“Ga Papa kan Bu Kalau Jatuh?” - Kelas Matematika Terakhir

Ade Ayu Kartika Sari Rezki 2 Juni 2014

Hari ini adalah hari rabu. Sesuai dengan jadwal, pada jam pelajaran pertama saya akan masuk ke kelas VI untuk mengajar matematika. Tidak seperti biasa, kali ini saya tidak ingin mengajar bangun ruang, bangun datar, atau apapunlah itu. Minggu depan anak-anak akan menghadapi ujian akhir. Semua materi sudah habis, latihan soal dan berbagai les pun sudah mereka jalani. Saya rasa mereka sudah cukup ‘mabuk’ dengan segala persiapan menghadapi ujian akhir itu. Setelahnya, ada class meeting, lalu pembagian rapor, lalu mereka pun melanjutkan ke SMP. Jadi, ini adalah kelas terakhir saya. Saya ingin mengajarkan yang lain.

Bercerita. Ya, kelas pagi itu saya isi dengan bercerita. Saya bercerita tentang kondisi dimana mereka tinggal. Pulau Kalimantan yang dilimpahi dengan kekayaan alam. Batu bara, minyak bumi, perkebunan sawit dimana-mana. Bercerita pula saya tentang kondisi negara Indonesia, yang negerinya kaya, namun rakyatnya (belum) makmur.

Suasana kelas menjadi sangat menarik, karena bukan hanya saya yang bercuap-cuap di depan. Anak-anak pun sangat antusias mendengarkan cerita, juga mengajukan pertanyaan.  “Bu, Indonesia negara maju kah?”, “Bu, kenapa dulu Belanda menjajah kita?”, “Bu, negara yang paling bagus, negara apa?”, dan masih banyak pertanyaan menarik lainnya. Cerita saya pun mengalir ke topik lainnya, seperti tentang korupsi, nilai kejujuran.

Sesi bercerita saya akhiri dengan membuat sebuah tabel di papan tulis. Terdiri dari dua kolom. Kolom pertama saya menulis nama mereka. Kolom kedua saya biarkan kosong, agar mereka dapat menuliskan cita-citanya.

Satu per satu anak-anak saya minta maju, untuk menuliskan cita-cita mereka. Ada yang masih malu-malu, menunggu temannya untuk maju duluan. Ada yang dengan percaya diri, langsung maju ke depan menuliskan cita-citanya.

Hingga giliran anak yang bernama Armansyah. Dengan langkah tenang dia mengambil spidol, lalu menuliskan kata ASTRONOT pada kolom cita-cita.

 Tak berapa lama, setelah Arman duduk. “Siap-siap jatuh saja, Man. Cita-cita kok tinggi betul. Ga sadarkah kamu?” sindir seorang temannya.

Hening sesaat di kelas.

“Ga papa kan Bu, kalau jatuh? Paling sakit. Tapi kan bisa jalan lagi”, jawabnya tenang. Matanya yang bulat, hitam jernih menatap saya, meminta persetujuan.

Saya terdiam. Anak ini..... Dalam sepersekian detik memori saya, kembali ke masa lalu. Dulu, sewaktu SD saya mengalami hal serupa. Ketika saya dengan yakinnya menyatakan cita-cita saya, ada salah seorang teman yang menyindir kalau cita-cita saya ketinggian. Tidak bisa membalas, saya pulang dengan menangis. Lalu, mengadu pada Ibu.

Pikiran saya kembali ke ruang kelas VI. “Iya, benar Arman. Jangan takut bercita-cita yang tinggi. Kalau jatuh, memang kenapa? Paling sakit, tapi kita kan bisa berdiri lagi” jawab saya. Jawaban yang hampir sama dari Ibu saya, dulu ketika menghibur saya yang menangis. “Bercita-citalah yang tinggi, jadi orang sukses yang bermanfaat buat orang lain. Jangan lupa, bekerja keras untuk mencapainya.” lanjut saya. Arman pun tersenyum kecil sambil mengangguk mantap.

Kelas pun saya akhiri dengan membuat ‘janji kelingking’ – tidak akan menerima bantuan ataupun memberi bantuan saat pelaksanaan ujian. Seisi kelas memberi janji kelingking pada saya. Kelingking kami saling bertautan. Hati saya pun lega, mereka berjanji untuk jujur.

***

Mengajarkan anak-anak untuk bertindak jujur, tidak takut gagal, dan cinta tanah airnya. Ya, saya yakin dari hal-hal kecil dan kejadian sepele semacam inilah, mereka akan tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang baik. Kelak, Indonesia akan menjadi bangsa yang tumbuh maju dan menjadi lebih baik di tangan mereka.

 

 

Rantau Panjang, Juni 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua