info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Harga Perubahan Pak Rin

Trista Yudhitia Bintoro 6 Juni 2014

Professional talk adalah agenda yang kerap disampaikan oleh Kepala Sekolah SDN Bandar Agung.  Beliau bernama Pak Tukirin, yang kerap kali disapa dengan panggilan Pak Rin.

Seperti kebanyakan orang di desa transmigrasi, Pak Rin berasal lahir di Jawa.  Rumah beliau bukannya dekat dengan sekolah kami.  Sudah menjadi hal yang biasa melihat beberapa guru dari desa lain mengajar di desa yang berbeda, salah satunya adalah Pak Rin.  Jika desa saya disebut sebagai P16, Pak Rin tinggal di desa P8.  Beliau dan istrinya yang merupakan pekerja di bidang kesehatan mempunyai 3 anak yang baik dan santun.  Terkadang si kecil sering ikut datang ke sekolah.  Ketika saya berkunjung ke rumah beliau, kesederhanaan dan rendah hatilah yang saya dapat.  Poskesdes berdiri disamping rumah beliau yang bermaterial kayu.  Poskesdes ini yang juga menjadi tempat kerja sang istri, berdiri kokoh dengan balutan semen. 

 Pak Rin adalah salah satu aktor lokal yang sangat berdedikasi dalam mengembangkan sekolah dan guru.  Membuka ruang interaksi, begitu yang kerap ia sebut, ketika mengusulkan sebuah acara.  Saya mau anak-anak itu bertemu dengan yang lainnya, tidak melulu teman satu sekolah. Jadi dia bisa belajar dari hal yang tidak biasa, tambah beliau lagi.

Jika saya menilik 11 bulan saya disini, beliau adalah salah satu kepala sekolah yang mempunyai manajemen sekolah yang bagus dan ide-ide yang aplikatif.   Salah satu contohnya, dengan menerapkan professional talk.  Intinya, setiap guru dianjurkan untuk melakukan percakapan dan diskusi yang sesuai dengan profesi guru ketika berada di kantor.  Bukan lagi membahas kebun karet dan sawit, harga wallet yang turun, urusan rumah dan lainnya, tetapi lebih berdiskusi kearah pengembangan diri dan sekolah.  Hal ini untuk membuat dekat guru satu dengan yang lainnya, dengan topik pembahasan yang dapat dipahami seluruh tenaga pendidik di sekolah.

 Ketika rapat awal tahun pelajaran baru, beliau dengan lugas membagi-bagi tugas mengajar tiap guru, seraya bersikap sebagai fasilitator guru-guru lain.  Di lain hari, beliau juga dapat dengan tegas merumuskan suatu solusi, seperti ketika melakukan pembagian tugas masing-masing Pembina ekstrakurikuler.  Di pelatihan Kepala Sekolah atau Diklat Kepsek, beliau tidak segan-segan mengemukakan pendapat dan memberikan gambaran riil yang membedakan rencana dari pemerintah dengan hal yang terjadi sebenarnya.

Misalnya, ketika pengenalan kurikulum 2013 dan pengaplikasiannya di desa, beliau menyuarakan hal yang sudah menjadi ganjalan hati banyak tenaga pendidik, termasuk saya.  “Hal yang tersulit bukanlah kurikulum yang berganti.  Toh, kurikulum ini baik karena mengutamakan pendidikan moral.  Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana posisi guru di daerah kami bebas dari unsur politik, baik secara sukarela maupun paksaan.  Hal tersebut yang menyulitkan kami dalam mengajar.”

Suara itu terbilang tabu.  Sering terlintas dipikiran, tetapi banyak yang tidak berani protes.  Saya juga hanya maklum saja jika mereka tidak berani angkat bicara, karena ancaman mutasi menjadi momok menyeramkan bagi keluarga.

Rapat sekolah sering kali diadakan jika perlu.  Semua masukan, rencana acara yang akan datang, unek-unek, semua dibahas sebagai bahan evaluasi bersama.  Tidak lupa, laporan keuangan dibahas dengan transparan pada setiap rapat.  Dapat berapa, habis berapa, tersisa berapa, semua guru dapat mengakses laporan keuangan dan berkas-berkas lain di kantor kepala sekolah, yang tersusun rapi dalam folder-folder.  Dari perilaku beliau, terlihatlah akhlak yang baik dan ketakutan terhadap Yang Maha Pencipta.  Hal ini juga yang menjadi pematik kepercayaan dalam pengurusan keuangan.  “Untuk apa mengambil uang yang bukan haknya”, begitu yang beliau pernah sebut ketika membahas teknis dana BOS.

Pak Rin juga yang selalu berusaha memperkenalkan Pengajar Muda di kecamatan kami, ketika kami terbilang baru di daerah.  Beliau beserta jajaran pengurus K3S mengundang kami ke acara rapat untuk merumuskan suatu lomba olimpiade non-OSN.  Beliau membantu koordinasi dengan kepala sekolah lainnya dalam pengurusan pembelian buku, pendaftaran peserta, dan penyampaian informasi-informasi lainnya.  Tentu hal tersebut sangat membuat hati lega, karena Pengajar Muda tidak bekerja sendirian.

Tidak hanya itu, Pak Rin lah salah satu kepala sekolah –yang tentu kepala sekolah lain juga sama berdedikasinya—yang dengan sigap mencari informasi-informasi tentang pendanaan sekolah.  Beliau mengajukan usulan dana rehabilitasi sekolah, membelanjakannya menjadi gedung perpustakaan dan alat-alat peraga yang luar biasa, dimana sekolah lain belum mendapatkan informasi tersebut.  Alhasil, kami punya perpustakaan.  Beberapa dana yang terlebih, berubah menjadi lapangan bulu tangkis dan rompi untuk seluruh siswa SDN Bandar Agung, sesuai kesepakatan dengan komite sekolah. 

Pak Rin juga lah yang tidak henti-hentinya berdecak kagum dan mencoba mengaplikasikan hasil observasi beliau ketika guru-guru mengadakan rekreasi studi banding ke sekolah di Jawa.  Iuran ditanggung orangtua sebagai alat untuk meningkatkan kepedulian bersama, sudut pandang lain pengelolaan di sekolah Jawa, semua beliau serap untuk dapat diadaptasikan ke daerah ini.

Beberapa hal yang beliau sampaikan terkadang menuai gumaman.  Salah satunya adalah ketika mengajukan usulan untuk mengadakan Lomba Kompetensi Akademis Gugus IV Lalan. Acara ini dikemukakan kepada saya pada awalnya, sebelum disampaikan ke rapat sekolah dan rapat gugus.

Lomba Kompetensi Akademis Gugus IV lalan adalah lomba dalam skala kecil namun melibatkan seluruh tingkat kelas.  Ringkasnya, 6 sekolah dari gugus IV Lalan akan membawa jagoan mereka dari kelas 1 sampai 6 untuk dipertandingkan dalam bidang akademis.  Hal ini membawa perubahan, karena biasanya hanya anak kelas 5 yang ditandingkan dalam lomba akademis setiap acara kecamatan.  Lomba Siswa Berprestasi, harus anak kelas 5.  Lomba OSN, mewajibkan anak kelas 5.  Lomba FLS2N, hanya anak kelas 5 yang boleh ikut.  Hanya O2SN saja yang memperbolehkan siswa kelas 3 dan 4 untuk unjuk bakat.

Bagaimana dengan anak kelas 1 sampai 3? Apakah mereka mendapatkan hak berinteraksi dengan anak-anak diluar sekolah mereka? Bisakah mereka siap mental dan tidak hanya menjadi jago kandang? Itulah yang menjadi dasar pemikiran terwujudnya lomba kompetensi Akademis Gugus IV ini.

Lantas, kenapa menuai gumaman? Hal itu dikarenakan pembiayaan pelaksanaan lomba murni keluar dari kantong guru.  Pemberian hadiah pun sama. Ide ini sesungguhnya tercetus karena melihat beberapa guru yang tingkatannya sudah ‘sepuh’ mendapatkan banyak sekali materi dari hasil mengajar mereka.  Tunjangan ini itu, gaji, dan sertifikasi pula.   Apa salahnya mensedekahkan sebagian untuk anak didik, demi terwujudnya ruang interaksi mereka dan jiwa kompetitif mereka? Tentu dengan porsi adil antara guru honorer dengan guru PNS.  Tak ditampik memang, tak semua guru dapat merasakan limpahan materi tersebut.

Hal lain yang pernah dilakukan Pak Rin adalah, ketika beliau dengan tegas menolak memberikan uang ‘tutup mulut’ kepada KPK gadungan yang sering sekali muncul di daerah kami ini.  Oh ya, satu hal yang membedakan LSM disini dengan di Jawa adalah, LSM disini sering disalahgunakan oleh sebagian pihak.  Memang, TIDAK SEMUA LSM seperti itu, namun begitulah kenyataan yang terjadi di lapangan ini.  Anggota KPK palsu ini datang ke sekolah-sekolah, ‘bersilahturahmi’ sambil ‘mengintrograsi’ pengelolaan keuangan sekolah.  “Saya bisa laporkan penyalah-gunaan ini bla bla bla," ancam mereka. Mereka datang dengan kartu identitas yang jika orang tahu mereka gadungan, akan terbahak-bahak.  Sayangnya, saya tak pernah ada, kalau tidak, mungkin saya --yang terlalu tidak pikir kemungkinan mereka punya pelindung-- berbalik mengancam melaporkannya ke pihak berwajib pusat.  Akhirnya, beberapa sekolah lain memilih tidak mau ambil ribut dan memberikan uang yang jumlahnya tidak sedikit kepada mereka.  Apakah sekolah itu yang salah?  Tidak juga.  Beberapa kepala sekolah hanya tidak mau mengundang keributan dan malas berkonfrontasi.  Kedua, jangan kira pengelolaan dana BOS dan SPJ semudah pelajaran akuntansi dasar.  Jadi tidak ada yang salah dan benar.  Hierarki kepala sekolah intinya adalah: bagaimanapun alur keluar masuk, yang penting SAYA TIDAK MENGAMBIL uang sekolah untuk dimakan sendiri.

***

Masih banyak lagi yang Pak Rin lakukan dan kemukakan. Tentu saja, hal tersebut terwujud atas bantuan guru-guru dan pemangku kepentingan lainnya. Pak Rin juga manusia biasa.     Mungkin ketika beberapa orang membaca tulisan ini, terdapat komentar-komentar yang berbeda, tetapi inilah sudut pandang saya.  Mungkin tidak semua menyukai Pak Rin –we can’t never please everybody after all.  Mungkin beberapa merasa kurang nyaman dengan keterus-terangan Pak Rin dalam berbicara.  Mungkin beberapa merasa tidak dapat menerima gaji mereka dipotong karena absensi yang bolong (walaupun saya tidak tahu menahu tentang ini, ini hanya asumsi belaka).  Mungkin juga beberapa merasa omongan Pak Rin merupakan sindiran kepada mereka, padahal Pak Rin tidak bermaksud apa-apa dengan perkataan tersebut.  Jika merasa tersindir, bisa jadi ada kenyataan lain dibaliknya.

Namun bagi saya, setidaknya Pak Rin adalah manusia yang berakhlak baik dan pemimpin yang selalu bersemangat untuk mengembangkan pendidikan.  Di saat saya mengamati beberapa orang yang menjadi guru pengukur materi, beliau bekerja dengan ikhlas.

Tetep saja saya bersyukur masih ada sosok guru yang menjadi guru karena beliau berjiwa guru.  Bukan guru yang menghilang pada saat harus mengajar, atau guru yang mengukur kerjanya dengan gaji yang ia dapat sungguh, saya mengerti dengan keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka begitu, tetapi tetap saja terkadang mengganjal hati). 

Syukurlah beliau bukan guru yang memakan uang pemerintah karena terbuai dengan tanggung jawab mengurus uang dalam jumlah banyak.  Bukan juga seperti Pengajar Muda yang membuat tulisan ini, yang terkadang kerap kali semangatnya naik turun --jelas kalah dengan semangat Pak Rin ini.  

Saya bersyukur saya melihat sosok pendidik yang berintegritas, berakhlak baik, dan mempunyai arti sesungguhnya dari menjadi seorang pengajar.  Memaknai arti kata guru yang sebenarnya, lebih dari sekedar literasi digugu dan ditiru.  

Beliau jelas membawa perubahan ekstra bagi sekolah kami, mendobrak disaat yang dibutuhkan, berdamai disaat yang tepat.  Menilai situasi dari hasil pengalaman diri.  Di dasar kenyataan, pasti ada yang beliau bayar untuk harga perubahan ini.  Harga kekuatan untuk tetap fokus dan teguh.


Cerita Lainnya

Lihat Semua