info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bingkisan dari Serambah

Tidar Rachmadi 18 Juli 2011
27 Juni. Tepat pada tanggal ini tahun 1988, saya keluar dari rahim seorang bidadari cantik bernama Ken Sawitri, di Jakarta. Dan kini, 23 tahun kemudian, saya berada jauh dari beliau. Terbang untuk melayani negeri. Berlayar mengarungi Laut Jawa untuk mengejar asa di Gunung Bitangor. 27 Juni 2011. Saya berada di Pulau Gili, setelah sehari sebelumnya datang bersama Bala Bawean untuk mengunjungi kediaman Wintang di pulau mungil ini. Hari ini, saya berulang tahun di Pulau Gili, Bawean. Di sebuah tempat yang tidak pernah ada dalam bayangan. Sungguh khidmat melepas usia 22 dan menghayati pergantian usia di sepinya pulau ini. 27 Juni 2011. Saya terbangun pada pukul 05.00 WIS (Waktu Indonesia Setempat). Terbangun untuk bergegas shalat Subuh dan kemudian melakukan perayaan sederhana dalam hati karena atas karunia-Nya. Setelah sekian menit membuka mata dalam keadaan satu tahun lebih tua, saya mencari ponsel dan meletakkannya di penguat sinyal milik Bapak Juma (Ayah Piara Wintang). Masuk 2 sms, satu dari Ibu dan satu dari Clarina. 2 wanita favorit dalam hidup saya. Isinya mengucapkan selamat ulang tahun dan rentetan do’a indah dengan bumbu kerinduan. Balasanpun terkirim. Ponsel dicabut dari penguat sinyal dan muncul kembali 2 kata indikator sinyal yang hari-hari ini menghiasi layar ponsel saya, “No Service”. 27 Juni 2011. Satu persatu Bala Bawean bangun dari tidur. Kamipun beranjak untuk jalan-jalan di sekitar Pulau Gili. Mendung dan berangin. Berjalan menyusuri pantai dengan suasana demikian menjalarkan melodi tempo pelan dalam diri ini. Pukul 10.00, klotok (perahu) yang kami sewa sudah menunggu di bibir dermaga. Saya kembali ke Pulau Bawean. Menjelang pukul 12.00 siang, setibanya di Bawean, saya berpisah dengan Bala Bawean yang lain. Tak ada ucapan selamat ulang tahun dari mereka. Bisa jadi lupa, bisa jadi tak dianggap penting, bisa jadi tak terpikirkan, bisa jadi apa saja. 27 Juni 2011. Dalam perjalanan menuju rumah, saya berdiskusi dengan diri sendiri. Sepertinya, ulang tahun kali ini berlangsung tanpa ada ucapan selamat secara langsung. Tanpa jabat tangan. Tanpa tatap muka. Tak ada kata ucapan dari siapapun di pulau ini. Tak mungkin ada orang lain yang mengetahui hari kelahiran saya di tanah ini selain 5 sahabat Bala Bawean. Orang terdekat saja tak memberi ucapan, apalagi yang lain. Terbesit sedikit pikiran yang membuat dahi mengernyit. Saya ingat, sebagai manusia kita dapat memilih perasaan. Apakah akan dibawa ke suasana sendu atau dibawa senang. Saya memilih yang kedua. Apalah arti jabat tangan secara langsung apabila ada beberapa do’a terkirim melalui pesan singkat dari keluarga dan sahabat dari Jakarta. Sayang, akses twitter dan facebook tak sanggup terpenuhi karena keterbatasan sinyal. Saya tak tahu apakah ada ucapan di media tersebut atau nihil. 27 Juni 2011, setibanya di rumah, saya mendapati satu hal kurang baik di kamar. Perihal apa yang terjadi di kamar mungkin tidak usah diceritakan di sini. Yang jelas, suasana hati semakin tak tentu. Saya berusaha tetap tenang sambil meyakinkan diri bahwa pasti Tuhan punya rencana manis di hari ini. 27 Juni 2011. Sore hari, saya kembali mengajar anak-anak dan orang tua untuk membaca. Sesi sore ini ialah sesi pengganti karena saya pergi ke Pulau Gili. Satu hari saya absen mengajar, rupanya rindu juga. Rindu dengan kepolosan Saliman, genitnya Fara, aktifnya Rasi, pemalunya Abdul, dan polah tingkah belasan anak lainnya. Mereka yang meminta sesi pengganti. Ditengah materi, saya tersadarkan satu hal. Hari ini, saya diberikan berkah mahanikmat. Kesempatan menjadi guru! Berhadapan langsung dengan anak-anak. Bertugas untuk pelan-pelan membawa mereka dari perangai pemalu khas anak gunung menuju kelincahan layaknya anak-anak pada umumnya. 27 Juni 2011. Saya dikejutkan oleh Musliha. Gadis bertubuh amat mungil berusia 7 tahun ini lancar melafalkan huruf A-Z. Sebelumnya, sangat sulit mengajarkan huruf-huruf kepadanya. Ia sulit konsentrasi dan sedikit pemalu. Tetapi di hari ini, 27 Juni 2011, Musliha hafal bentuk huruf dan bersuara nyaring. Sulit tidak terharu atas kejadian ini. Di depan kelas, saya meminta anak-anak memberikan tepuk apresiasi untuk Saliha. Meskipun baru 12 hari di sini, saya merasa ini sebuah pencapaian baru. 27 Juni 2011, menjelang maghrib saya mendengar nyanyian. Anak-anak menyanyikan lagu “Jempol” yang saya ajarkan di depan kelas kepada mereka. Mereka bernyanyi sembari berjalan menuju Masjid. Dari dalam rumah saya tersenyum kecil karena ternyata mereka menyukai lagu yang saya ajarkan. Lagu “Jempol” ini menjadi 1000 kali lipat lebih nikmat didengar. Lagu ini bagaikan pengganti senandung “Selamat Ulang Tahun”. Bahagia sekali saya mendengarnya. 27 Juni 2011. Tuhan memang Maha Adil. Saya tak mendapat ucapan dari Bala Bawean. Saya tak mendapat jabat tangan. Tetapi saya mendapat bingkisan luar biasa. Anak-anak Dusun Serambah yang semangat. Perilaku mereka di dalam kelas, suara-suara mereka dan kesempatan saya untuk membantu mereka mengepakkan sayap-sayap mungilnya. Di ulang tahun ini saya didewasakan oleh anak-anak. Sebuah pertanda kebesaran-Nya. Terima kasih Ya Tuhan atas kado ini, bingkisan mewah dari Dusun Serambah. 27 Juni 2011. Ulang tahun paling semarak dalam hidup.

Cerita Lainnya

Lihat Semua