Kekuatan Ini.. Apa Namanya?

Tidar Rachmadi 19 November 2011

Ide untuk menuliskan perasaan ini menghampiri ketika saya sedang makan di rumah seorang murid. Sore itu, saya makan untuk yang ke-6 kalinya di hari yang sama. Ya, e-n-a-m k-a-l-i! Di hadapan saya saat itu ada nasi, ikan kering, dan sayur kolentang. Ketika di depan aneka makanan itu saya berpikir, "Wew, it's my sixth meal for today and I surely will have another one tonight. How could this happen, dear stomach?" Bisa-bisanya saya makan sebanyak ini. Padahal, kebiasaan makan saya sejak kecil ialah tidak pernah lebih dari tiga kali, itupun dengan porsi yang terbilang sedikit untuk ukuran laki-laki.

Tetapi inilah yang saya hadapi sekarang. Empat bulan di Pulau Bawean sedikit banyak mengubah ritme kebiasaan saya. Entah darimana kekuatan ini muncul sehingga tubuh saya memiliki kapabilitas untuk memasukkan makanan sebegitu banyaknya. Yang jelas, setiap saya bertandang ke rumah penduduk atau ke rumah murid untuk berbincang dengan orang tuanya, nasi adalah menu wajib. Haram untuk bilang kenyang karena itu dapat diartikan kita tidak menghormati tuan rumah. Sebagai pengajar yang tengah melebur dengan masyarakat, silaturahmi tentunya menjadi ajang yang kerap saya lakukan. Jarum timbangan pun semakin mengarah ke kanan.

Yang jelas, bukan berapa berat badan saya saat ini yang penting, tetapi lucu bagaimana saya bisa menjadi gemuk di tengah segala keterbatasan. Seorang tokah dusun pernah berujar, "Pokoknya kita gak akan biarkan Pak Tidar kurus. Kita gak mau nanti kalau saat pulang ke Jakarta, Pak Tidar dikira tidak diurus dan dikasih makan sama orang Serambah. Nanti emak-nya kaget." Dalam hati tentu saya tersenyum. Tidak pernah kepolosan dan ketulusan sedemikian ini menghampiri telinga saya sebelumnya.

Pengalaman lain yang membuat saya terheran dengan kekuatan tubuh saya adalah bagaimana perut ini bisa menerima minuman penambah tenaga ekstra yang membuat peminumnya lebih joss, setiap hari pada saat berbuka selama bulan Ramadhan lalu. Dalam keadaan kosong, perut langsung diguyur minuman jenis itu. Tetapi, tidak ada pilihan lain. Saya setiap hari berbuka di Masjid bersama bapak-bapak dan pemuda, dan itulah minuman yang disajikan ibu-ibu di dusun. Itulah minuman favorit mereka sewaktu berbuka, selama bertahun-tahun lamanya. Pilihan untuk saya kemudian bukan sehat atau tidak sehat; tetapi mau hilang dahaga atau tidak. Sesederhana itu. Jadi apapun yang tersajikan, hajar! Ajaib karena perut saya tidak mengalami gangguan apa-apa sampai sekarang. Padahal, membayangkan mengkonsumsi Extra Jo*s selama sebulan penuh saja sudah mendatangkan gangguan pada pikiran, bukan?

Saat training Indonesia Mengajar beberapa bulan lalu, saya sempat berbincang dengan Mbak Hani, fasilitator yang selalu tersenyum. Beliau bertanya, entah iseng atau memang ada tujuannya. "Kalau bisa memilih, Tidar mau ditempatkan di wilayah yang bagaimana?" Saya menjawab, "Yang penting ada sinyal biar tetep bisa pacaran dan kalau bisa di daerah pesisir pantai. Bukan di pegunungan karena saya alergi dingin, Mbak." Reaksi Mbak Hani pun sederhana, sesuai kebiasaanya. Tersenyum.

Jawaban saya tersebut terkait dengan kebiasaan saya sehari-hari di Jakarta. Sehari-hari saya selalu terhubung dengan dunia luar melalui sinyal, baik telepon maupun internet. Tidak pernah terbesit bagaimana rasanya menetap di daerah tanpa akses sinyal. Saya membayangkan bahwasanya akan merasa terasing dan kesepian. Sementara itu, tinggal di gunung pasti akan mendatangkan banyak gangguan pada tubuh saya. Di Jakarta yang panas saja, saya tidak menggunakan pendingin ruangan di kamar. Kulit saya mudah merah-merah apabila kedinginan dan tinggal satu tahun di gunung tentulah bukan kabar baik. Takut saya membayangkannya.

Fear is indeed a terrible predictor of the future.

*****

Kini, dua hal yang saya hindari untuk menjadi daerah penempatan justru menjadi tempat saya berkarya. Di tanah Dusun Serambah yang tanpa sinyal dan berada di atas gunung yang sepi.

Di suatu malam, sesaat sebelum tidur saya berpikir. Darimana ya, kekuatan-kekuatan ini datang? Kekuatan apa hingga saya bisa melahap makanan dengan begitu banyak setiap harinya? Kekuatan apa sampai saya bisa merasa begitu nyaman hidup tanpa sinyal, yang meskipun dinginnya malam menusuk, tetapi saya merasa dilingkupi banyak kehangatan.

Lebih lanjut pikiran saya terbang memikirkan kekuatan macam apa yang saya miliki manakala saya sendirian mengajar enam kelas, ketika berjalan kaki empat jam saat piknik bersama anak-anak, ketika saya dari jam 7 pagi sampai 10 malam terus menerus berhadapan dengan anak-anak yang kadang hiperaktif dan kritis-kritis. Darimana saya bisa mendiamkan anak yang terus menerus menangis dan kekuatan macam apa ini sehingga saya bisa sabar menerima begitu banyaknya pengaduan dari anak-anak (yang pada dasarnya suka mengadu akan banyak hal)?

Dan banyak lagi hal-hal yang membuat saya merenungi tentang apa yang saya alami di Pulau Bawean ini.

Sampai saat sebelum tidur itu, ketika waktu menunjukkan pukul 23.30, saya berhenti pada satu titik bahwa kekuatan ini berasal dari hati. Inilah pilihan saya. Inilah yang saya mau. Kebahagiaan tak terperi manakala setiap hari puluhan pasang mata menatap penuh harap untuk diisi ilmu. Anak-anak inilah senandung penyemangat. Ketulusan penduduklah suplemennya. Dan apa yang sehari-hari saya jalani di sinilah yang menjadi pewarna hidup ini.

Menakjubkan bahwa ternyata ketakutan dan keterbatasan bisa berkompromi dengan hati untuk melahirkan berbagai kekuatan. Hati yang tak ingin menyakiti dan mengecewakan ketulusan dan kebaikan yang saya terima di sini. Hati yang ikhlas untuk memberikan apa yang bisa diberikan ke anak-anak serta kepada penduduk Pulau Bawean.

Lesson learned, I'll never be fearless until I try.

Semoga tulisan ini tidak menjadi sebuah takabur untuk saya, namun menjadi sebuah perayaan syukur atas kekuatan yang diberikan-Nya. Sehingga saya dapat melalui hari bersama anak-anak Pulau Bawean dengan penuh kekuatan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua