info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Surat Terbuka untuk Pak Boediono dari Teguh Wibowo

Teguh Wibowo 6 Agustus 2014

“Jika kita membuat garis khayal berupa bangun datar beraturan yang melalui Sabang, Talaud, Merauke, dan Rote. Maka kita akan menemukan sebuah persegi panjang yang sisinya melintasi batas terluar negara Indonesia. Lalu, jika kita mencari titik potong diagonal yang membentang dari sudut-sudut persegi panjang tersebut, kita akan menemukan titik tengah Nusantara. Tak jauh dari titik tengah itu, terdapat sebuah pulau mungil yang diberi nama Pulau Bawean. Mungkin bisa juga kita menyebutnya sebagai pulau ‘terdalam’ Indonesia”.

Assalamu’alaikum wr.wb.

Salam sejahtera untuk Pak Boediono sekeluarga. Semoga bapak selalu dalam keadaan sehat wal’afiat. Perkenalkan, saya Teguh Wibowo, Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan VIII, yang sedang bertugas di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Melalui tulisan ini, ijinkan saya bercerita kepada bapak tentang kegelisahan yang saya dan teman-teman alami setelah satu setengah bulan menjalani hidup di pulau ini.

Awalnya, saya sedikit kecewa begitu mengetahui Bawean ‘hanya’ berada di Jawa Timur. Jujur, saya iri dengan kawan-kawan saya yang mendapatkan kesempatan mengabdi di pulau-pulau terluar Indonesia, karena dalam bayangan saya, seorang Pengajar Muda haruslah ia yang menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk sampai ke daerah penempatannya.

Rupanya saya hampir terkecoh, tantangan fisik mungkin memang tak terlalu berarti bagi pulau ini. Untuk menjangkaunya, saat ini saja sudah ada setidaknya tiga armada yang siap menyeberangkan para penumpang. Waktu tempuhnya pun tak lama, hanya 4 hingga 10 jam perjalanan saja. Namun jauh di balik kemudahan aksesnya, Pulau Bawean menyimpan tantangan yang lebih komplek dari sekedar ‘perang fisik’, yaitu ‘perang pemikiran’ (mind set).

Satu setengah bulan menjalani hidup di pulau ini, rasanya cukup fair bagi saya untuk bercerita kepada bapak bahwa sebagai pulau ‘terdalam’, Bawean bagaikan kumpulan cerita ironi di negeri sendiri. Sekali lagi, tantangan yang kami hadapi tidak hanya tantangan fisik, tetapi lebih dekat pada tantangan pemikiran (mind set). Rupanya, sebagian besar warga Bawean lebih mengenal negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, ketimbang mengenal Indonesia. Menjadi menarik, karena ternyata fenomena ini berada bukan di pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, melainkan di sebuah pulau kecil di tengah nusantara.

Cerita pertama, salah satu kisah yang saya dengar, bahwa seorang guru Indonesia Mengajar pernah ditanya oleh muridnya, “Ibu dari negara mana?”. Lalu teman saya itu menjawab bahwa dirinya berasal dari Sumatra Barat.  Muridnya lanjut bertanya. “Presidennya siapa bu?”. Sontak kawan saya menyahut, kira-kira begini, “Sumatra Barat itu termasuk Indonesia, jadi presidennya ibu guru dan presidennya kalian sama. Presiden Indonesia, Bapak SBY.”

Cerita kedua, berkeliling pulau adalah salah satu kebiasaan orang Bawean pada setiap momen lebaran. Dapat dibayangkan semacam karnaval mobil bak terbuka yang membawa puluhan penumpang dibelakangnya. Yang menjadi perhatian saya tentunya kejadian yang menyayat hati, salah satu rombongan berkanaval dengan mengibarkan bendera Singapura. Bukankah ini sesuatu yang ganjil untuk sebuah pulau ‘terdalam’ nusantara pak?

Cerita ketiga, sebulan lalu ketika saya berkesempatan mengunjungi orang  tua siswa SDN 4 Sidogedongbatu, beberapa siswa SD sedang bergerombol, mereka terlihat asik memainkan game di tabletnya masing-masing. Saya sempat terkejut, hingga akhirnya ada yang menjelaskan,  “Sampeyan jangan kaget pak, anak-anak di sini sudah terbiasa dengan gadget berbagai merk, itu pasti kiriman dari Malaysia.”

Mungkin akan menjadi wajar -meski tidak normal- saat kita membicarakan pulau terluar. Sayangnya, saat ini kita sedang membicarakan pulau ‘terdalam’. Penjelasan logisnya mungkin demikian, hari raya Idul Fitri silam, menjadi saksi bisu ribuan perantau yang mudik ke Pulau Bawean. Sebagian besar merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia.

Sekilas cerita pertama, kedua dan ketiga yang saya jabarkan semoga menjadi gambaran betapa potret masyarakat Pulau Bawean berada pada taraf ‘miskin keindonesiaan’. Yang menjadi kekhawatiran terbesar saya saat ini tentu tentang pemikiran generasi penerusnya (pemuda dan pelajar). Karena ternyata, masih banyak pemuda dan pelajarnya yang menggantungkan cita-citanya pada negeri tetangga.

Menjadi tepat cerita ini saya sampaikan kepada bapak mengingat buku yang pernah bapak berikan sewaktu pelepasan Indonesia Mengajar angkatan VIII Juni silam, “Surat dari dan untuk Pemimpin - Menjadi Indonesia”.

“Menjadi Indonesia” rasa-rasanya menjadi tema besar yang tepat digaungkan untuk generasi penerus bangsa di pulau ini. Tambahan referensi tentang “Menjadi Indonesia” saya kira harus datang dari orang sehebat bapak Boediono. Oleh karena itu, saya, teman-teman Pengajar Muda beserta pemuda Pulau Bawean akan sangat bahagia jika bapak berkenan hadir untuk memberi inspirasi dan menyebarluaskan semangat “Menjadi Indonesia” bagi generasi penerus bangsa di pulau ‘terdalam’ Nusantara.

Salam hangat,

 

Teguh Wibowo


Cerita Lainnya

Lihat Semua