Taraweh Pertama, Gambar dan Secangkir Kopi Manis
Teguh Wibowo 30 November 2014Gelap perlahan menyelimuti, temaram senter dan emergency lamp serempak menyala menghiasi ruang tengah rumah-rumah orang Gili. Sembari berdoa, kami khusuk menyimak toa masjid yang menjalar ke telinga tujuhratusan penghuni. Ayam sudah lagi rabun, tapi tak biasanya masih gelap. Mungkin ada gangguan teknis atau si empunya genset lupa, saat ini sudah pukul 18.00 WIS (waktu Indonesia setempat).
Pulau kami memang tak berlistrik. Generator listrik sumbangan pak bupati hanya menyala dari pukul 18.00-22.00. Sebagian kecil warga memanfaatkan solar cell, beberapa orang punya genset pribadi. Bagi yang tak punya, harus sabar menunggu Pak Wakir - si empunya genset - membuka keran arus listrik yang masih terbendung sejak pukul sepuluh malam kemarin. Alhamdulillah, tak sampai setengah jam arus listrik kembali mengalir.
“Pak guruuuuu..! Pak guruuuuu..!”
Suara anak-anak membuyarkan tidur saya yang hampir lelap. Yang saya ingat, selepas maghrib saya rebahan di kasur, sejenak merenungi kembali apa yang akan saya perbuat di sini. Saya refleks terbangun, meluruskan kopyah, kemudian menghampiri mereka yang sudah menunggu di depan rumah.
“Manjuh tojuk anak-anak...!!” Saya membalas senyum mereka dengan semangat.
Belasan anak berhamburan memasuki ruang tengah. Masing-masing mulai membaca buku yang mereka suka, ada yang menggambar tokoh kesukaannya, ada yang menggambar pemandangan, ada pula yang memilih memainkan pianika.
Lima belas menit saya hanya memperhatikan gerak-gerik mereka, mengamati satu persatu kebiasaan dan kesukaannya. Maka di saat itulah saya serasa menjadi guru Kobayashi dalam tokoh Totto-chan. Guru Kobayashi yang membebaskan anak mengerjakan sesuatu dari hal yang disukainya. Beda negara, beda pula tempatnya. Kalau Totto-chan belajar di gerbong kereta, kami belajar di rumah Pak Herman-orang tua angkat saya.
Teringatlah saya pada gurunda Munif Chatib - sang maestro Multiple Intelegence. Bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah kesempatan yang terbatas. Kesempatan anak bertemu dengan penyelam handal. Sebagai guru, saya memang diharuskan menjadi penyelam bagi mereka, menyelam untuk menemukan mutiara yang terpendam di dasar samudra - mengembangkan minat dan bakat.
Tiba-tiba lamunan saya dibuyarkan oleh ide serta merta. Saya mengajak mereka menggambar. Temanya bebas. Mereka bebas menggambar apapun yang mereka suka.
“Siapa yang mau menggambar?”, saya perhatikan tak ada anak yang tak mengacungkan tangannya. Bergegas saya mengambil kertasreuse, alat tulis dan pensil warna. Suasana yang awalnya riuh, perlahan mulai tenang. Anak-anak sangat fokus menyelesaikan gambarnya.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, setelah saya kategorikan berdasarkan usia, inilah hasil gambar beserta analisisnya :
A. Gambar anak usia 5-6 tahun (TK dan kelas 1 SD)
Pada usia ini (5-6 tahun), anak masih sangat minim informasi dan referensi pengalaman. Gambar yang muncul seputar apa yang ia lihat di sekelilingnya. Ikan dan bebek tentu menjadi benda yang sangat sering dilihatnya. Belum terampilnya menggunakan alat warna seperti pensil warna dan krayon menjadi penyebab mereka masih sangat minim menggunakan warna dalam gambarnya.
B. Gambar anak usia 7-9 tahun (Kelas 2-4)
Secara umum, anak usia 7-9 tahun memiliki referensi pengetahuan dan pengalaman lebih banyak dibanding adik kelasnya. Hal ini terlihat dari gambar yang dibuat - bangau, rumah, dan gunung. Meskipun gambar yang muncul masih seputar benda-benda yang berada di sekitar mereka- terdapat di Pulau Bawean, namun gambarnya lebih kompleks. Pada usia inipun mereka terlihat lebih terampil dalam menggambar, menggunakan crayon dan pensil warna. Hanya saja, pilihan kombinasi warnanya belum sesuai aslinya.
C. Gambar anak usia 10-12 tahun (Kelas 5-6)
Anak usia 10-12 tahun paling banyak memiliki referensi pengetahuan dan pengalaman, hal ini terlihat dari beranekaragamnya gambar yang dibuat. Gambar-gambar yang mereka buat tidak hanya berasal dari lingkungan mereka, tetapi juga berasal dari luar Bawean seperti tokoh kartun jepang, sepeda motor, monas dan hingga macan. Mungkin pernah mereka lihat melalui buku atau televisi. Pada usia ini anak mampu menuangkan benda abstrak -tidak berada di Pulau- ke dalam gambar melalui kemampuan berpikirnya. Kombinasi warna gambar pun terlihat lebih nyata sesuai aslinya.
Selesai menggambar, semua anak saya beri apresiasi dengan memintanya menempelkan karyanya pada ‘Dinding Kreasi’- spot khusus menempel gambar-gambar. Satu persatu gambar mereka tempel, bergantian meski tak jarang berebutan. Belum sampai semua selesai menempel, adzan Isya berkumandang.
“Yak, hari ini sampai sini dulu ya anak-anak”. Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIS. Saya segera bersiap, memakai pakaian takwa dan wewangian. Ya, malam ini tepat malam satu Ramadhan 1435 H, malam taraweh pertama.
***
Lepas sholat taraweh, saya bergegas pulang. Dari kejauhan tampak bulan mati malu-malu menyembul dari ufuk timur. Bentuknya mirip emoticon smile, hanya saja lebih mampat. Bulan itulah yang selalu dicari jutaan umat muslim satu atau dua hari sebelumnya – biasanya beberapa aliran berbeda pendapat soal kemunculannya.
Sampai di rumah, saya disambut secangkir kopi buatan Ibu. Sudah agak dingin rupanya. Sembari nyeruput, saya melirik ruang tengah yang telah kosong. Anak-anak telah kembali ke pangkuan bundanya masing-masing, yang tersisa hanyalah gambar-gambar mereka. Saya jadi punya banyak waktu ‘menyelaminya’, satu demi satu.
Beberapa menit berlalu. Masih dalam penyelaman, saya memikirkan apa yang dipikirkan anak-anak saat menggambarnya. Tanpa disadari, mata saya berkaca-kaca. Alhamdulillah, taraweh pertama tahun ini ditemani gambar dan secangkir kopi manis.
Dalam benak saya bertanys, bagaimana Ramadhan tahun depan? Biarlah itu menjadi misteri. Akan selalu ada kenangan dalam setiap ramadhan pertama. Setidaknya itu yang saya yakini.
Pulau Gili, 11 Juli 2014
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda