Perjalanan yang Membukakan

Tidar Rachmadi 23 Oktober 2011

“I’m thinking trips. Most of them have never been outside of Long Beach. They haven’t been given the opprotunity to expand their thinking about what’s out there for them. And they’re hungry for it and I know it.”

Kalimat di atas adalah penggalan dialog film Freedom Writers. Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata mengenai perjuangan Ms. G untuk mengembangkan potensi anak-anak “nakal dan miskin”  dari sebuah sekolah menengah di Amerika Serikat. Di dalam kalimat tersebut kita sama-sama bisa merasakan sebuah keyakinan dari seorang pengajar untuk memperluas dan mengembangkan cakrawala pemikiran anak-anaknya melalui sebuah perjalanan, perjalanan keluar dari tempat mereka sehari-hari.

Berbekal keyakinan yang sama, sebagai seorang pengajar sekolah dasar di pulau cantik bernama Bawean juga memiliki mimpi untuk mengajak anak-anakku melihat dunia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Anak-anakku, anak-anak SDN Kebun Teluk Dalam II Dusun Serambah, selama ini memiliki keterbasan akses yang memungkinkan mereka turun gunung. Jangankan keluar pulau, untuk keluar dusunnya saja dibutuhkan pengorbanan yang bagi mereka tidak sedikit. Jalan rusak dan berbatu, letak dusun yang jauh dari jalan raya, serta keterbasan jumlah motor menjadi penyebabnya. Yang membuat saya patah hati, guru lain dan para orang tua pun banyak yang enggan membawa anak-anak ini keluar dari dusunnya karena mereka tidak melihat sebuah urgensi untuk membawa anak-anak keluar dusun.

Keluar dusun berarti pergi jauh. Keluar dusun berarti mahal. Keluar dusun sama saja dengan merelakan anak-anak dibawa Grandong (sejenis makhluk halus di Bawean yang ditakuti warga). Saya tidak menyalahkan guru dan orang tua mereka, mengingat keterbasan yang saya juga rasakan. Tetapi, bukankah harus selalu ada sebuah ikhtiar mencari jalan keluar atas setiap keterbatasan?

Sudah tiga bulan saya berada di Pulau Bawean. Dalam rentang tiga bulan ini sudah 2 kali saya membawa anak-anak melakukan perjalanan, ini diluar outing mingguan yang kami lakukan ke dusun atau gunung sebelah.Perjalananpertama ialah sebelum bulan puasa dan dilaksanakan dengan berjalan kaki selama 4 jam (YA, EMPAT) untuk pulang dan perginya. Oleh karena itu, untuk perjalanan yang pertama, partispannya hanya anak kelas 5 dan 6. Sementara yang kedua dilakukan beberapa hari yang lalu dengan menyewa 2 kol (mobil) bak terbuka dengan partisipan kelas 2, 3 , 4, 5, dan 6. Perjalanan kedua membawa jumlah rombongan yang lebih besar karena saya tak sampai hati melihat anak-anak kelas lain begitu menginginkan jalan-jalan seperti kelas 5 dan 6.

Pantai Bayangkara adalah destinasi perjalanan yang pertama, sementara Pantai Labuhan-Lapangan Terbang-Pemandian Air Panas adalah destinasi perjalanan episode 2 kami.

Bisa dibayangkan, betapa besar kegembiraan anak-anak mengetahui bahwa mereka diberi kesempatan melihat tempat lain. Sejak seminggu sebelum kepergian, mereka tak henti-hentinya membahas tentang rencana perjalanan, baik kepada saya maupun antar sesama murid. Di sekolah, saat les, di Masjid, bahkan saat membaca di perpustakaan rumah, mereka selalu bertanya tentang jam berapa kumpul, bawa bekal apa, pakai baju apa, bawa uang berapa, dan sebagainya. Setiap hari, setiap saat, dan setiap ada kesempatan mereka selalu membahasnya. Lucu, menggemaskan, namun di sisi lain menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar tidak pernah piknik.

Tidak mudah memang untuk keluar piknik membawa anak-anak dari dusun saya ini. Pertama, harus dipastikan bahwa semua anak mendapat izin orang tua. Untuk itu saya harus berkeliling meminta izin. Namun, tetap saja ada beberapa orang tua yang tidak memberikan izin dengan beberapa alasan. Takut anaknya hilang dan mengatakan bahwa anaknya gampang mabuk adalah alasan yang banyak diutarakan. Kedua, saya harus memastikan bahwa anak-anak harus dalam kondisi prima sebelum jalan-jalan. Memang banyak sekali anak-anak yang mudah mabuk darat di sini. Hal tersebut, yaaa... dikarenakan mereka jarang pergi dan tidak pernah naik kendaraan beroda empat selama hidupnya. Saya terus menerus mengingatkan bahwa pagi hari sebelum berangkat mereka harus sarapan dan sebelum naik kendaraan, setiap anak saya berikan sebuah permen untuk hisap-hisap dan mengurangi rasa eneg.

Kendaraan juga harus dipikirkan. Mencari sewa kol bukan perkara mudah. Harus di-booking jauh hari, sebab jumlah mobil di Pulau Bawean sangat sedikit. Sewa kol juga bukan sesuatu yang murah, tetapi sudahlah, materi yang dikeluarkan tak seberapa dibanding dengan apa yang mereka akan lihat di luar sana. Tempat yang akan didatangi juga harus diketahui dulu kondisinya, apakah aman untuk anak-anak bermain. Jangan sampai pantai yang dijadikan tujuan memiliki ombak yang tidak bersahabat atau batu karang yang dapat membahayakan. Beruntung ada Bapak Kepala Dusun, masyarakat, serta pemuda yang membantu untuk cektempat.

Lantas, bisa dibayangkan ‘kan betapa riuh dan ramainya pada hari-H-nya? Justru keramaian ini yang mengharukan. Sejak pukul 05.30 pagi, anak-anak dengan diantar orang tuanya sudah berangsung-angsur memenuhi teras rumah.

“Pak Tidar, anak saya Rasyidi dan Paisa ini belum pernah keluar Serambah, saya titip anak saya ya, Pak..”

“Pak Guru, tolong jaga Tika nanti, saya takut dia tenggelam Pak..”

Kalimat-kalimat amanah tersebut hampir terucap dari setiap ibu, ayah, atau nenek yang mengantar. Tentu dengan senang hati saya akan menjaga murid-murid ini. Merekalah makhluk-makhluk kecil favorit saya, yang akan saya jaga sepenuhnya.

Di perjalanan, tak henti-hentinya saya menangkap mata mereka dipenuhi kekaguman, kegembiraan, dan kerinduan. Kerinduan untuk melihat dunia luar. Dunia selain Dusun Serambah tempat dimana mereka lahir, menuntut ilmu, dan bertumbuh. Dusun mereka indah, indaaah sekali. Tetapi saya ingin memberitahukan mereka bahwa di luar sana juga ada keindahan. Keindahan yang bisa kita pelajari. Jalan-jalan bukan semata urusan keluar dari dusun dan bersenang-senang. Lebih dari itu mereka dapat belajar sesuatu.

Mereka belajar tentang angin, ekosistem laut, belajar menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah di tempat yang mereka kunjungi. Mereka belajar penjumlahan dan perkalian di pantai dengan alat bantu kerang, dan keesokan harinya ketika pelajaran Bahasa Indonesia, mereka pun dengan senang hati membuat karangan tentang perjalanan ini.

Bukan hanya mereka yang mendapat sesuatu, saya pun mendapatkan hal-hal berharga dari perjalanan dengan anak-anak. Saya belajar bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka. Kami pun semakin dekat satu sama lain. Yang mengharukan ialah surat-surat berdatangan kepada saya dari murid-murid. Berbagai ucapan terima kasih serta do’a dengan beragam ekspresi mereka panjatkan melalui tulisan yang sudah diletakkan di meja saya. Mereka begitu tulus. Saya yakin, do’a-do’a mereka itu turut menjadi penguat saya di sini.

++++

Sewaktu perjalanan kedua, di Pantai Labuhan ternyata ada sebuah kapal layar. Ternyata, kapal tersebut ialah milik suami-istri lanjut usia berkewarganegaraan Prancis, Christian dan Suzanne. Mereka sedang melakukan pelayaran dari Pulau Kangean dan keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Belitung. Setelah mengobrol beberapa saat dan mengetahui kalau ini adalah piknik sekolah, pasangan suami-istri Prancis tersebut langsung kembali ke kapalnya untuk mengambil sesuatu untuk anak-anak. Ketika mereka sedang mengambil barang di kapalnya, anak-anak berbisik, “Pak, ini kali pertama kami melihat orang kulit putih. Mereka tampan dan cantik ya, Pak,

Rezekinya anak-anak, mereka diberikan 2 buah buku mewarnai, 2 pensil warna, dan manisan. Kini, di perpustakaan mungilku bersemayam buku dan pensil warna berbahasa Prancis. Perjalanan ini ternyata memberikan banyak hal pada anak-anak. Perjalanan ini membukakan mata dan cakrawala mereka. Memotivasi mereka untuk lebih giat belajar.  

Do’a saya supaya mereka dapat melihat dunia yang lebih luas lagi. Amin.


Cerita Lainnya

Lihat Semua