Nanik Ijawati, Mutiara Pulau Gili (Bagian I)

Teguh Wibowo 10 Desember 2014

Namanya Nanik Ijawati, anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya yang seorang pelaut telah meninggal beberapa tahun lalu pada saat mencari ikan. Ia adalah satu dari tiga anak di Pulau Gili yang kebetulan lulus pada jenjang menengah atas (SMA/MA) tahun ajaran ini. Mendengar namanya pertama kali dari Pak Bullah (guru SD Nanik), saya langsung tertarik menemuinya. Terang saja, namanya pernah terpampang pada baligho promosi salah satu pondok pesantren (ponpes) tertua di Bawean - Ponpes Hasan Jufri. Ia adalah salah satu siswa berprestasi di ponpes tersebut.

Menjadi semakin menarik untuk segera menemuinya setelah saya mendengar kabar bahwa Nanik akan dinikahkan. Saat itu belum ada calonnya memang, tapi saya ingin segera bertemu bukan karena ingin mengajukan diri menjadi calon suaminya lho ya – hehe. Ibunya yang berprofesi sebagai pedagang makanan ringan di madrasah tak sanggup lagi menyekolahkan Nanik sampai perguruan tinggi. Oleh karenanya, saya dan Pak Bullah berencana mencarikan informasi beasiswa kuliah untuknya.

Sore itu saya dan Pak Bullah menyampaikan informasi beasiswa kuliah di Universitas Al-azhar Indonesia (UAI), Jakarta. Tujuannya satu, menawarkan jalan lain untuk Nanik dan Ibunya. Harapannya sederhana, membantu mutiara Pulau Gili ini menemukan tempat layaknya untuk berkilau. Oya bagi yang belum tahu pulau Gili klik disini

Proses Seleksi

Nanik mengikuti pendaftaran kuliah UAI gelombang ke-3. Waktu persiapannya serba mendesak. Ia hanya punya waktu dua hari untuk menyelesaikan berkas syarat pendaftaran. Syarat tersebut berupa legalisir ijazah, legalisir STTB, surat keterangan desa dan kecamatan, motivation letter dan pas foto. Inilah tes pertama untuk menguji ketangguhannya J. Tanggal 24 Juli lalu, setelah melakukan pendaftaran online, Nanik resmi mendapat tiket ujian masuk melalui jalur Beasiswa Korporat.

Nanik punya waktu sekitar satu bulan untuk persiapan tes wawancara dan tes tertulisnya (Bahasa Inggris dan Potensi Akademik). Saya kira ini adalah ujian kedua untuknya. Nanik yang belum benar-benar paham mengenai tes potensi akademik, hanya sempat saya berikan satu bundel latihan soal TPA dan Bahasa Inggris untuk ia pelajari tanpa pernah saya bimbing langsung.

Tepat dalam suasana peringatan hari kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 2014, Nanik melakukan tes wawancaranya via telepon. Tetiba ia mendapat telepon dari Jakarta, tepatnya dari panitia seleksi masuk UAI. Nanik ditanyai beberapa hal terkait kehidupan keluarganya, motivasi serta pengalaman organisasinya. Ia mengaku pertama kali mendapat telepon sepenting ini.

Empat hari berselang, tepatnya 21 Agustus 2014, Nanik melakukan tes online di Kecamatan Sangkapura. Beberapa hari sebelumnya saya sempat survey di beberapa lokasi (termasuk warnet) untuk mencari koneksi internet terbaik di pulau ini. Akhirnya diputuskan Nanik akan melakukan tes online pertama sepanjang hidupnya di sebuah rumah milik salah satu teman guru di kecamatan.

Untuk mencapai lokasi tes online, Nanik terlebih dahulu harus menyebrang pulau menggunakan kalothok (sampan kecil) dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Nanik yang ditemani sepupunya datang sangat mepet dari waktu pelaksanaan. Saat itu waktu pelaksanaan pukul 13.00 WIB, dan Nanik datang tiga menit sebelumnya.

Menjadi sangat mepet mengingat perlunya persiapan login dalam tes online tersebut, ditambah lagi Nanik harus terlebh dahulu menghubungi panitia karena tes tersebut dipandu langsung oleh panitia seleksi. Butuh waktu sekitar 50 menit untuk melakukan segala persiapan tersebut. Konsekuensinya, Nanik kehilangan banyak waktu mengerjakan soal seleksi yang baru pertama kali ia kenal ini. Saat itu saya menyarankan untuk mengerjakan soal yang mudah-mudah saja.

Terlihat jelas betapa Nanik masih canggung dan grogi saat itu. Dia terlihat sangat stress, ditambah lagi koneksi internet yang lambat, yang membuat tidak munculnya soal-soal image (bergambar) karena internetnya tak mampu mendownload semua gambarnya. Saya hanya menyarankan “Kerjakan sebisanya Nik, bismillah, tebak-tebak saja jawabannya kalau gambarnya tidak muncul”. Hehe...

Butuh waktu dua setengah jam bagi Nanik untuk mengerjakan semua tipe soal tersebut. Saya ingat betul setelah itu Nanik berkeringat dan terlihat sangat kelelahan. Sebelum Ia pamit pulang saya sempat berpesan “Banyak-banyak doa, diterima atau tidak yang penting kamu sudah dapat pengalaman”.

Pengumuman

Empat hari berselang, senja 25 Agustus 2014 kabar menggembirakan itu datang. Nanik Ijawati diterima di Jurusan Sastra Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta. Kabar ini tentu saja menggegerkan banyak orang di kampungnya sekaligus mematahkan paradigma lama yang selama ini berkembang. Paradigma ‘kuliah mahal dan diperuntukkan bagi orang kaya’ setidaknya mulai tergerus di kampungnya. Bahkan saya mendengar dari Pak Bullah, beberapa orang tua ingin agar suatu saat nanti anaknya dapat berkuliah seperti kak Nanik.  (Bersambung...)


Cerita Lainnya

Lihat Semua