info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Nanta, KPCI, dan Role Modelnya

Trista Yudhitia Bintoro 9 Desember 2013

“Bu, aku bisa lihat Monas dari kamarku”, tambahnya ketika saya menghampiri dia di tengah perjalanan menuju ruang makan.  Sumringah diwajahnya tidak dapat ia sembunyikan ketika saya memberitahukan bahwa kami akan ke Monas seusai perlombaan.  Saya lega melihat dia menikmatinya.

Anak itu bernama Nanta, dan salah satu impiannya adalah pergi ke Jakarta.

Nanta, adalah orang yang eksentrik di sekolah.  Ia selalu saja iseng dan ‘nyeni’ di mataku.  Tertawa bagaikan pandawa di lakon perwayangan di panggungnya sendiri, ia selalu saja tidak berhenti tertawa.  Nanta yang ketika mendongeng, rambutnya ia acak-acak sehingga mirip beruang di cerita tersebut.  Nanta yang harus kami suruh untuk diam karena tidak lelah untuk menjadi ramai.

Namun Nanta yang kulihat di Jakarta adalah Nanta yang low-profile.  Rambutnya klimis dan tersenyum terkulum khasnya.  Berjalan dengan penuh kromo dan sedikit menyendiri.  "Dia rendah hati", puji teman rekan PM-ku.

Ada apa ini? Ini tidak baik, Nanta akan segera mendongeng.  Ia semestinya menjadi dirinya yang nyentrik.

---

Nanta adalah salah satu dari tiga anak murid saya yang berhasil mencicipi Jakarta untuk mengikuti Konferensi Penulis Clik Indonesia oleh penerbit Dar Mizan.  Lomba ini diadakan dalam rangka Apresiasi Sastra Sekolah Dasar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Siswa sekolah dasar dari mana saja di Indonesia dapat ikut serta dalam lomba di kategori mendongeng, membuat cerita pendek, pantun, atau syair.

Suatu hal yang membanggakan bagi saya melihat anak bimbingan saya dapat pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan tingkat nasional dan terlebih-lebih, bebas bayaran.   

Pertemuan dengan informasi KPCI dapat dikatakan sebagai sebuah kebetulan. 

Kebetulan saja saya akhirnya mengecek social media tentang informasi tersebut. 

Kebetulan saja akhirnya saya memutuskan untuk mengikutsertakan mereka, padahal tadinya saya benar-benar memasang bendera putih karena merasa lelah mental dan fisik terkait laporan dan program kerja kabupaten. 

Kebetulan saja masih ada anak-anak yang ingin ikut serta karena sang guru (saya) begitu tegas tidak mau mengarahkan bagaimana gaya dongeng mereka.  

Kebetulan saja, walaupun puisi dan pantun mereka hilang, pengumpulan pemberkasan malah diundur, dan masih banyak kebetulan-kebetulan yang lain.

Pada awalnya, saya yang merasa masih belum menemukan bibit unggul dalam hal sastra, memilih untuk tidak ikut serta.  Proposal kegiatan Roadshow Perguruan Tinggi, bimbingan belajar setiap hari, serta bimbingan ekstrakurikuler membuat saya merasa jenuh lahir dan batin di kala itu.  

Sebentar lagi saya harus berangkat ke ibukota kabupaten untuk mengkoordinasi program kerja kami.  Jadi, saya ingin menghabiskan sisa waktu bersama mereka, bermain tanpa memikirkan hal yang kompleks atau mempersiapkan yang rumit seperti ikut lomba-lomba.   

...Saya memilih untuk melepas kesempatan....

Namun, satu hari sebelum saya berangkat meninggalkan desa, saya membaca kumpulan puisi yang ditulis anak-anak untuk ditempel di Mading Sekolah.  Ada yang mengutip puisi Sapardi Djoko Darmono dan Chairil Anwar.  Saya tertegun.  Buku dari siapa? Bagaimana mereka bisa tahu tokoh-tokoh ini?  Siapa yang mengutip puisi ini?  Siapa yang tulis?

Dan salah satunya ternyata adalah Nanta.

Teguran yang hebat secara psikis, karena mengingatkan saya tentang sebuah komitmen.  Komitmen bahwa setiap anak berbakat, dan saya harus membantu menggali bakat siswa.  Mereka yang mampu, berhak ikut serta dalam segala kesempatan yang dapat mengembangkan mereka.  Sayapun memutuskan untuk mengikutsertakan anak-anak potensial ini dalam KPCI. 

Dongeng ternyata terlalu rumit dikerjakan dalam satu hari, sehingga hanya syair dan pantunlah yang dapat dikerjakan.  Dengan membaca informasi sekenanya, saya memberitahukan mereka tentang tema perlombaan.  Beberapa langsung mengumpulkan kepada saya, namun karena kecerobohan pribadi, saya menghilangkan karya mereka di kota.  Sekali lagi, saya memilih mengibarkan bendera putih.   Menyerah.

Dan saat itu, kawan, dunia berkerjasama untuk menolong mereka.

---

Tepat pada hari deadline, saya mendapat informasi bahwa pengumpulan berkas diundur menjadi 31 Oktober.  Saya waktu itu sedang berada di luar desa untuk koordinasi program dan sudah memutuskan untuk tidak ikut serta.  

Deadline diperpanjang? saya merasa ini adalah kesempatan, walaupun di satu sisi saya juga bingung bagaimana dapat mengejar deadline karena ini artinya saya harus bolak balik kota-desa-kota untuk mengirimkan berkas.  Jarak kantor pos terdekat memakan waktu 4 jam via perjalanan air.

Tak mau ambil pusing berlama-lama, saya pulang.  Ternyata, pengumuman perlombaan disambut dingin oleh anak-anak karena mereka merasa tidak mampu menciptakan syair dan pantun.  Kali ini saya mengharuskan mereka untuk ikut lomba kategori mendongeng.  Bonusnya, boleh memilih mau membuat syair atau pantun.  Terserah mereka.

Dingin adalah kata yang tepat.  Antusiasme mereka tidak sehebat seperti keinginan untuk ikut Olimpiade oleh salah satu institusi swasta.  Hanya ada 7 orang yang ingin ikut serta. 

Ditambah lagi, saya merasa saya adalah orang yang cukup keras dalam berprinsip, sehingga saya hanya akan menfasilitasi mereka yang mau berusaha.    Sedikit demi sedikit, beberapa dari mereka mundur teratur karena merasa tidak mampu untuk menghapalkan dongeng.  Saya pun tak mencegahnya.

Hasilnya? Yang tersisa hanyalah mereka bertiga untuk kategori dongeng.  Empat, tepatnya.  Tetapi satu orang hanya mengikuti lomba membuat syair.  Seharusnya ia ikut serta dalam mendongeng juga, namun ngambek dan memilih pulang tanpa pamit karena saya tidak memberikan pengarahan sama sekali.  

Ya, saya ingin dongeng itu dari mereka sendiri.  Bukan karena bayang-bayang saya, bukan karena hasil pemikiran orang lain.  Dua hari kami habiskan untuk berlatih, dari siang dimana mereka memilih tidak mau pulang (dan jelas-jelas belum makan), sampai maghrib dimana badan kami gatal digigit nyamuk. 

Kerja keras dan kesungguhan mereka dapat terlihat dari kesediaan mereka merelakan waktunya untuk berlatih.  Kerja kelompok membuat peta mereka tinggalkan, kebiasaan tidak boleh pulang maghrib pun diabaikan.

Anak itu adalah Agung, Intan, dan Nanta.  Anak-anak yang sabar menghadapi gurunya yang dengan tegas berkata, “Ibu hanya membantu merekam.  Ibu hanya dapat membantu memberikan masukan tentang apa yang kurang, tetapi tidak untuk mencontohkan cara mendongeng”, kemudian sang guru hanya duduk tenang menjadi ahli rekam.

Guru yang pelit ya, mencontohkan saja tidak mau.  Saya mau yang asli karya anak sendiri, tegas saya dalam hati.

Alhasil mereka berlatih bergiliran.   Suara yang habis. Frustasi tidak hapal-hapal naskah dongeng mereka, kelaparan, kebosanan direkam hal yang sama berkali-kali, adalah hal yang mereka lalui. 

Tiba saat kami harus mengirimkan berkas perlombaan karena harus menyeberang dulu ke kota.  Mengejar waktu dan berdamai dengan pengeluaran yang banyak.  Transportasi air dimana-mana memang selalu lebih mahal.  Selalu saja ada halangan, dari hujan deras, berkas tidak lengkap, dan lain-lain.

Tetapi kami berupaya.

Dan kesungguhan itu ternyata terbayar.  Jakarta.  Tiga-tiganya berangkat ke Jakarta!  Rasanya saya ingin menari-nari mendengar berita itu.

---

Nanta bersama saya ketika kami menerima berita itu.  Ketika saya memberitahukannya bahwa ia lolos ke Jakarta, senyumnya terkulum, menahan diri.  Saya sempat bertanya apakah ia gembira, dan ia hanya membalas dengan anggukan malu-malu.

“Apakah kamu gak mau? Apa kamu gak seneng? Jakarta loh, Jakarta”, aku menanyakan itu berulang kali.  Ia tidak menjawab.  Mukanya senang tetapi ia terlihat menahan sesuatu.  Ada sesuatu pada Nanta.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk melihat keadaan rumahnya.  Nanta sedari dulu sudah menolak saya untuk datang kerumahnya, jadi saya merasa ada hal yang ia sembunyikan.  Benar saja, ia hanya tinggal bersama bude-nya.  Ayahnya berada di Jawa dengan saudara-saudara kandungnya, sedangkan Ibunya tinggal di Palembang.  Setelah bercerita banyak dengan bibinya yang lain, ia memang jarang bertemu dengan orangtuanya.  Ia sudah lama ikut budenya di ranah Sriwijaya ini sedari kecil.

Di rumah, sosok Nanta adalah seorang yang pendiam dan tidak menjawab jika ditanya. Hal itu dipertegas oleh cerita-cerita dari bude dan pakdenya.  Hal yang sangat berbeda jika ia di sekolah dan bersama kami. Itulah pentingnya kunjungan guru, kawan.  Kamu akan menilai seseorang secara lebih objektif.  Suasana keluarga yang kondusif sekalipun dapat meninggalkan kesan kepada seorang anak.

Aku mengenali budenya sebagai orang yang (terlalu) tulus dan baik.  Anaknya adalah anak muridku di kelas 1, ditungguinya dengan sabar setiap hari.  Anak bibinya adalah anak muridku yang sedang duduk di kelas 2, yang kuwanti-wanti agar anak pintar tersebut tidak dibiasakan mengeja dalam membaca.  Keluarga mereka adalah keluarga yang mendukung.  

Namun tetap saja jarak itu ada bagi Nanta.  Nanta yang terus-terusan menolak menelpon rumah ketika kami sudah berada di Jakarta.  Nanta yang setengah mati harus saya paksa untuk memberikan kabar secara langsung dari mulutnya sendiri, yang akhirnya hanya menyahut di telepon, “dalem…” “iya…”.  Obrolan menutup diri.  

Nanta menahan diri, di tubuh anak kelas 5.  Saya pun sebenarnya tahu bahwa ia sering sekali menulis di buku hariannya mengenai keluarganya.

Padahal di sekolah, Nanta yang selalu berusaha menjadi yang teratas, pintar dalam segala hal akademik, belajar tekun, berusaha ikut perlombaan walaupun ia jenuh. “Ibu, kenapa sudah ikut lomba syair, harus dongeng juga?”, protesnya.  Protes yang hanya di permukaan, yang membuatku tersenyum, karena toh iya tetap menjadi salah satu kandidat yang bersedia mengikutiku hingga akhir. 

Nanta, adalah salah satu contoh anak yang berpotensi.  Kamu dapat melihat bahwa bisa saja bias potensi itu mati.  Bukan karena tidak ada yang mendukung, namun karena dirinya sendiri memilih untuk menahan.  Mencoba dewasa.

 

 

---

Di lobby hotel Twin Plaza, kami masih bertukar kata.

“Nanta senang disini? Bersyukur ga’, bisa ke Jakarta ikut lomba? bukannya impianmu mau ke Jakarta?”

“Iya, Bu. Senang.  Dari kamar keliatan Monas.  Dan ketemu guru aneh”, sembari menunjuk juri kategori Pantun yang berambut oranye, berbaju ala tradisional, sedang tertawa-tawa.

"Kamu mau jadi seperti beliau?"

Ia mengangguk cepat.  Antusias.

“Ibu lihat, kamu kayak pak Djoko Lelono.  Guyon ga henti, ketawa ga henti.  Iya ga?

Dan ia membalas dengan senyum, kali ini senyum yang lebar.  “Nian? Benar?”, ekor matanya terus memperhatikan sang bapak nyentrik sampai beliau hilang dari pandangan.

Saya puas.  Nanta sudah menemukan contoh role model yang ia dambakan.  Refleksi cita-citanya di masa depan.  Perjuangan ke Jakarta tidak sia-sia.

---

Terlalu banyak kejadian yang kita anggap adalah kebetulan, namun sebenarnya adalah untaian kesengajaan dari aksi-reaksi yang saling berkesinambungan.  Jika tidak ada perlombaan ini, saya masih akan menaruh daftar nama kunjungan rumah Nanta di nomor akhir karena ia tidak kenapa-kenapa.  Kebetulan saja saya mendengar obrolan teman sewaktu ia menelpon panitia dan diberitahukan bahwa deadline diundur (kalau tidak, saya tidak akan pernah tahu).  Kebetulan yang membawa Nanta bertemu pak Djoko sehingga ia berani untuk mengeluarkan dirinya, emosinya, keanehannya.  Karena ia melihat ada role model yang seperti itu, yang membuat ia berpikir, "oh.. ternyata menjadi aneh seperti itu boleh-boleh saja ya....?

Guru hanya dapat membantu, tetapi keinginan untuk maju datang dari keinginan anak itu sendiri. 

Selamat berjuang menggali potensimu, nak.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua