“Dimanapun kita tetap bisa belajar”

TheodosiusMoses Manabung 31 Oktober 2015

“alaaaaa.....ibu terlambat.... kami nak pulang dah” begitu sambutan pertama yang kami dapat. Hari ini saya dan asih mengisi les sore di dusun Lohong sungai Cingam, dusun suku asli pulau rupat yang berdiam di tepi pantai yang letaknya cukup jauh dari pusat desa Cingam. Biasanya setiap hari jumat guru – guru dari SDN 6 Sungai Cingam datang memberi les di tempat ini. Kebetulan guru – guru yang biasanya mengisi les hari ini berhalangan maka kami datang menggantikan mereka. Asih adalah rekan sesama Pengajar Muda yang bertugas di SDN 6 Sungai Cingam. Ini merupakan kali pertama saya datang ke dusun Lohong.

            Setelah mengakui kelalaian dan ketermabatan kami pada anak – anak, kami lantas mengajak anak – anak memulai les hari ini. Dengan cepat mereka membuka ruang penyimpanan, mengeluarkan papan tulis dan alat – alat peraga lalu dengan rapih mengatur posisi duduk beralaskan lantai kayu di balai pertemuan dusun, bangunan yang sering digunakan sebagai tempat les setiap hari jumat.

            Suasananya memang tidak seperti dalam ruangan kelas pada umumnya, anak – anak yang datang juga dari tingkatan kelas yang beragam. Maka kami membagi kelas menjadi dua kelompok, kelompok pertama untuk anak – anak kelas 1, 2 dan kelompok yang ke dua untuk anak – anak kelas 3, 4.

            Menarik bagi saya melihat situasi saat itu, di kelompok saya hanya ada 1 anak kelas 2 dan sisanya 4 anak kelas 1ditambah lagi 2 anak usia PAUD yag tidak mau ketinggalan untuk ikut belajar. He..he.. memang sebagian besar anak – anak belum lancar mengenal huruf dan tulisan tetapi antusias mereka untuk belajar membuat saya bersemangat. Saya memulai dengan pengenalan huruf dan angka menggunakan alat peraga yang memang sudah ada di dalam gudang penyimpanan. Anak kelas 2 yang sudah lancar membaca dan menulis saya jadikan asistensaya untuk membatu adik – adiknya belajar mengenal satu persatu huruf dan angka yang saya perlihatkan, merangkainya menjadi kata sederhana dan diulangi beberapa kali dan dengan pelan mereka mengikuti setiap kata yang saya ucapkan. Yahh...pelan... tetapi mereka memperhatikannya dengan baik. Mata mereka seperti tidak terlepas dari alat setiap benda yang saya pegang untuk memperagakan tiap huruf jadi kata saat itu. Sementara sang asisten kecil asik berkeliling dari satu anak ke anak yang lain memastikan adik –adiknya mengucapkan dengan benar kata yang kami susun. Suasana di kelompok sebelahpun tidak kalah menarik, anak – anak dengan semangat memperhatikan dan melakoni permainan matematika yang diberikan Asih untuk melatih pemahaman mereka.

            Dibeberapa tempat, ada anggapan bahwa suku asli suatu daerah lebih tertinggal dari para pendatang, stigma itu juga saya jumpai disini. Namun saya memiliki keyakinan bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk berkembang. Contohnya Suryan, anak suku asli dari desa Titi Akar yang menjadi finalis Panasonic Kid Witnes Niews. Jadi tidak ada alasan untuk membiarkan dan tidak membantu anak – anak ini untuk berkembang.

             Dan di atas bangunan kayu dengan tiang – tiang yang menyangga lantai 1 meter diatas bekas lumpur ini saya belajar dari keceriaaan anak – anak ini, tentang semangat belajar tanpa beban, tentang ketekunan dan antusias mereka yang bagi saya sudah lebih dari cukup menjadi alasan bagi para guru yang setia menghibahkan waktu dan tenaganya disini setiap hari jumat sore. Alasan untuk tetap percaya bahwa “bintang” dalam diri anak – anak ini mampu menghiasi gelapnya malam yang sedang pesimis.

 

 

Lohong, 6 Februari 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua