Takut

Teguh Wibowo 24 April 2015

Sebuah refleksi. Juni 2014. Bagaimana jika Anda yang tidak bisa berenang, berada di atas kalotok (perahu) yang overloaded, oleng dan hampir tenggelam? Mungkin jawabannya berbeda, ada yang berteriak, ketakutan, menangis, atau malah tertawa.

Adalah sebuah kekonyolan bagi saya yang tidak bisa berenang, dipaksa akrab dengan laut dan gelombang. Saya masih ingat betul saat pertama kali naik kalotok bersama puluhan orang yang mana idealnya hanya untuk dinaiki belasan. Nyatanya pagi itu saya terpaksa ‘diakrabi’ oleh hampir 30 orang di atas kalotok milik Pak Jumairi. Maka overloaded, oleng dan hampir tenggelam, adalah sebuah keniscayaan.

Dan saat-saat mengerikan itu terjadi, sayalah yang berteriak paling keras, bermuka paling tegang, pun akhirnya bersyukur paling dalam. Yang juga tidak lupa, dzikir dan doa selalu saya panjatkan sepanjang perjalanan. Ya saat itu, saya merasa benar-benar takut.  

***

November 2014. Lagi-lagi saya dikejutkan oleh pelayaran yang mencengangkan. Tiba-tiba angin bertiup dari timur, serpihan ombak menggunung menerjang kalotok yang kami tumpangi. Terlihat beberapa penumpang berpegangan lebih erat pada dinding-dinding kayu yang sengaja dibuat untuk berpegangan.

Kali ini adalah musim perallihan dari angin timur menjadi angin barat, sesekali angin bertiup kencang membawa gunungan ombak yang menerjang karang, abrasi semakin cepat terjadi, desir ombak terdengar lebih kencang dari biasanya.

Saat itu sudah senja, saya yang duduk di dek depan berpegangan pada seutas tali tambat, sembari sesekali berdoa. Masih ada rasa takut.

 ***

Maret 2015. Ini adalah pelayaran saya menyeberangi laut entah yang ke-berapa kalinya. Jika diasumsikan berlayar minimal dua kali setiap minggu –pulang pergi, maka sudah ada 80an kali pelayaran saya hingga saat ini. Kali ini saya berlayar pagi-pagi.

Pagi ini laut begitu tenang, tidak ada gelombang sedikitpun. Puncaknya angin barat telah berlalu bulan Desember atau Januari lalu, sehingga saat ini laut sedang tenang-tenangnya. Waktu paling pas bagi pelancong untuk snorkling atau sekedar menikmati keindahan pantai. Tak terlihat lagi riak-riak di permukaan airnya, malahan lebih mirip tumpahan minyak yang terlihat amat tenang dan mengkilap.

Terlalu tenang, sampai di tujuan tanpa hambatan. Perlahan saya ingat sebuah kealpaan. Rupanya saya tidak lagi memanjatkan doa sepanjang perjalanan seperti pelayaran pertama bulan Juni, juga tidak lagi berdoa sesekali seperti saat pelayaran di musim peralihan. Dalam hati saya berkelit, ah ini kan musim tanpa gelombang. Apa yang perlu ditakutkan?     

 

Pulau Gili, 15 Maret 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua