Juni, Apakah Waktu Hampir Habis?

Trista Yudhitia Bintoro 5 Juni 2014

Waktu sudah memasuki bulan Juni. Jika memakai istilah kawan-kawan Pengajar Muda, sudah 11 purnama sejak kami datang ke daerah penempatan. Itupun kalau saya tidak salah hitung.

Bulan Juni juga yang menjadi titik awal dan akhir kami di sini.  Juni tahun 2013 adalah momentum dimana selepas dari pelatihan Wanadri di Gunung Tikukur, Gunung Kolotok, Cadas Panjang, dan Leuweung Tengah Ranca Upas Ciwidey, kami akhirnya dilantik menjadi Pengajar Muda.  Akhirnya bukan CALON Pengajar Muda lagi.

Sebelum berbalik ke camp dari Ranca Upas, Juni itu kami melahap pisang dan tempe pertama kalinya, merasa itu adalah makanan terenak bagi kami yang telah menjalani pelatihan di hutan.  Makanan di hutan jelas hanya untuk mendapatkan energi, bukan memanjakan lidah.

Kami kemudian terburu-buru memasukkan barang-barang bekal satu tahun di daerah penempatan. Masih teringat oleh saya, beberapa bayang orang yang terlihat memasukkan dan membongkar ulang barang-barang Menurut mereka, semua penting untuk dibawa.  Ada juga satu orang, Iwan namanya, yang juga dengan luar biasanya membawa bekal satu tahunnya dalam tas ukuran sedang. Ternyata terdengar kabar, pada akhirnya tas beliau malah hilang di bandara. Pergi ke daerah penempatan tanpa apa-apa? Sepertinya Iwan punya cerita.

Memori lain pada bulan Juni tanggal 12 adalah ketika kawan saya, Alm Aditya Prasetya menuliskan pesan beliau tentang filosofi hidupnya di buku oranye saya. Memang saya sengaja meminta mereka untuk menuliskan tentang MEREKA, entah itu tentang hidup, harapan atau cerita-cerita.

“Tris, ini bakalan jadi momen ‘Romantisme Sejarah’ PM 6 nih kalau kita semua sudah kumpul lagi!”, kata beliau sewaktu menyerahkan kembali buku oranye itu. Pun kata Romantisme Sejarah tersebut ia goreskan juga ke dalam buku saya.  Akhirnya kami akan berkumpul, walau secara raga, jumlah kami tidak sama.  Umur memang hanya Tuhan yang tahu.

Setahun yang lalu di bulan Juni juga menjadi noktah dimana kami melepas tim Bawean yang pergi berangkat pertama kali. Tim Bawean inilah yang menurut kami (Tim Muba) adalah kumpulan orang-orang baik dan berpahala tinggi. Kemudian setelahnya, kami begadang menunggu jadwal keberangkatan pesawat, berangkat dari tengah malam dan menunggu jadwal pagi buta, memeluk banyak kawan tim daerah penempatan lain semampu kami sebelum pergi.

Ada juga momen dimana saya duduk berdampingan satu pesawat dengan dengan tim Muara Enim. Saat itu Kak Ridwan (mungkin beliau akan tersedak sekali lagi saya panggil 'Kak') dan Adhim terlihat menggoreskan pena untuk mengisi buku oranye saya, sambil melihat-lihat matahari terbit dari pesawat. “Ini penerbangan pertamaku, Tris”, kata Adhim dengan luar biasa senang.

Juni tahun lalu juga merupakan momen dimana tim Muba merayakan ulang tahun saya di sela-sela transisi dengan kue yang terbuat dari tumpukan pempek.  Biasanya yang seperti ini adalah ide ibu Guru Fini, PM IV Muara Medak. Saat itu, kami juga bersama dengan Refina, murid yang juga finalis OSK dari sekolah saya yang ikut serta bertemu Bupati.

Sampai akhirnya, kami menemui titik dimana kami harus berjalan sendiri-sendiri di desa.  

 

---

Bulan Juni tahun ini, dua ribu empat belas, kami melihat banyak sekali hal-hal yang membanggakan. Tak dipungkiri juga, ada hal-hal yang belum berkembang dan belum terlihat niat memanfaatkan peluang yang ada.

Apakah waktu hampir habis?

Kalau akademisi sastra Indonesia mungkin akan menapik.  Waktu kok, bisa habis.  Waktu tidak bisa habis. Selalu ada, toh? (oke saya mulai berimajinasi dan melenceng dari topik).

Secara fisik, YA. Kami, jika Tuhan Yang Maha Kuasa mengizinkan, akan meninggalkan ranah ini. Kami akan meninggalkan bagian dari Indonesia ini, yang ternyata sudah menjadi perluasan zona nyaman kami.  Sering kali ditanya apakah kerasan tinggal di daerah penempatan, yang tentunya dijawab dengan santai “tentu betah!”.  Yah, mau bagaimanapun juga, tetap rumah sendiri kami sendiri.

Sebentar lagi, kami semua akan berlomba-lomba mencari zona tidak nyaman sekali lagi.  Mencoba dunia baru, sekolah baru, pekerjaan baru, bisnis baru, petualangan baru, hidup baru dan tantangan baru.  Mencari perluasan zona nyaman sekali lagi.

 

Lantas, jika waktu hampir habis, apakah yang telah kami perbuat?

Dengan segenap keyakinan dari teman PM dan juga (mencoba) menyakinkan diri sendiri, kami selalu berharap bahwa suatu saat nanti akan ada satu perubahan kecil. Satu saja, kecil pun tak apa, namun terbentuk salah satunya dari sumbangan kehadiran kami disini.  Entah apakah ini terdengar sombong atau tinggi hati, karena siapalah kami ini.  Entah berapa kali -mungkin berjuta kali- kami merasa belum berbuat apa-apa.  Entah berapa kali juga itu biasanya selalu ditepis oleh kawan-kawan PM seluruh daerah penempatan sebagai tanda penyemangat positif.

Kami memang belum bisa menjanjikan apa-apa.

Beberapa hari yang lalu saya dan Kahfi, rekan sepenempatan bertukar kata. Intinya sih, meniru perkataan founder IM, yakni yang berbahaya adalah diamnya orang baik. Jadi, ada kemungkinan juga di bulan Juni ini, kami akan mencoba mengambil resiko, bergerak maju ke depan, mengungkapkan beberapa hal secara tersurat dan tersirat untuk menjadi bahan evaluasi bersama. Tentunya, sesudah mengamati situasi.  Yah… kami masih ingat peribahasa “dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak”. Jika sukar secara tersurat, maka kami sampaikan dengan tersirat.

Mungkin Pemimpin kami disini tidak selalu memilih untuk mengikuti evaluasi dan laporan kami, lagi-lagi karena apalah yang kami bisa berikan selain iuran kehadiran. Ilmu kami masih sedikit.  Namun setidaknya, sebelum kami meninggalkan tanah tercinta ini, kami sudah memberikan pilihan-pilihan untuk sang Pemimpin. Memperlihatkan realita dari sudut pandang berbeda,  berintegritas saat ketika sesuatu yang salah menjadi benar hanya karena semua menganggapnya benar, atau hal-hal yang sungkan dikatakan oleh orang lokal disini.

Kami hanya mencoba memperlihatkan pilihan kepada pemimpin kami sebelum waktu habis.

 

Jadi, benarkah waktu kami disini akan habis?

Tidak.  Sama sekali tidak.  Apalah arti menghitung waktu dan purnama keberapa.  Raga kami mungkin tidak ada di daerah yang kami sayangi ini, karena kami berdiri di bagian bumi lainnya.  Raga kami memang hilang dari pandangan secara fisik di daerah ini, namun kami tetap mencoba mengembangkan Indonesia dari manapun kami berada nantinya. Hal-hal yang terlihat disini akan menjadi catatan pribadi kami.  Hal-hal yang nantinya akan kami perjuangkan kebenarannya.  Mungkin tidak sekarang. Mungkin, Juni 2 tahun lagi? atau Juni 2020? Siapa yang tahu.

 

Walau (katanya) waktu kami hampir habis, setidaknya biarlah kami mengucapkan:

Terima kasih, telah memberikan banyak pelajaran untuk kami si Pengajar Muda. Pelajaran santun dan pelajaran kepedulian dari masyarakat sekitar.  Mata pelajaran ketulusan yang biasanya kami petik dari murid-murid kami sendiri.  Tak lupa juga pelajaran menghadapi berbagai jenis orang dan pelajaran melihat birokrasi Indonesia secara langsung, bukan lagi dari berita-berita acara. Kami juga jadi banyak belajar cara membaca situasi.  Kemudian pintar-pintarlah kami membedakan kapan diam itu emas, dan waktu yang tepat untuk angkat suara.

Terima kasih kami hanturkan di waktu yang hampir habis ini karena semata akan meninggalkan daerah penempatan tersayang.

Terima kasih.  Terima kasih.  Karena waktu hampir habis.

 

***

Intermezo, hari ini saya mendengar siswa kelas VI berlatih untuk perpisahan. Mereka bersenandung persis apa yang teman-teman dan saya nyanyikan sewaktu perpisahan SD saya.  Bersenandunglah lirik lagu Koes Plus:

♩ ♪ ♫ ♬

Kapan-kapan

kita bertemu lagi

Kapan-kapan

kita berjumpa lagi

Mungkin lusa atau di lain hari

♩ ♪ ♫ ♬


Cerita Lainnya

Lihat Semua