info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Aroma Sepatu Baru, Aroma Kehilangan ?

Ineke Amandha Sari 25 Agustus 2013

Tahun ajaran baru dimulai dan merupakan tahun ajaran baru juga bagi kehidupan yang aku jalani.  Kenapa? Akhirnya saya akan dipanggil dengan “ Bu Guru”, suatu panggilan terhormat bagi orang-orang yang berjuang di jalan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Lalu apakah aku sudah pantas disebut “ Bu Guru” ? saya jawab dengan jelas, saya belum pantas sama sekali disebut  “Bu Guru”.  Saya masih belajar bagaimana menjalankan peran guru itu sebagaimana mestinya.  Kata orang jawa, guru berarti digugu lan ditiru (dipatuhi dan dijadikan contoh).  Lalu apa yang bisa ditiru siswa-siswa dari saya? Ya, inilah amanah yang harus saya jalankan dengan optimal agar peran guru tersebut benar-benar mampu saya lakukan.

Saya ingat betul hari itu tanggal 15 Juli 2015 yang merupakan hari pertama saya mengajar secara resmi di sekolah.  Perjalanan saya ke sekolah kira-kira membutuhkan waktu 10 menit dari rumah ke sekolah.  Ketika melangkahkan kaki ke luar rumah, pemandangan merah putih bertebaran dimana-mana.  Pemandangan anak-anak yang berangkat sekolah.  Pemandangan yang lebih menarik perhatian saya adalah siswa-siswa kelas satu atau siswa baru.  Seragam mereka masih baru, aroma toko.  Masih berwarna merah cerah dan putih bersih (maklum yang bukan anak-anak baru seragam putih pasti sudah menjadi warna putih kecoklatan, karena mayoritas mencuci di sungai yang airnya tidak jernih).  Sesampai di sekolah, pemandangan itu semakin menarik.  Anak kelas satu yang masih digandeng oleh ayah atau ibunya, yang memakai seragam baru dan kebanyakan kebesaran, memakai tas yang ukurannya hampir menyamai tubuhnya, dan aroma sepatu baru.   Saya suka melihat anak kelas satu, masih berbadan imut-imut lengkap dengan baju kebesarannya (yang beberapa hari belakangan baru aku tahu kenapa kebanyakan seragam mereka kebesaran, karena rumus membeli seragam baru ukurannya dua kali lebih besar ukuran sebenarnya, agar tetap bisa dipakai minimal sampai kelas tiga).

Hari pertama masuk sekolah ini agendanya adalah pembagian kelas.  Pembagian pertama untuk siswa-siswi kelas satu.  Kebetulan untuk ajaran baru ini sekolah kami menerima murid kurang lebih 120 siswa.  Sementara jika dikalkulasi, jumlah seluruh siswa kurang lebih 450 siswa dengan 18 rombongan belajar.  Banyak bukan? Jadi bayangkan bagaimana padatnya sekolah kami pada saat itu.  Ditambah 120 siswa baru ini datang bersama orang tuanya, lengkap sudah.  Saat pembagian kelas siswa kelas satu, orang tua juga ikut aktif mengikuti anaknya, bahkan ikut menjadi guru dadakan yang ikut mengatur anaknya di dalam kelas.  Jadi setelah siswa kelas satu dipanggil satu persatu dan masuk kelas, maka orang tuanya pun ikut masuk.  Terlihat orang tua yang sibuk mencarikan bangku depan untuk duduk, orang tua yang sibuk membawakan tas anaknya, orang tua yang sibuk mengusap air mata anaknya yang panik menghadapi suasana baru, dan beberapa orang tua yang sibuk menata baju atau rambut anaknya. Semua rasa dan pemandangan bercampur menjadi satu.

“Aroma sepatu baru” benar-benar “aroma kehilangan”.  Saat anak-anak mulai memasuki tahap sekolah, maka secara otomatis otoritas orang tua atas kepemilikan dan kebersamaan anak akan berkurang.  Kebersamaan anak dan orang tua akan sedikit berkurang, karena anak-anak akan masuk dunia sekolah, dunia teman sebaya, dan dunia yang akan mengembangkan kognitifnya.  Mungkin saat belum sekolah, anak-anak ini akan sepenuhnya menjadi anak imut yang setiap saat orang tua bisa melihatnya.  Namun ketika sudah mulai masuk sekolah dan mengenal apa itu namanya teman-teman, maka dia juga akan mulai mengembangkan kemampuan psikososialnya.  Akan sering terdengar kata-kata:

“ Ibu, aku main dulu”

“Ayah, aku mau ke rumah teman dulu”

“ Ibu, aku nggak perlu diantar lagi, aku sama teman”

“ Ibu, ngapain sih masih cium-cium aku, aku udah gede tau, maluuuu !!”

“ Ayah, benerin sepedaku dong, aku mau main sepeda sama teman-teman !! ”

Hai para orang tua, jadilah orang tua hebat yang mengenal anak-anak kalian.  Jadilah orang tua keren yang mendampingi  anak-anak itu tumbuh dan berkembang.  Fase itu hanya satu kali, sungguh membahagiakan jika kalian mampu mengusap air matanya saat nilai ulangannya belum sempurna, mampu menguatkan hatinya yang rapuh saat ragu meraih citanya, dan mampu menghargai usahanya untuk menjalani proses belajarnya.  Belajar, belajar akademik dan juga belajar memahami lingkungannya. Jadi, sambutlah aroma kehilangan itu dengan bangga, karena kupu-kupu kecil kalian sedang bersiap terbang untuk mengejar cita-citanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua