info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

SMASH!

Tidar Rachmadi 17 Maret 2012

Sudah 3 minggu ini di Dusun Serambah, Pulau Bawean ada demam yang melanda. Demam tersebut menyerang anak-anak dan orang dewasa, pria maupun wanita. Demam ini sedikitpun tidak menampakkan gejala akan menghilang. Justru, makin hari wabah penyebarannya meluas. Demam itu ialah demam smash. Bukan. Ini bukan tentang boyband. Ini demam bulutangkis alias badminton, olahraga yang pernah membuat lagu Indonesia Raya berkumandang dengan hikmat di Olimpiade Barcelona tahun 1992, ketika Susi Susanti berhasil mengalahkan Bang Soo Hyun di babak final.

Bisa dikatakan, bulutangkis olahraganya masyarakat Indonesia. Banyak prestasi gemilang diukir oleh anak bangsa melalui bulutangkis. Indonesia menjadi negara angker untuk olahraga yang satu ini. Seperti halnya jenis olahraga lain, bulutangkis memerlukan konsistensi semangat dalam permainannya. Dibutuhkan stamina fisik yang mumpuni, kejelian menangkap strategi musuh, hingga ketepatan memukul shuttlecock supaya dapat mematikan lawan. Rupanya, demam semacam inilah yang disukai masyarakat Dusun Serambah.

Demam bulutangkis ini berawal ketika saya iseng membeli raket dan shuttlecock di kecamatan. Dua pasang raket saya tebus seharga Rp. 12.500,-/raket dan satu selop shuttlecock kualitas ya gitu deh seharga Rp. 20.000,-. Saya memutuskan untuk membeli karena sudah tidak tahan untuk main bulutangkis, mengingat bulutangkis adalah kegemaran dan cinta sejati. Sewaktu kecil, setiap akhir pekan saya kerap diajak ayah bermain bulutangkis. Sebelum saya mengajar di Bawean, saya rutin berlatih 2 kali seminggu, bahkan latihan sampai jam 12 malam pun saya sanggupi. Hampir putus cinta juga pernah saya alami karena olahraga yang satu ini J. Jadi, ya memang, bulutangkis adalah kegemaran tiada dua.   

Sekarang saya senang karena dapat menyalurkan hobi ini di Bawean. Kesenangan bertambah beberapa derajat karena saya dapat memainkannya dengan bapak-bapak, teman-teman remaja dan murid-murid di sini. Kebanyakan dari mereka baru pertama kali memegang, melihat, serta memainkan raket dan shuttlecock. Olahraga yang katanya sangat Indonesia ini rupanya belum melebarkan sayapnya sampai Dusun Serambah.

Setelah berkenalan dengan bulutangkis, tiap pagi sebelum masuk sekolah, istirahat, maupun pulang sekolah, anak-anak dengan manis mengantre raket. Kalau sore hari, giliran bapak-bapak dan remaja. Saling memukul shuttlecock diselingi tawa menjadi pemandangan lumrah. Lapangan yang ala kadarnya dan becek ketika hujan bukan halangan. Jaring lapangan yang banyak rompang tidak menggugurkan niat. Yang terjadi ialah semangat bermain berbalut kesederhanaan. Manis.

Minggu lalu, ketika menunggu giliran bermain, iseng saya melontarkan pernyataan untuk mengadakan turnamen. Ternyata, para bapak dan remaja menyetujui dan menyanggupi. Jadilah turnamen ini berlangsung dengan nama ‘SERAMBAH CUP’. Peserta mencapai 20 orang dengan iuran pendaftaran Rp. 3.000,-. Uang yang terkumpul saya gunakan untuk membeli sebuah piala dan air selama bertanding. Seorang rekan guru berseloroh bahwa ini sebenarnya bukan turnamen biasa, melainkan turnamen antar pengangguran, dimana hadiah sebaiknya berupa pekerjaan tetap. Bukan piala. Hehehe, bisa aja......

Wah, rupanya semua masyarakat antusias. Tiap sore lapangan yang aslinya adalah lapangan sepak takraw ramai dipenuhi warga untuk menyaksikan ayahnya, pamannya, adiknya, kakaknya, sepupunya, pokoknya siapapun mendukung yang bermain. Papan skor menggunakan kertas bekas kalender, garis batas lapangan dibuat dengan arang hitam, net kembali dikencangkan (meski masih berlubang sana sini), dan sebagai wasit, sayapun hanya mengandalkan kekuatan pita suara, tanpa bantuan toa. Semua itu tidak mengurangi serunya pertandingan. Gerakan menukik, lob tinggi, menyerang, rally smash, bertahan, sampai loncatan bak balerina sukses menghadirkan tepuk tangan dan tawa dari penonton. Hiburan gratis ditengah melambungnya harga sembako di Bawean akibat pasokan yang terhambat karena cuaca.

Saya sendiri gagal meraih tiga besar. Saya menyerah pada posisi keempat dan mengakui ketangguhan orang Bawean. Tapi tidak mengapa. Kebanggaan saya bukan karena saya menang atau kalah. Saya sudah cukup senang melihat gelagat masyarakat yang senang atas kegiatan bulutangkis ini. Saya bangga karena membawa demam yang menyehatkan. SMASH!

Murid saya tidak mau kalah. Mereka turut serta dalam olimpiade bulutangkis. 24 anak dari kelas 2 sampai 6 menyatakan siap turun ke lapangan. Sehari setelah juara umum untuk orang dewasa, giliran anak-anak unjuk gigi. Saya menyanggupi untuk melaksanakannya bukan untuk mencari siapa yang jagoan, melainkan sekedar untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan kecintaan mereka pada bulutangkis. Pertandingan anak-anak tidak kalah seru. Ada yang sampai berdarah karena jatuh, ada yang tanding sambil pakai koyo cabe, ada yang bernazar puasa satu minggu kalau menang, sampai ada yang Yasinan sebelum bertanding. Ditingkahi laga khas anak-anak, mereka bermain dengan sportif. Mottonya, ‘Menang Jangan Sombong, Kalah Haram Marah’

Bersyukur saya dapat melalui hari dengan kegiatan positif. Dari pinggir lapangan takraw, saya bisa memperhatikan kebahagiaan yang terpancar dari pemain manakala ia mengayunkan raket. Bukan skor akhir yang jadi tujuan mereka, tetapi keasyikan dalam kebersamaan yang menyenangkan yang penting. Demam bulutangkis inilah cara masyarakat berolahraga menyehatkan jiwa dan raga di tengah keterbatasan. Bagi saya pribadi, demam ini ialah cara saya berolah perasaan dan harapan. Saya sebut olah perasaan karena banyak energi positif menguap di udara ketika bermain atau menyaksikan mereka bermain bulutangkis. Energi ini penting untuk saya serap sebagai amunisi ditengah sisa waktu keberadaan saya mengajar di Bawean.

Harapan juga karena dengan melihat kecintaan dan bakat murid saya dalam bercengkerama dengan raket, ke depannya bukan tidak mungkin bahwa Herman Fauzi, Aslin, atau Hapis mampu menjadi atlet sekaliber Simon Santoso, Taufik Hidayat, atau Alan Budikusuma.


Cerita Lainnya

Lihat Semua