Camat Baru Mulai 'Berburu'

Marthella Rivera Roidatua 24 Agustus 2013

          “Siapa nama Camat Molu Maru yang sekarang?”, tanyaku pada tim yang kuikutsertakan dalam lomba Cerdas Cermat ‘Mengenal Indonesiaku’ pada 17 Agustus-an kemarin. “Marthen R. Bebena!”, kata Sin Ratissa, siswa kelas VI dengan cepatnya. Teman di sampingnya yakni Yunus Rahanwatty dan Naomi Wuarlela langsung menimpali, “Hoi, oz salah la. Itu bapa mantan camat, bukang yang sekarang lai!”. Entah itu harus kumaknai sebagai kepolosan anak-anak atau sebegitu melekatnya kesan sang bapa camat di hati masyarakat Adodo Molu. Bahkan tidak jarang baik dari Pengajar Muda sebelumku, keluarga piaraku, guru-guru, bahkan staf kecamatan sendiri sering membanding-bandingkan camat yang dulu dan sekarang. Meskipun tak dapat dipungkiri kalau camat yang dulu lebih sering bergerak dan terlihat dibanding yang sekarang, tapi menurutku wajar tiap-tiap pemimpin punya gaya sendiri. Tak adil rasanya kalau kita tidak puas denagn camat yang baru hanya karena beliau tidak sama dengan camat yang dulu. Yang terpenting bagiku adalah menunggu kapan camat ini menunjukkan ‘taringnya’ dan membuat sebuah perubahan.

          Tepat sehari sebelum HUT RI, Camat Molu Maru, Bapa Ampy F. Melatawun, mengundang seluruh pegawai baik PNS, honor, dan Indonesia Mengajar untuk rapat bersama di gedung SMPN 1 Molu Maru. Ini adalah pertemuan perdana sang camat baru dengan seluruh pegawai, meskipun nyatanya tidak semua hadir. Selama tiga bulan bertugas, beliau melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang ada di Kecamatan Molu Maru. Kecamatan tempatku bertugas ini baru dimekarkan kurang lebih tiga tahun dan dahulu katanya jadi tempat buangan bagi pegawai-pegawai yang nakal. Alhasil, tidak jarang ketika tim-ku berkumpul di Ibukota Kabupaten, saat ditanya oleh orang-orang dimana bertugas, mungkin teman-teman lain mendapat komentar yang lebih positif dariku. Giliran aku menjawab ‘Adodo Molu’ dan Eko menjawab ‘Wadankou’, pasti komentar yang muncul, “Doh, mau-maunya paling jau lai, berarti berdua ini ‘di-Momar-kan’ e”. Dan jujur, sudah bosan rasanya aku meresponi dengan sabar, malah ada orang yang langsung kutantang untuk berkunjung ke Molu Maru saat Pesparawi bulan November nanti. Bayangkan, sudah pun tempat ini dijadikan sebagai tuan rumah event terbesar se-Kabupaten, stigma ‘di-Momar-kan’ masih betah bertengger. Ini masalah!

          Persoalan pegawai adalah topik utama dalam rapat kemarin, terutama soal disiplin pegawai. Ketika jam mengajar malah pergi mengail ikan, mementingkan hal pribadi dibanding tugas kecamatan, izin ke luar daerah yang seharusnya disampaikan ke atasan instansi sering diabaikan, kredit di bank yang melampaui gaji bulanan sehingga harus mencari pekerjaan tambahan dan akhirnya melalaikan tugas pokok, hingga lupanya meminta rekomendasi dari Camat untuk melanjutkan jenjang studi yang ujung-ujungnya mempersulit ketika perubahan status menjadi PNS. Masalah yang tak akalah pentingnya terkait pendidikan. Jam masuk dan pulang sekolah yang tidak jelas, banyak kelas yang kosong meskipun guru ada, anak-anak banyak yang berkeliaran di pantai atau numpang nonton TV daripada belajar malam, dan parahnya buku panduan guru yang tidak diperbaharui sesuai kurikulum yang berlaku sekarang. Menyambung masalah pendidikan tadi, pastinya tidak lepas dari anak-anak, yang dianggap oleh bapa camat juga bermasalah. Saat keluar main, biasanya anak-anak izin untuk pulang ke rumah minum teh dan makan kue, tapi justru banyak anak-anak yang tidak kembali lagi ke sekolah, lalu beberapa amsih datang ke sekolah tidak mandi, enggan mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang tua di jalan, hingga anak-anak yang sering bikin ulah dan guru diberikan hak untuk memukul. “Ibu Thella, kalau anak-anak nakal, pukul saja biar dong jera. Disini memang harus keras, Ibu seng bisa pake cara lembut macam di Jawa sana.” Aku hanya membalasnya dengan muka datar. Lanjut ke masalah ketiga yakni kesehatan, dimana fasilitas yang terbatas dan akses menjangkau desa yang terpisah oleh laut disiasati dengan cara tenaga medis yang ronda desa secara berkala.

          Nah, bisa lihat kan paragraf untuk membeberkan masalah di Kecamatan Molu Maru ini jadi yang paling panjang. Begitulah gambaran seorang camat disini yang harus punya akal jauh lebih panjang. Saat beliau mulai menjelaskan tentang strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah di Molu Maru, sambil pula aku putar otak untuk mencerna sekaligus memikirkan masukan apa yang akan kuberikan. Mengatasi masalah disiplin pegawai, beliau mengharuskan pegawai yang ingin izin ke luar daerah untuk memberikan permohonan tertulis dengan keperluan yang jelas. Beliau juga mengingatkan pegawai untuk melayani masyarakat dengan hati dan harus bisa kreatif dalam menyiasati persoalan, bukan dengan membawa keluar masalah yang ada di instansi a.k.a gosip. Terkait masalah pendidikan, beliau mewajibkan setiap pegawai yang lulus pendidikan agama untuk menjadi pengasuh Sekolah Minggu atau Ibadah Tunas dan akan berkoordinasi dengan pendeta dan Kades untuk mengawasinya. Selain itu, beliau juga mewajibkan setiap sekolah membuat diktat untuk siswa sehingga kalau ada guru yang meninggalkan kelas, anak-anak bisa tetap belajar dari soal-soal yang ada. Lalu akan segera diberlakukan inspeksi pagi, dimana staf kecamatan akan datang ke sekolah-sekolah setiap pukul 7 pagi untuk melihat apakah guru sudah hadir dan mengawasi pengisian laporan absensi. Kuamati muka-muka hadirin yang kelihatannya kaget dan tertekan, tapi hatiku cukup puas mendengar strategi yang akan diterapkan sang camat baru ini.

          Tak lama aku pun angkat tangan untuk memberikan pendapat dan saran. Menurutku, ada yang sedikit terlewatkan oleh sang camat yakni soal kedisiplinan pemimpin itu sendiri. Bagaimana bisa mendisiplinkan guru kalau kepala sekolahnya saja jarang ada di sekolah? Pas saja ketika kebijakan permohonan tertulis bagi guru yang ingin izin lalu diabaikan, lah pimpinannya saja tidak ada di tempat – mau izin sama siapa? Itu makanya perlu ketegasan lebih terkait izin yang diajukan, kalau perlu harus menyertakan surat resmi jadi urgensi untuk meninggalkan tugas di sekolah jelas. Lalu harus ada batasan waktu maksimal – ‘sampai urusan su habis baru balek’ jelas tidak bisa dijadikan pegangan. Untuk wali kelas yang ingin pergi, harus menyiapkan materi ajar selama anak-anak ditinggal, serta harus berkoordinasi dengan guru yang akan menggantikan. Selain itu, aku juga mengusulkan agar guru-guru mau berkorban sedikit demi anak-anak untuk memberikan les sore. Sejam atau dua jam tentu tidak akan mengganggu pekerjaan di rumah, terlebih kalau anak-anak lebih menangkap materi toh guru juga yang puas. Puji Tuhan ketiga usulanku ini rupanya dapat diterima oleh Bapa Camat. Tinggal eksekusinya saja!

          Empat hari setelah rapat, tepatnya di Senin pagi, Bapa Camat dan Ibu sudah berada di sekolahku. Saat itu guru yang baru datang hanya aku disusul Ibu Batmomolin. Ternyata apa yang disampaikan Bapa Camat bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan beliau yang turun sendiri menginspeksi sekolah-sekolah dan Ibu Camat yang turun memeriksa kebersihan kuku dan gigi anak-anak. Guru yang terlambat datang – meskipun memberi salam, mendapat sindiran dari Bapa Camat dan beliau sekaligus mengingatkan untuk dilaksanakannya upacara bendera mulai Senin depan. Keeseokan harinya, sekitar jam 7 pagi sudah ada staf kecamatan yang datang di sekolah dan memberikan daftar absensi guru. Yang terlambat masuk diberikan tanda alpha. Staf kecamatan kembali lagi jam 12 siang untuk mengecek siapa guru yang pulang sebelum jam mengajarnya berakhir. Dengan demikian, seng ada lai yang parlente isi absen, seng bisa lai tipu-tipu jumlah jam mengajar di laporan bulanan. Kurang lebih empat hari strategi ini diterapkan, guru-guru mulai masuk dan pulang sekolah tepat waktu. Aku berniat untuk memberikan format laporan les agar pihak kecamatan memperbanyaknya untuk guru-guru sehingga semua punya tanggung jawab terhadap anak didiknya. Ibaratnya, kalau tidak mempan ‘disentil’ dengan sindiran, mungkin memang ini saatnya masyarakat Molu Maru ini ‘dicubit’ dengan aksi langsung. Semoga hal baik ini bisa berjalan konstan dan merata di semua desa, sehingga setahun ini aku bisa melihat perubahan kecil namun bermakna terjadi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua