Saya Diingatkan (Lagi)
Furiyani Nur Amalia 24 Oktober 2011Tidak perlu jauh-jauh pergi jika kamu ingin memperoleh sesuatu yang berharga dalam hidupmu. kadang hal kecil pun dapat berarti banyak jika kita bisa memaknainya.
Hari senin 24 Oktober 2011, kejadian pagi ini akan menjadi momen yang tidak saya lupakan. Sejak 2 hari yang lalu, saya selalu bergantian untuk tidur di rumah sakit karena teman saya ada yang terjangkit malaria. Jangan tanya capek atau bagaimana teknisnya. Jangan tanya juga bagaimana kondisi rumah sakitnya. Itu yang membuat saya belajar, lapang dada dan sabar adalah penawarnya. That's life, and show must go on.
Setelah semalam saya menjaga teman, pagi saya putuskan untuk kembali ke rumah singgah. Namun, karena lapar saya memutuskan makan dulu. Melajulah saya dengan angkot ke tempat makan. Dan something happened then. Di dalam angkot, saya duduk dekat pintu. Sebelum saya naik, saya melihat ada satu ibu yang sudah duduk di belakang lengkap dengan seluruh barang belanjaannya. Senyum ramah sekali, menyapa saya hanya dengan mendongokkan kepalanya, lalu tersenyum lagi. Saya membalas senyumnya.
Ketika saya ingin menanyakan sesuatu, saya melihat sesuatu yang membuat saya trenyuh. Kaki ibu itu buntung. Tapi saya tahu satu bangku panjang di belakang itu penuh dengan barang bawaannya. Saya takjub. Sepanjang perjalanan itu, ibu itu selalu melambai-lambaikan tangannya, seraya mengomandokan pak sopir ke mana tujuannya pergi. Dengan melambaikan tangannya, tidak juga senyum. Saya hanya melihat gerak geriknya. Dia hanya tersenyum.
Di sampingnya ada tas hitam penuh dengan kertas semacam karton. Lalu dia menuliskan sesuatu untuk saya “Dari mana? Maaf, saya bisu,” dia menyodorkan spesial pakai senyum. Saya membalas senyumnya, lalu saya mengatakan kalau saya dari rumah sakit dan akan ke pusat kota. Lalu dia membalas lagi.
“Saya mau ke pasar, berjualan ini semua,” lagi-lagi menyodorkan dengan senyum ramahnya. Saya hanya mengangguk. Lalu ibu itu menulis lagi. “Semoga temannya cepat sembuh ya. Sakit itu tidak enak. Tapi dengan sakit kamu akan belajar sabar.”
Begitulah tulisan yang saya ingat. Saya ingin menangis. Lalu saya lihat ibu itu masih dengan senyum dan kerut ketabahannya. Angkot berhenti di suatu toko, toko dimana ibu itu mengambil barang dagangannya, yang mau dia bawa ke pasar. Dengan sekali isyarat bibir, pegawai toko itu membawakan berasnya ke dalam angkot. Ibu itu menunduk nunduk dan mengelus punggung pemuda itu dan tidak lupa senyum. Mungkin itu tanda dia mengucapkan terima kasih. Saya melihat per detil kelakuannya. Saya merasa diingatkan pagi ini.
Angkot melaju lagi. Saya lihat ibu itu masih menulis. Entah apa itu. Mungkin catatan penjualannya. Dan sepertinya dia tahu saya memperhatikannya. Dia menulis lagi ke kertas tadi. “Saya menulis pengeluaran dan pemasukan,” tuturnya. Dan saya hanya tersenyum. Lalu saya menanyakan tas hitam yang selalu dia tenteng kemana-mana itu yang saya rasa itu berat sekali. “Ibu, apa isi tas itu??” Ibu itu tidak menjawab, hanya menyodorkan tas itu dan lagi-lagi hanya tersenyum menyuruh saya untuk membukanya sendiri.
Saya buka, isinya adalah label-label jualannya. Dan bagaimana dia menanggapi penjualnya BERAS 1 kilo 14000. Gula 5000. ITU SUDAH HARGA PAS. MASIH BISA DITAWAR. Yang paling saya takjub adalah dia juga menuliskan, ITU SUDAH KEMARIN, HARGANYA BOLEH TURUN. Ah, ibu ini membuat saya terharu. Sembari saya melihat tulisannya. Saya masih melihat dia mengarahkan pak sopir ke mana dia akan berhenti. Dia lalu memegang tangan saya, sambil tangannya menunjukkan kalau dia akan berhenti di pasar itu. Saya kemasi lagi barangnya. Namun dia sempat menulis sesuatu. “Terima kasih, sudah mengajak saya bicara sepanjang perjalanan” sambil tersenyum. Saya hanya mengangguk dan mengucapkan hal yang sama.
Ibu itu lantas turun. Dengan segala keterbatasannya, dia segera dengan lincahnya meloncat dari angkot lalu menuju tempat jualannya, sambil menyuruh orang membawakan barang dagangannya. Tidak lupa dia melambai, mengangguk dan tersenyum kepada saya.
Walaupun angkot berjalan, saya pandangan saya tidak berhenti melihat sosok ibu itu. Dan saya diingatkan lagi. Teman, hikmah dan kesempatan itu selalu datang terus tiap hari. Namun, kadang kita tidak tahu kalau dia itu hikmah dan kesempatan itu. Karena keduanya datang tanpa label. Tapi keduanya datang ketika hati kita tersentuh dan melabelinya sebagai hikmah dan kesempatan.
Tuhan mempunyai cara yang indah mengingatkan umatnya untuk selalu bersyukur dan selalu berkaca atas kelebihan dan kekurangan kita. Semoga kita selalu menjadi hamba yang bersyukur. Tetap semangat di Senin yang semangat. Furi :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda