ADE SUBEKTI, SI ANAK POBHIA SEKOLAH (part 1)

Tri Hartati 1 September 2013
Ade Subekti, usianya menginjak 8 tahun pada tahun ini. Ia adalah anak yang tidak melanjutkan sekolah setelah 2 tahun yang lalu sempat duduk berjajar di kelas mengenakan seragam merah putih kebanggannya. Jika ia tidak berhenti, seharusnya tahun ini adalah tahun ketiganya berada disekolah. Sosok anak cerdas dan periang ini tiba-tiba takut datang kesekolah tanpa alasan yang jelas. Menurut ibunya, terakhir ia sudah siap berangkat kesekolah pagi itu, tapi entah mengapa ia hanya berdiri terdiam dipintu depan rumah sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk kembali kekamarnya. Seminggu berselang, ia tetap tidak mau berangkat sekolah. Ibunya bahkan membujuknya dengan memberikan apapun yang ia minta asal ia mau kesekolah, tetapi ade hanya diam dan tidak meminta apapun. Tidak ada alasan yang terlontar dari mulut mungilnya yang biasanya penuh dengan senyum manis. Dimarahi bahkan dipukul dengan sandal oleh ayahnya seribu kalipun ia tetap hanya diam, menangispun tidak. Setahun berlalu, ibunya menyaksikan teman-teman ade berbahagia karena naik kelas. Cerita bahagia dari para tetangga yang membanggakan anak-anak mereka atas prestasi anaknya disekolah, hanya mampu didengarkan dan dibalas senyum tanggung oleh wanita paruhbaya itu. Menyesakkan sekali katanya. Terakhir minggu lalu aku berkunjung kerumah Ade, seperti biasa ia tersenyum ramah dan menyuruhku masuk. Tidak ada yang janggal dari perilaku ade, ia anak yang rajin dan tidak pernah mengeluh. Ia tidak pernah meminta apapun dari orang tuanya sejak 2 tahun lalu, bahkan minta dibelikan baju lebaranpun tidak. Ade sama dengan anak seusianya yang suka bermain layangan dan melakukan hal-hal kecil untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap sesuatu. Yang berbeda adalah ia tidak mempunyai keinginan bersekolah seperti teman-teman seusianya. Tidak bersekolah bukan berarti ade tidak mau belajar. Ayahnya bercerita bahwa ade sudah pandai menulis dan mengeja. Hampir setiap malam ia minta diajari ayanhnya belajar. Dan kenyataannya memang begitu, saat aku berkunjung untuk memberikan les privat kerumahnya, ia selalu menyambutku dengan penuh antusias. Sungguh ironi, anak pandai yang seharusnya menjadi calon pemimpin masa depan ini terancam prestasinya karena tidak menempuh pembelajaran akademik secara formal. Ia terancam tidak mendapatkan ijazah karena ketakutannya terhadap sekolah. Andaikan keluarganya adalah orang yang mampu, tentu ade sudah melakukan home schooling. Sayang sekali, disini adalah daerah penuh dengan keterbatasan, dengan keadaan finansial kelurganya yang terbatas pula. Kasus ade subekti adalah PR ku disini, PR pertama yang belum juga selesai aku kerjakan. Suatu hari nanti aku ingin sekali melihat ade datang ke sekolah. Kembali barjajar di dalam kelas mengenakan seragam merah putih kebanggaannya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua