ADE SUBEKTI, SI ANAK PHOBIA SEKOLAH (Part 2)

Tri Hartati 9 Desember 2013

Pagi itu begitu bersinar cerah, sorotan cahaya matahari menerusup memasuki ruang-ruang kelas disisih timur ruangan.

“good morning my students?” ku sapa dengan sapaan khas ku setiap memasuki kelas, bahasa inggris dengan logat jawa yang begitu kental.

Hari itu jumat pagi, jam bahasa inggris di kelas satu. Seperti biasa raut luguh malaikat-malaikat jail dikelas satu sungguh membuatku menarik nafas yang cukup panjang. Kurang lebih sudah tiga bulan aku berada ditengah-tengah mereka dan mereka masih saja suka naik meja dan berlarian antar kursi, yah namanya juga anak-anak ya (gumamku sambil tersenyum).

Setelah ku panggil satu-satu nama tiap murid ku untuk memastikan kehadiran mereka, ada satu anak yang menyahut dan mengatakan bahwa ada 2 anak yang namanya belum ku panggil. Oh yaa, aku mengecek kembali daftar nama anak-anak ku untuk memastikan apakah ada yang terlewat. Belum selesai aku mengecek, anak tersebut mengatakan bahwa ada 2 murid baru duduk dipojok ruangan. Tentu saja aku langsung bergegas memastikan tambahan malaikat didalam kelas ku dengan penuh antusias.

Andre, nama salah seorang siswa baru dikelas satu. Anak pindahan dari kabupaten tetangga yang jaraknya hanya 30 menit dari desaku. Anak yang sangat pemberani dengan kepercayaan diri yang sudah dicas full. Ia begitu lincah dan cerdas, senyumnya sangat genit saat menyapaku, ia sangat pandai merayu.

Sedangkan satu anak menerungkupkan kepalanya diatas  meja, tangannya menutup wajahnya yang sengaja disembunyikan dari teman-temannya. Badannya bisa dibilang terlalu besar untuk ukuran anak kelas satu.  Aku menyapa dengan pelan sambil mengusap kepalanya, berusaha membujuk agar ia mau membuka tangannya. Saat itu hati ku begitu berdebar, masih berharap bahwa anak yang menutup wajahnya adalah Ade Subekti, anak yang selama ini aku tunggu-tunggu.

Ku tanyakan siapa namanya, setelah beberapa kali aku bertanya dengan pertanyaan yang sama, dengan berbisik ia menjawab tanpa mengangkat wajah “Ade Subekti”. Ah apa benar yang ku dengar itu? Namanya Ade Subekti, yah ia Ade Subekti. Dengan tersenyum ku bisikan sebuah kata kepadanya “Ade hebat” dan ku tinggalkan ia tetap pada posisi  nyamannya.

Aku melanjutkan pelajaran hari itu. Untuk kelas satu pelajaran bahasa inggris memang belum bisa terlalu efektif diterapkan. Anak-anak selalu ingin menggambar, dan hari itu ku kabulkan permintaan mereka, ku ijinkan menggambar tapi hanya dengan warna-warna yang ku sebutkan dalam bahasa inggris dan mereka menyetujuinya.

Jam bahasa inggris hampir usai, selama mengajar mataku tak lepas dari arah pojok kelas. Ade ikut menggambar bersama dengan teman-temannya meski dalam diam dan masih kaku jika diajak berinteraksi dengan teman-temannya. Aku biarkan Ade berusaha mendapatkan rasa nyamannya dengan tidak ku perlihatkan perlakuan istimewa ku kepadanya. Ia harus berusaha mengatasi rasa takutnya sendiri dan berusaha berinteraksi sendiri, tujuannya satu yaitu agar ia tidak selalu bergantung pada orang lain.

Saatnya penilaian, semua anak berbaris sesuai peraturan yaitu putra disebelah kanan dan perempuan disebelah kiri. Semua mengantri dan ku lihat Ade tak sedikitpun beranjak dari tempatnya.

Jam bahasa inggris sudah selesai, ku akhiri pelajaran dengan sedikit permainan tepuk tangan untuk merefresh otak mereka. Tapi Ade tetap tak merespon, ia hanya melihat tajam ke arah ku, seperti banyak sekali yang ingin ia katakan tapi tertahan. Akhirnya sebelum keluar kelas ku hampiri menjanya, aku ingin melihat gambarnya dan ku nilai. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menahan rasa haru dihati ini, ia menggunakan buku gambar yang kuberikan padanya saat bimbingan belajar dirumahnya. Buku gambar yang ku tuliskan “Ade hebat” disampulnya. Ia tersenyum seolah berkata “bu, aku sudah tidak takut sekolah .....”.

Ade hebat, ibu guru bangga pada mu, sang calon pemimpin masa depan negeri, akhirnya kembali dari keterpurukan panjangnya. Selamat datang disekolah anak hebat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua