana. Maka memimpi(n)lah.
Jakarta, 12/06/2013
Aditya P.
Jurnal oranye saya memang saya rumuskan mengenai hidup mereka. Walau tak sedikit yang malah jadi curhat colongan di buku ini. Biasanya mereka membawa buku saya beberapa jam atau bahkan satu hari untuk menuliskannya. Sungguh sangat mengundang senyum, karena begitu jujurnya kawan-kawan.
Benar, Dit, ini memang romantisme sejarah.
Filosofi hidupmu akan kami kenang dan bawa. Sejarah tulisan yang: Iya, ini Adit banget. Itu adalah dirimu Juni tahun silam, dan sepertinya (maaf jika saya sok tahu), itu tetap menjadi filosofi hidupnya sampai detik terakhir. Entahlah, tapi itu yang saya dapat ketika membaca blog-blog beliau. Ternyata seperti itu ya, romantisme sejarah bagi sang orator.
***
P.S: Sudah terfotokopi dan sudah rapi jali dalam amplop, yang saya tulisi satu-satu dalam amplop putih. Sudah lama juga bertengger di meja saja. Sengaja testimony Alm Adit akhirnya saya post disini, karena lagi-lagi saya khawatir tidak dapat menepati janji. Tapi mengapa ya, surat yang lain belum terkirim juga?
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda