Jawa Coret

Tri Hartati 28 Agustus 2013
“Ibu tatik asalnya dari palembang ya?” Salah satu ibu-ibu yang ku sapa di dekat rumah bertanya asal ku, ku jawab bahwa aku bukanlah orang palembang, aku adalah orang jawa sama seperti mereka. “nian bu?? Lha kok ora koyo wong jowo”. Untuk sebagian orang pertanyaan itu mungkin biasa saja, tapi bagiku ini mengingatkan ku pada kejadian kurang lebih 2 tahun silam saat berada di basecamp sebuah organisasi di kampusku. Salah seorang adik angkat ku membantah tidak percaya bahwa aku berasal dari kebumen, ya kebumen adalah tanah kelahiran ku dan aku tumbuh besar disana. “ah masa mbak tatik orang kebumen? Lha kok tidak seperti orang kebuman? mas banu orang kebumen bahasanya ngapak?” awalnya aku berpikir sepertinya ada yang salah dengan cara aku bicara, sehingga tidak mencerminkan dari mana aku tinggal. Hari berlalu dan aku belajar bahasa ngapak. Aku cukup percaya diri ngobrol dengan teman-teman ku menggunakan bahasa ngapak waktu itu. “hahahaaa mbak tatik ngomong apa sih? mbak tatik lucu kalo ngomong ngapak gitu, ndak pantes”. Eng ing eng speackless, dalam hati aku mulai menggerutu keplin planan mereka. Lha ini ketika aku menggunakan bahasa yang dikenal orang sebagai bahasa daerah ku kok malah ditertawakan. Tapi lama-lama pikiran jengkel itu luntur tanpa sebab saat muncul pertanyaan baru di otakku, kenapa mereka tidak percaya kalau aku orang kebumen? Padahal sudah ku usahakan menggunakan bahasa ngapak yang orang inginkan sebagai tanda bahwa aku asli darah kelahiran kebumen. Belum ku temukan jawaban dari pertanyaan itu 2 tahun silam, ternyata disini, ditanah yang jauh dari tanah kelahiran ku, aku pun tidak diakui sebagai orang dari suku jawa. Why??? Pertanyaan itu malah diberi tanda tanya semakin besar terbang berputar-putar diotak ku. Adakah yang salah dariku? Bahasaku? Wajahku? Kelakuanku? Cara bicaraku? Atau bahasa tubuhku? Entahlah, sedikit berharap bahwa aku akan mendapatkan jawaban sesegera mungkin ditempat ini. Ironisnya sebagian besar warga disini mengira bahwa aku bukanlah orang jawa. Banyak sekali yang terang-terangan bertanya kepadaku hanya untuk memastikan bahwa aku memang benar-benar orang jawa tulen. Mulai dari tanya apakah aku doyan tempe, doyan ini doyan itu pokoknya semua makanan asli jawa, sampai bertanya pertanyaan yang paling konyol, apakah aku pernah tinggal di jawa. Fyuuuuh . . aku hanya bisa menarik nafas panjang dan tersenyum menahan tawaku tidak meledak. Bagi ku pertanyaan-pertanyaan itu sangat lucu ditujukan pada ku yang notabennya adalah orang jawa tulen. Disini untuk berkomunikasi memang aku lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Alasannya simple, karena aku orang jawa jadi aku menganggap berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa jawa halus dan kalau tidak bisa maka gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi mungkin gara-gara prinsip itu aku jadi sering dianggap bukan orang jawa. Sampai suatu sore, dimana aku dan bapak (housefam) ku ngobrol bersama. Berawal dari pertanyaan apakah aku suka wayang? aku jawab tidak terlalu suka karena aku kurang bisa memahami bahasanya. Nah dari jawaban ku itu bapak spontang mengatakan “wah sayang sekali ya mbak, belajarlah bahasa jawa mbak, mbak tatik kan orang jawa, sayang kalau sampai hilang ke-jawa-an nya”. Deg deg deg, aku bahkan merasa sangat malu menatap bapak yang mengajak ku ngobrol. Obrolan dilanjutkan tema lain sampai maghrib tiba, dan akhirnya selesai saat adzan maghrib berkumandang. Malam setelah obrolan itu aku mulai mencerna ulang wejangan singkat yang bapak berikan. Kembali ku ingat kejadian kurang lebih setahun yang lalu, saat DET kampus dan diadakan pagelaran wayang kulit di pelataran auditorium kampus. Malam itu, aku yang mengaku orang jawa tulen, nonton wayang pun harus ditranslate oleh teman ku. Bahkan sekarang, disini saat aku merantau aku terlaku menjunjung nasionalisme dengan terus menggunakan bahasa indonesia. Padahal ditanah transmigran ini, banyak yang mengaku keturunan jawa yang bahkan belum pernah mengintip jawa, dan mereka dengan bangga menggunakan bahasa jawa untuk berkomunikasi. Bagi mereka, nenek moyang mereka adalah suku jawa, jadi dimanapun mereka berpijak selama masih ada orang jawa, mereka akan menggunakan bahasa itu tanpa harus kehilangan nasionalisme sebagai orang Indonesia. Itulah bukti cinta mereka kepada indonesia, dengan menjunjung kebudayaan asli mereka. Malu, aku malu sekali rasanya ketika mereka bertanya bagaimana tanah jawa itu. Bahkan aku yang selama ini tinggal dijawa susah menjelaskan bagaimana tanah jawa dan berbagai macam keunikan budayanya. Aku terlalu sibuk mengurus tentang nasionalisme, dan tanpa ku sadari aku malah melupakan budaya daerah ku sendiri. Sekarang harus mulai ku benahi, aku harus menyelaraskan keduanya, aku harus benar-benar memahami esensi sebagai orang “jawa”. Jangan sampai ketika aku menggembar-gemborkan tentang nasionalisme, aku malah menghianati asas kedaerahan ku sendiri. Sekarang aku belajar, belajar dengan keras berusaha menyelaraskan diri dengan lingkungan dan tidak meninggalkan jati diri sebagai orang daerah. Harapannya, nanti dimanapun aku akan berpijak, tidak ada lagi yang menduga-duga tentang diriku. Disini aku berkaca pada diriku sendiri, who i’am? Ku pertegas bahwa aku adalah tatik berasal dari kebumen jawa tengah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua