info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kelas “Ajaib”

Tika Listriani 1 Februari 2011
Perkenalkan, ini tentang sebuah kelas yang luar biasa. Yang selama hampir tiga bulan mengisi hari-hari saya di sini, mengambil sebagian fokus hati. Kelas IV, saya mengajar matematika di kelas ini. Termasuk luas untuk ukuran kelas di sekolah kami, menampung 35 siswa dengan dua papan tulis besar, dan satu almari yang menjelang rusak karena sering dijadikan tempat pesembunyian oleh siswa kelas luar biasa ini. Mereka luar biasa dengan kinestetik siswa laki-lakinya, dengan komposisinya, dengan keragaman suku dan agamanya, dengan segala keunikan sikap setiap anak dalam belajar, mereka adalah penduduk kelas ‘ajaib’. Dari 35 siswa ini, 8 diantaranya siswi dan sisanya murid laki-laki. Diantara 8 siswi itu ada satu anak yang seharusnya sudah di bangku SMP, berdasarkan cerita bapak/ibu guru anak ini mengalami keterlambatan, mungkinkah mental retarded? Dia belum dapat menulis dengan baik, ketika ada tugas atau ujian, dia sering menuliskan beberapa huruf yang sama dan berulang.. seingat saya, dia sangat menyukai huruf g, m, n, k dan l. Huruf-huruf ini yang sering ia tuliskan di setiap baris yang perlu diisi, termasuk dalam baris yang perlu diisi dengan nama siswa. Hitungan sederhana belum dapat ia pahami, ketika saya mengajukan pertanyaan, ia membalas dengan senyuman, malu tetapi sangat ingin menjawab, walau sangat sulit. Kemudian ia mengedarkan pandangan kepada teman-teman putri di sekitarnya, meminta dukungan seakan bertanya “apa jawaban dari pertanyaan bu guru?” dan tetap tersenyum. Ah, saya memang belum dapat menjangkaunya lebih banyak, apalagi berbuat banyak..belum. Tujuh  siswi yang lain sering datang ke rumah saat jadwal les, les kelas IV hari senin dan rabu sore untuk mendalami matematika yang sudah disampaikan di kelas. Mereka sering datang meski jarang lengkap bertujuh, namun satu anak tadi sekalipun belum pernah hadir mengikuti tambahan di sore hari. Hmm.. semoga ada saat untuk menjangkaunya lebih banyak.. Dua puluh tujuh yang lain adalah siswa laki-laki, sebagian besar memiliki motorik kasar yang baik, bahkan berlebih, menendang, memukul, berkelahi dengan berbagai gaya, mengangkat-angkat meja, bermain-main di dalam almari (satu anak dimasukkan almari, dua atau tiga anak yang lain berjuang memasukkannya, kemudian dikunci dari luar, dikunci? Tepatnya antara dua gagang pintu itu diberikan penghalang berupa buku yang berasal dari dalam almari itu), lari kesana-kemari adalah aktivitas yang sering mereka lakukan di dalam kelas saat pelajaran, jadi jangan tanyakan bagaimana betapa bahagianya mereka saat diberikan bola dan media lapangan olah raga, meski hanya untuk sekedar bermain kejar-kejaran sampai benar-benar mandi keringat, saat istirahat. Diantara murid laki-laki ini ada juga yang tinggal kelas, beberapa di antaranya juga mengikuti tambahan belajar bersama murid-murid putri.. Di kelas “ajaib”, ada bintang yang berbeda, Safari namanya. Ia anak yang cerdas, memiliki keingintahuan yang besar. Pengetahuan, daya tangkap dan fasilitas yang dimilikinya cukup jauh melampaui anak-anak yang lain.  Safari hampir selalu dapat menjawab pertanyaan atau soal-soal latihan yang saya berikan. Selalu berteriak senang setelah mengetahui jawabannya benar, selalu bahagia setelah ia memahami hal yang baru, sementara anak-anak yang lain yang memang merasa jauh tertinggal dari Safari semakin sibuk dengan aktivitas motorik dan perbincangan dengan teman di dekatnya. Baik perbincangan tentang permainan, maupun perbincangan yang saling menghina dan berujung pada adu fisik. Maka ketidakseimbangan pemahaman, saya sadari sering terjadi di kelas ini, apalagi Safari selalu bersemangat menjawab dan merespon tawaran saya, anak-anak laki-laki yang lain cenderung menjawab seperti apa jawaban Safari (jika dinyatakan secara lisan), sedangkan anak perempuan yang hanya berdelapan tampak tenang menonton kejadian yang sering terlihat ini atau juga memiliki perbincangan dengan teman yang lain.. Saat pelajaran, jika tidak dikondisikan mencatat, maka siswa kelas ini dapat dipastikan tidak berada di kursinya, entah bermain dengan yang lain, bergurau, atau bahkan saling mengejek dan memukul. Berkelahi adalah hal yang sering saya lihat saat mengajar, apa lagi bukan semata-mata memberikan catatan satu papan tulis penuh, metode yang saya gunakan. Di awal kedatangan dulu, saya mengobservasi pembelajaran Bahasa Inggris, saat dua anak bergantian diminta untuk mengeja dan melafalkan mangkuk, cangkir, sendok dan garpu, maka siswa-siswa yang lain sangat aktif ke sana kemari. Tidak banyak yang dapat saya lakukan waktu itu, guru juga tetap melanjutkan membimbing dua anak yang maju ke depan secara bergantian itu. Waktu itu, bulan November 2010, saya baru terpikir apa saja yang kira-kira dapat dilakukan untuk mengondisikan kelas ini agar efektif dalam belajar. Seiring waktu saya merasa “lelah” mengajar kelas “ajaib” ini, 6 jam dalam satu minggu bertemu dengan mereka, mengajarkan matematika di kelas yang tidak kooperatif. Lelah fisik, banyak kalimat yang saya sampaikan hilang di tengah-tengah suara mereka sebelum mereka jelas menangkap apa maksud saya, lelah hati..lelah dengan kekhawatiran, jika begini terus bagaimana mereka akan paham dengan pelajaran yang disampaikan, bagaimana mereka dapat membuka pintu ilmu pengetahuan. Sikap belajar yang baik, rasa memiliki masa depan, rasa membutuhkan ilmu..belum sepenuhnya ada dalam setiap diri anak kelas “ajaib” ini.. lelah dengan sebuah ketakutan, hilangnya harapan dan mimpi mereka...yang mungkin kini mereka belum tahu, apakah harapan dan mimpinya.. apa sisi penting keduanya.. lelah, namun tetap harus melangkah.. Maka Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun kadang berbeda saat pelaksanaan di kelas, ceramah dan latihan soal menjadi metode yang sering saya lakukan. Metode diskusi sulit diterapkan di kelas ini. Anak tetap aktif, banyak anak bertanya dengan pertanyaan yang sama “bu, halaman berapa?” tanya salah satu anak. Setelah dijawab ada anak yang bertanya dengan pertanyaan yang sama. Seringkali pelajaran usai dengan kenaikan kepahaman yang tidak signifikan, dan saya semakin “lelah”..namun harus tetap mengikuti irama anak, sejauh apakah mereka mau diajak melompat, secepat apakah mereka mau di ajak berlari.. Hingga suatu hari, saya bertekad untuk mencoba mengikuti irama mereka, saya memberikan setiap anak kartu (sama seperti apa yang tertulis dalam RPP, yang disusun untuk hari itu), mereka harus memegang kartu yang dibuat dari kertas lipat dibagi empat. Masing-masing mereka mendapatkan angka.. pada hari tersebut jadwal mereka belajar tentang penjumlahan bilangan negatif. Lalu saya tunjuk dua anak, kartu yang mereka pegang menjadi soal yang akan ditebak jawabannya oleh anak-anak yang lain.. sejak saat itu saya menyadari, metode semacam ini dapat sedikit meredam aktivitas fisik dan membuat mereka sedikit fokus pada pembelajaran, karena setiap mereka selalu menunggu kapankah nama mereka saya sebut dan angka di kartu mereka menjadi soal.. maka signal-signal yang saya berikan di hari itu dapat berefek lama dalam mengambil fokus/perhatian siswa. Kelas berjalan lebih baik hari itu, partisipasi anak pun semakin meningkat dan semoga perlahan pemahaman mereka juga meningkat...di hari itu juga, kelas tetap ramai, tapi tidak oleh aktivitas ribut mereka, melainkan dengan penjumlahan bilangan negatif... Dan di hari itu pula, bapak guru yang sedang mengajar kelas sebelah yang sepertinya merasa cukup terganggu dengan suara anak-anak kelas saya, tiba-tiba membuka pintu kelas IV dan bingung setelah tahu di dalam kelas ada saya. Saya juga bingung... tapi apapun itu, setelah hari tersebut berlalu maka saya semakin menemukan apa “maunya” anak-anak kelas ajaib ini.. Di hari selanjutnya pelajaran matematika, masih dengan metode dan bahasan yang mirip, waktu itu matematika adalah dua jam terakhir. Biasanya mereka sangat resah jika melihat ada satu kelas lain yang sudah dipulangkan oleh guru pengajar, namun tidak dengan hari itu..sekolah sudah berangsur sepi, satu per satu murid melintasi ruang kelas IV atau paling tidak tampak dari kelas IV, bahwa anak kelas lain akan pulang, dan anak-anak kelas ajaib “masih” menghitung-hitung berapakah jawaban yang tepat.. saya katakan “anak-anak setelah ini kita akan bahas dua soal lagi, lalu kalian bersiap-siap untuk pulang”. Lalu ada yang menjawab, “tak lah bu, tiga soal lagi”, lalu terdengar teriakan (memang hampir setiap berbicara mereka berteriak) “sepuluh soal lagi bu!”..Ucapan-ucapan itu seakan menyembuhkan setiap lelah hati belakangan ini... Hari pelajaran matematika semakin banyak saja yang terlalui di kelas “ajaib”, dan saya semakin mensyukurinya... Suatu pagi, hingga menjelang pukul 09.00, anak kelas “ajaib” masih bermain-main di lapangan dan di luar kelas.. ibu wali kelas tidak datang..beberapa diantara mereka, dengan keringat yang masih membasahi leher dan tubuh berlari ke arah ruang guru. Saya sedang mempelajari salah satu perangkat pembelajaran waktu itu, ada yang bertanya, ada yang memaksa.. “ibu masuk?” “ibu masuk lokal (kelas) lah!” ada pula yang langsung menggandeng tangan kanan saat saya keluar ruang guru, yang lain memegang tangan kiri, yang lain lagi menarik saya dengan melingkarkan tangannya dari arah depan, badan anak ini kecil dan tidak terlalu tinggi, perlahan saya sadari dia tidak menarik, tetapi memeluk, dialah Safari.. lalu tiba-tiba dua tangan yang memegang tangan kanan dan kiri tadi menggoyang-goyangkan tangan saya ke depan dan ke belakang, sedangkan yang lain mengiringi dengan banyak pertanyaan “ibu, ibu wali kelas ke mana?” “ibu masuk” dst... mereka berhasil membawa saya menuju lokal melintasi lapangan upacara.. hari itu mereka mengajak saya untuk mengajar mereka, menggantikan ibu wali kelas.. mereka meminta belajar, iya mereka meminta,, maka mimpi dan harapan mulai hari itu berhak pula menjadi milik mereka, karena sejatinya mereka merindukan ilmu... IPS di jam itu, lalu matematika setelahnya.. di tengah kerinduan mereka akan ilmu..Hari itu mereka bertengkar lagi, air mata kali ini lebih deras, bukan fisik, tapi psikis.. Kali ini, ada bahasan sensitif tentang kesukuan.. dan jika sudah demikian, maka anak-anak dari masing-masing kelompok akan mendukung kelompoknya.. Berawal hal tak boleh melihat buku pelajaran, lalu menuduh “kau ambik (ambil) kartu Bu Tika, kau curi”, lalu saling menghina orang tua, bahkan makanan yang dimakan (hal ini sensitif bagi murid-murid saya, anak dari keluarga suku jawa atau melayu penganut agama islam mengharamkan daging babi, sedangkan bagi anak-anak dari keluarga suku asli maupun china, daging tersebut sering dikonsumsi) dan sampailah menyebutkan-nyebut tentang ibu anak yang memang sudah meninggal. Pelajaran belum selesai, anak yang disebut-sebut ibunya (anak suku Jawa) itu tidak dapat menahan diri untuk memukul, namun dihalangi Pawit, ketua kelasnya. Pawit memegangi tubuhnya dan sangat jelas terlihat dadanya naik turun, tubuhnya ingin maju untuk menghantam anak yang mengejek tadi (anak suku China). Saya mendekat pada mereka dan air mata semakin deras, mengajaknya (anak yang ibunya sudah meninggal) keluar kelas, memisahkan keduanya,, semakin deras, tersengal menyampaikan kata..saya dengarkan dengan fokus sebaik mungkin.. lalu kelas “ajaib” berhambur keluar, anak yang satu tadi tetap di kelas.. mengondisikan kelas saya coba, ternyata anak yang di luar sudah pulang.. di dalam ada lagi anak yang menangis.. perempuan, fiuhh...bingung... Setelah sedikit agak beres, kelas dilanjutkan sebentar dan pulang.. anak suku China yang tadi berkelahi tidak mau bersalaman dengan saya, sebelum dia melintasi teman-teman yang sedang menyalami, saya katakan “ibu mau bicara denganmu..” lalu berbicaralah kami empat mata, ketika semua anak sudah pulang dan sekolah benar-benar sepi,, saya mendengarkan dalam isaknya dan bulir air mata yang semakin deras... sakit hatinya, cara membalasnya... Ya Rabb,, selalu ada keajaiban di kelas “ajaib” ini... Semoga mimpi dan harapan tetap menjadi milik mereka, juga.. Maka di kelas “ajaib”, saya belajar membangun ikatan personal dengan para penduduknya... (Mendler, A. N., 2010 dalam bukunya “Mendidik dengan Hati”): 1.     Apakah saya yakin murid yang saya jumpai saat ini wataknya akan tetap menjadi seperti ini? 2.     Apakah saya percaya bahwa setiap orang bisa berubah? 3.     Apakah saya menyadari bahwa menjalin kedekatan dengan murid paling bermasalah adalah tugas pendidik yang profesional? 4. Apakah saya sungguh-sungguh percaya bahwa murid-murid lebih penting dari pada isi pelajaran yang saya ajarkan?

Cerita Lainnya

Lihat Semua