info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ali Topan Anak Jalanan; Ali Sopan Anak Bawean

Tidar Rachmadi 1 Agustus 2011
Siapa yang tidak tahu Ali Topan dengan kisahnya sebagai anak jalanan? Kisah legendaris dari Jakarta yang bercerita mengenai pemuda bernama Ali yang lihai mengendarai motor besar di rimba jalanan ibukota. Ali adalah motornya dan motornya adalah Ali. Ali Topan digambarkan macho, gondrong, berperawakan atletis dan rupawan. Paket lengkap yang nampaknya diidamkan oleh semua gadis. Pekan ini, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk sedikit merasakan menjadi Ali Topan. Bukan kemiripan secara fisiknya tetapi pengalaman dengan motor yang bagi saya luar biasa. Untuk pertama kalinya saya mengendarai motor. Mungkin bagi kalian hal ini biasa aja, tetapi jujur, ini tak akan saya lupakan. Pertama, selama ini saya belum pernah mengendarai motor dan kedua, hey... ini Bawean, bung! Jalanannya rusak berat seperti sungai kering. Batu-batu sebesar bola kaki bergelimpangan disepanjang jalan. Lubang-lubang menjadi aksen tersendiri yang melengkapi penampilan jalan-jalan di Bawean. Ditambah konturnya yang naik turun, Bawean adalah momok bagi pengendara motor. Cerita berawal dari rencana Bala Bawean yang ingin menginap untuk koordinasi di Kecamatan Tambak, yang dapat ditempuh selama 1,5 jam naik motor dari tempat tinggalku, Dusun Serambah. Biasanya, saya selalu diantar oleh penduduk dusun. Lama kelamaan, perasaan ini tidak enak sendiri karena selalu merepotkan. Akhirnya, saya dengan nekat berkata kepada Pak Naim, “Saya naik sepeda sendiri saja, Pak. Boleh?” Oia, masyarakat Bawean menyebut sepeda adalah motor sedangkan motor adalah mobil. Kembali pada ucapanku untuk naik sepeda, saya kaget sendiri dengan apa yang baru saja terucap. Bagaimana nanti saya bisa sampai Tambak? Belum lagi dengan bawaan backpack besar. Yang lebih membuat jantung mau copot ialah Pak Jam merelakan begitu saja motornya kubawa ke Tambak. Apresiasi untuk beliau atas kepercayaannya pada saya. Setelah mendapat persetujuan dari Pak Jam, sayapun segera mencari sinyal untuk janjian dengan Putri Rizki Dian Lestari, pengajar muda yang ditempatkan di Dusun Tanah Rata. Saya mengajaknya untuk jalan bersama. ‘Supaya tidak sendirian di jalan,’ pikirku. Tunggu, bisa-bisanya saya mengajak Putri padahal belum bisa mengendarai motor. Mengajak Putri berarti menambah beban pada motor yang berarti mempersulit lajunya. Mengajak Putri juga berarti harus bertanggungjawab atas keselamatannya, padahal saya pribadi tidak dapat menjamin keselamatan diri sendiri. Apresiasi kedua untuk Putri, karena menurutku, keberanianku mengendarai motor tidak sebesar keberanian Putri untuk naik motor bersama saya. Pukul 09.30 pagi, tepat setelah memberikan pelajaran membaca pada anak-anak Dusun Serambah, Pak Jam mengantarkan motor bebeknya. Sayapun pamitan kepada Pak Rudi dan Emak Masna, kedua orangtuaku di sini. Begitu banyak wejangan yang dititipkan padaku supaya berhati-hati di jalan. Begitu banyak dan panjangnya, sampai-sampai menarik perhatian anak-anak didikku dan orangtuanya untuk ikut serta melepas perjalananku. Melihat kerumunan anak-anak dan orangtuanya serta Pak Jam, Pak Rudi dan Mak Masna, warga desa lainpun tak mau ketinggalan. Hasilnya, hampir satu dusun mendatangi. Hasilnya, kepergianku dilepas satu dusun. Luar biasa. Yang paling menyulitkan bukan memasukkan berbagai pesan sekaligus ke dalam kepala ini, tetapi bagaimana mengeluarkan ekspresi wajah tenang untuk menampilkan pesan bahwa saya bisa. Bahwa saya akan baik-baik saja. Pergumulan hati yang berkecamuk antara takut, tidak percaya diri, dan tegang adalah urusan pada ranah hatiku yang tidak boleh terlihat oleh warga dusun. Akhirnya, setelah hampir setengah jam ‘sesi pelepasan’ dengan warga desa, saya melajukan motor menuju Dusun Tanah Rata. Perjalanan Serambah-Tanah Rata adalah perjalanan paling panjang dalam hidup saya. Naik turun, lubang, lembah dan parit di kanan kiri bukan kombinasi yang bagus untuk pemotor pemula. Ketika sampai di depan rumah Putri, ia tidak tahan untuk tidak tertawa melihat pucatnya wajah saya. Ia pun dengan cemas menaiki motor. “Put, lo percaya gue kan?” tanyaku polos. “Iya percaya, percaya... Lo yang bener ya!” jawab Putri sambil masih tertawa. Entah, jawaban jujur atau tidak, hanya Putri dan Yang Maha Kuasa yang tahu. Perjalanan ke Tambakpun dimulai. Tukar-menukar posisi tas, loncat-loncat karena lubang, sampai kebingungan bagaimana cara membuka tangki ketika hendak mengisi bensin menjadi warna tersendiri. Putri bilang, sensasinya lebih dari sekedar naik roller coaster di Dufan. 10 menit. 20 menit. 30 menit. 50 menit. 1 jam. 1 jam 20 menit. 1 jam 35 menit. 1 jam 45 menit. Yak, sampai! Mau cium tanah rasanya. Keesokan harinya, Bala Bawean bersama Mas Imam dan Ibu Ulfa (Ibu Kepala Sekolah SD Gili) jalan-jalan ke Danau Kastoba dan Bandara Bawean (proyek bandara ini sudah 5 tahun tetapi sampai sekarang belum terselesaikan). Perjalanan ke Danau Kastoba lebih ekstrem. Alhamdulillah, saya ada tabungan sedikit jam terbang atas perjalanan kemarin sehingga rasa percaya diri sudah tertanam sedikit dalam hati. Setelah berjalan-jalan, tibalah waktu saya dan Putri untuk pulang. Bada Ashar, kamipun pamitan kepada Bu Ulfa dan teman-teman. Sebelum jalan, saya memeriksa kondisi motor dahulu. Ban? OK. Klakson? OK, nyaring membahana. Bensin? OK, masih penuh. Lampu-lampu indikator? OK, menyala dengan sempurna. Perjalanan panjang season II dimulai. 20 menit berjalan dengan manis. Hanya guncangan-guncangan ketika saya tak kuasa menghajar lubang. Tetapi tiba-tiba, ketika saya melirik lampu indikator gigi, rupanya tak hidup. Saya pun mulai panik. “Put, lampu gigi mati nih dan gue gak tau sekarang gigi berapa, jadi lo bantu ingetin ya sekarang gigi 2 nih,” kataku setenang mungkin. “Waduh, okay dar!” kata Putri. Perkara gigi memang penting, mengingat faktor geografis dan kondisi jalan Bawean, motor hanya dapat berjalan dengan gigi 1 dan 2. Lima menit kemudian, persoalan lain muncul. Tiba-tiba tangki bensin menunjuk pada huruf ‘E’ alias empty. Padahal sebelum berangkat bensin masih penuh. Mencari bensin bukan perkara mudah. Sambil terus melaju, mata terus melirik kanan berharap ada penjual bensin eceran. Oia, saya tidak melirik kiri karena lautan. Butuh waktu dan jarak yang lama sampai pada akhirnya ada seorang kakek penjual bensin eceran di pinggir jalan. Duh, senang bukan main! Bensin penuh, hatipun riang. Perjalanan berlanjut. Menjelang Maghrib, motor memasuki Dusun Tanah Rata dan Putri pun turun. Sambil tak henti bersyukur karena bisa pulang dengan tubuh utuh, ia melepas saya pergi untuk melanjutkan pulang. Dalam kesendirian di jalan pulang menuju Serambah, otak ini berpikir. Betapa Bawean telah mengajarkan saya untuk menjadi pemberani. Berani bertindak dengan kehati-hatian serta perhitungan. Saya juga kembali merefleksikan perjalanan saya dengan motor dua hari kebelakang. Saya tersadar bahwa sesulit apapun medannya, saya tak henti tertawa. Senyumanpun tak pergi dari bibir karena sepanjang jalan, di kanan kiri saya, semua orang melemparkan senyum. Betul-betul tergambarkan keramahan masyarakat Bawean. Sebagai pendatang baru, kesopanan mereka membuat saya merasa diterima. Dan sayapun telah menjadi pengendara motor yang sopan, karena banyak tersenyum. Jadi, kalo Ali Topan anak jalanan, Ali Sopan itu ya, anak Bawean. Ps: Ngomong-ngomong mau lihat Ali Sopan Anak Bawean gak? Nih!

Cerita Lainnya

Lihat Semua