info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Wow Bawean

Tidar Rachmadi 30 Juni 2011
Ketika menit berlalu laksana detik dan jam bergerak seperti menit, maka manusia tidak akan menyadari pergerakan waktu. Hari yang berganti tidak terlalu dirasakan. Banyak orang bilang, waktu yang terasa berlalu dengan cepat mengindikasikan banyaknya kenikmatan didalamnya. Itulah yang ku rasakan ketika menyadari bahwa kaki ini sudah menapak di Pulau Bawean. Pulau yang akan menjadi tempat aku menghirup nafas serta belajar ketulusan setahun mendatang. “Selamat datang di Bawean, Bala Bawean!” ucapku dalam hati kepada 5 sahabat Bala Baweanku ketika masih di atas kapal. Aku seakan tidak menyadari bahwa aku sudah 7 minggu berada di Wisma Hubla alias Perhubungan Laut, tempat pelatihan intensif Pengajar Muda II. Kata “Hubla” sendiri apabila diucapkan dengan tempo sangat cepat terdengar seperti suara tenggelam. Tidak percaya? Coba ucapkan: HUBLAHUBLAHUBLAHUBLAHUBLAHUBLAHUBLA!!! Nah, benar kan seperti suara orang tenggelam? Mungkin karena itu pula aku seperti tenggelam dalam berbagai aktifitas di Hubla sehingga tidak menyadari bahwa sudah genap 7 minggu aku menjadi penghuninya. 7 minggu dan berarti aku harus melangkahkan kaki ke tanah pengabdian (baca: tanah entah berantah!). Tulisan ini kubuat di hari-hari awal kedatangan di Bawean. Ketika aku masih berusaha keras menyelami lingkungan yang baru. Ketika sedang berbulan madu dengan keluarga, rumah, lingkungan dan calon-calon murid. Meskipun tulisan ini dibuat sedari awal kehadiranku di sini, tetapi entah kapan dan dimana aku dapat memasukkannya ke blog. Kendala geografis dan sinyal mungkin akan mengendapkan tulisan ini di folder “Tentang Bawean” dalam komputer jinjingku. Perjalanan ke Bawean sendiri begitu menegangkan di atas laut Jawa. Deburan ombak mengayun dan menghentak-hentakkan tubuh Bala Bawean di dalam kapal yang berangkat dari Gresik pukul 09.00 pagi. Perjalanan ini ialah perjalanan pertamaku untuk tinggal berjauhan dari kehangatan keluarga dan ketenangan griya. Berjauhan secara fisik dari orang terkasih. Yang mengherankan, tidak ada sedikitpun terbesit niat untuk membatalkan perjalanan ini. Niat sudah bulat. Keyakinan dan semangat mengajar sudah memenuhi kantong-kantong pakaian ini. Terbayang tentang keelokan Bawean dalam benak. Hari-hari awal di Bawean diisi dengan 1001 perkenalan. Perkenalan yang berarti proses menyelami. Perkenalan pertama ialah dengan Bupati Gresik, Bapak Sambari Halim. Penerimaan yang begitu terbuka sungguh menenangkan. Beliau mampu meredakan kekhawatiran tentang perlindungan keamanan di sana. Bala Bawean disajikan nasi khas Gresik. Dibalut daun pisang, suasana kekeluargaan dan renyahnya canda tawa, kami memakan nasi tersebut di ruang rapat kantor Bupati. Sempat melintas dalam pikiran bahwa keramahan beliau kemungkinan besar berbanding lurus dengan ekspektasi terhadap kinerja kami setahun ke depan. Ekspektasi yang tinggi untuk memperbaiki kondisi pendidikan pada khususnya dan keadaan masyarakat Pulau Bawean pada umumnya, yang tidak dapat dipungkiri masih tertinggal. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ekspektasi tersebut ialah sebuah kewajaran. Hal tersebut merupakan akumulasi dari harapan-harapannya yang ia letakkan ke pundak kami. Aku justru harus menjadikan ini sebuah penghormatan seraya berjanji dalam diri untuk melakukan sesuatu meskipun sedikit. Selain dengan Bupati, perkenalan juga dilakukan dengan Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah dalam acara penyambutan yang dilaksanakan setelah kami merapat di Bawean. Acara yang berlangsung dengan riuh tersebut menjadi impresi pertama aku akan pulau ini. Aku begitu menikmati acara ini. tetapi di dalam hati, aku sangat ingin bertemu dengan hostfam dan anak-anak Bawean. Karena dengan merekalah aku kelak akan berinteraksi dengan intens. Setelah acara penyambutan, tibalah waktu bagi Bala Bawean untuk terpisah. Berpencar untuk masing-masing menyalakan cahaya di pelosok pulau dengan lambang rusa ini. Sedikit sedih, tapi inilah jalannya. Kesedihan berpisah pupus oleh kegembiraan memulai petualangan. Tetapi rupanya, aku belum akan dibawa ke Dusun Serambah tempat aku akan tinggal akan mengajar. Aku dibawa menginap di rumah Bapak Mujo, Kepala Sekolah SD Kebun Teluk Dalam II, kepala sekolahku. Ada acara penyambutan lagi oleh beliau di dusunnya, Dusun Tanah Rata. Belakangan, aku baru tahu rupanya ada alasan kenapa aku diinapkan satu malam di rumah Pak Mujo setelah acara penyambutan di Dusun Tanah Rata. Di dusun tempatku tinggal, yaitu Dusun Serambah, masyarakatnya sedang musyawarah untuk mencari rumah pengganti. Sebab, pada awalnya aku akan tinggal di rumah Ibu Zakia, yang suaminya sudah 2 tahun tidak pulang dari Malaysia. Di dusun ini, banyak ibu-ibu yang ditinggal suaminya mencari nafkah di Malaysia selama bertahun-tahun, yang oleh penduduk sekitar disebut “Janda Malaysia.” Akhirnya disepakati bahwa aku akan tinggal di rumah Bapak Misrudi dan Emak Masna, sepasang kakek-nenek. Kini, sudah 5 malam aku resmi jadi penduduk Dusun Serambah, Desa Kebun Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean. Dusun ini berada di atas gunung dan paling terpencil. Kadang pikiran kecilku melintas, bagaimana dulu penduduknya bisa sampai tinggal di sini ya? Tetapi, terlalu sempit waktuku untuk memikirkan hal semacam itu. Lebih baik dihabiskan untuk berinteraksi dengan warga Dusun Serambah dan hal lainnya. Sebab jujur saja, waktu 24 jam sehari terasa kurang di sini. Bayangkan, sehari setelah kedatanganku, aku sudah masuk kelas untuk mengajar membaca anak usia TK, orang-orang tua serta beberapa anak kelas 1 dan 2 yang belum bisa membaca. Maklum, desa ini tak terfasilitasi oleh Taman Kanak-kanak sehingga banyak anak SD yang belum mampu membaca. Yang menggembirakan, keterpencilan dan kemiskinan tidak mengurangi antusiasme mereka akan pendidikan. Ruang kelasku yang dilakukan di Madrasah pada pukul 7 pagi selalu ramai. Akupun sudah sibuk menjadi panitia dan juri acara Intihan atau perpisahan kelas yang akan dilangsungkan selama 4 malam. Sebentar, 4 malam? Ya, 4 malam!! Masyarakat Bawean memang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kesenian. Mereka gemar berpuisi, bermain drama dan bernyanyi. Cocoklah dengan kegemaranku. Lebih jauh mengenai acara ini, aku juga akan membuat tulisan khusus. Pulau ini sungguh banyak memberikan kejutan-kejutan. Ada sejuta hal yang membuatku yakin bahwa banyak potensi terkandung di dalamnya. Ada sejuta wow tentang Bawean yang membuatku merasa lebih hidup. Kamar mandi terbuka, bak mandi dengan beragam ikan di dalamnya, toilet yang dapat dilihat dari segala penjuru desa, hal-hal gaib, jalanan yang rusak berat dan ketiadaan sinyal adalah beberapa bentuk wow yang akan aku jalani setahun ke depan. Untungnya, hati ini sudah dipersiapkan menghadapi kondisi-kondisi tersebut. Untuk masyarakat Bawean, aku berjanji akan melarut dan menjadi bagian dari mereka. Dan untuk aku sendiri, aku berjanji untuk tidak menjadi pribadi yang suka mengeluh. Aku harus terus semangat, demi diri ini, keluarga di rumah, dan Bawean, pulau mungil nan cantik di Laut Jawa. Ngomong-ngomong, ndak papa ‘kan aku menyemangati diri sendiri di sini? :p

Cerita Lainnya

Lihat Semua