Bertemu Monas
Lidya Annisa Widyastuti 7 Desember 2014Karena bahagia itu sederhana. Sesederhana bisa mendatangi Monas hingga puncak, makan kerak telur dan naik andong keliling Monas. :)
“Kakak, katong (kita) ke Monas lagi, ya, ya,” ajak Horiq, adikku. “Kan kemarin belum lihat Monas dari atas to?” lanjutnya dengan nada penuh harap dan mata mengerling. Sesaat sebelum dia memasukkan sesendok penuh nasi berkuah soto berwarna kuning dengan daging ayam dalam sebuah mangkuk coklat ukir.
“Hmm…,” berpikir sejenak. “Yo sudah (Ya sudah), kitong berangkat sudah (ayo berangkat),” jawabku sambil tersenyum disambut sebuah kembang sumringah dari bibirnya. Saat itu aku makan seporsi ketoprak, panganan khas Jakarta terbuat dari campuran lontong, tahu, mihun, mentimun, toge yang disiram kuah kacang coklat pekat, kecap dan ditaburi dengan bawang goreng. Kami sedang sarapan di sebuah kedai makan di pinggiran jalan Bekasi siap untuk jalan-jalan.
Mentari sedang sangat bersemangat memancarkan pesonanya, padahal jam belum juga menunjukkan pukul 10.00 WIB, hari itu adalah hari wajib para lelaki muslim solat Jumat. Seperti bersaing, jalanan tak mau kalah; penuh dan padat. Berkucuran keringat kulihat dia yang duduk di sampingku di dalam sebuah angkutan kota berwarna merah tua. Angkot itu membawa kami menuju pintu Tol Bekasi Timur.
Sudah hampir satu minggu kami di Jakarta. Sebelum berangkat ke Cisarua Bogor, Horiq sudah pernah ku ajak ke Monas, sayang saat itu dia tidak dapat naik ke puncak Monas, karena antrian yang panjang dan hari yang sudah sore. Makanya saat ku tanya mau kemana dia hari ini, dengan mantab dia mengajakku ke Monas (lagi).
Lomba Menulis Cerita (LMC) tingkat SD“Ikanku Hari Ini” adalah judul naskah yang dia tulis dan berkat naskah itu jugalah dia bisa diundang untuk mengikuti seleksi akhir LMC-SD yang diadakan Direktor Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia menceritakan seorang anak yang menangkap ikan setiap hari agar seluruh keluarganya tidak makan nasi kosong (nasi tanpa lauk). Horiq menjadi salah satu dari 15 finalis yang diundang ke Jakarta.
Senin pagi, tanggal 10 November 2014, karena ingin dia merasakan naik kereta, pagi itu kami sudah berada di stasiun Juanda, Jakarta. Jam masih menunjukkan pukul 05.30 WIB. Horiq terlihat penasaran, dia duduk di peron dekat dengan kereta yang lalu lalang. Jadwal pertama kereta ke Bogor sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah naik kereta, dia duduk, hanya memandangi kiri kanan, mungkin karena lelah akhirnya dia tertidur di kursinya, di sampingnya ada seorang kakek yang juga sedang tertidur lelap.
Sekitar pukul 9 pagi kami sudah sampai di lokasi lomba, Hotel Rizen Premierre, Cisarua Bogor. Istirahat di kamar dan melakukan daftar ulang serta menghadiri pembukaan acara adalah agenda di hari pertama. Karena Horiq laki-laki, aku sekamar dengan Ziada Haq, gadis mungil, yang juga seorang finalis SD yang berasal dari Jombang. Sedangkan Horiq sekamar dengan Bapak Efendi, guru Ziada.
Hari berjalan cepat, hari ke dua adalah hari penentuan. Setiap anak disuruh untuk menulis sebuah karya baru. Kemudian setiap anak akan berpindah dari meja juri yang satu ke juri yang lain, untuk mempertanggungjawabkan naskah yang dikirimnya. Untuk LMC-SD, Bapak Taufik Ismail, seorang sastrawan, sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Horison menjadi salah satu jurinya. Semua anak dikumpulkan di Ballroom hotel, tanpa didampingi guru. Guru-guru ditempatkan di ruangan yang berbeda untuk mendapatkan hal yang sama, workshop bersama juri-juri yang menilai naskah para finalis.
Dari semalam rasa khawatir penjurian esok menggelitik kalbu. Saat mengambil nomor urut undian, Horiq mendapat giliran pertama. Malam itu, aku tidak begitu nyenyak terlelap, namun di lubuk terdalam aku yakin Horiq bisa karena dia anak yang hebat! Siangnya, aku mengajak Horiq untuk solat bersama. Saat penjurian tiba, beberapa kali ku tengok dari luar ruangan, belum juga boleh dia ditemui. Hal melegakannya adalah ku lihat dia sudah berteman akrab dengan para finalis lain.
Senja sudah muncul di ufuk barat, dan waktunya istirahat. Langsung ku tanya apa yang dia alami saat penjurian. “Ditanya tentang naskah, judulnya, pekerjaan orang tua, siapa yang tulis, dan sebagainya,” katanya. “Alhamdulillah, sudah selesai. Saatnya istirahat karena besok pagi jadwal kita semua jalan-jalan ke Taman Safari Bogor. Tau ngga ada apa di Taman Safari?” tanyaku.
“Ngga,” katanya sambil mengambil dan melihat-lihat brosur yang sudah dibagikan sebelum kami semua beristirahat. Cukup kaget karena hanya dalam waktu 2-3 hari di Jakarta, Horiq sudah mulai terpengaruh dan meniru logat dan cara bicara teman-temannya, logat Jakarta, logat Fakfak hilang. “Ada Harimau, gajah, hewan,” lanjutnya setelah dia melihat brosur Taman Safari.
Akhirnya waktu yang ditunggu datang, dengan kaos hijau terang pemberian panitia, jam tangan hitam berbentuk persegi di tangan kiri, topi “Glen Fredly” di kepala dan ransel hitam memeluk punggung erat serta sepatu hitam-ungu barunya, Horiq sudah siap menuju bus. Teman-temannya sudah menunggunya datang. Bus besar dengan tempat duduk 2-2 menjadi tunggangan kami pagi itu untuk berkeliling Taman Safari.
Seorang pemandu masuk ke dalam bis begitu bis itu sampai di pintu masuk. Dia menjelaskan banyak satwa yang ada di sekeliling. Di Taman Safari, pengunjung justru berada di dalam mobil, “Seperti mengunjungi mereka ke dalam habitat aslinya,” terang pemandu itu.
“Di sini banyak sungai agar ban mobil tersapu air. Karena air kencing dan kotoran dari Herbivora dapat tercium dan memicu Karnivora untuk menggigit ban,” lanjutnya saat kami beralih dari habitat Herbivora ke Karnivora.
Artis DadakanSelama kegiatan LMC-SD dan SMP, bak artis dadakan, Horiq menjadi pusat perhatian. Tidak hanya teman sesama finalis, guru pendamping, panitia bahkan juri-juri penasaran padanya. “Cukup kaget, ternyata ada anak Papua yang jadi finalis. Hebat, ya?” tanya salah seorang guru pendamping.
“Alhamdulillah, Ibu. Sebenarnya anak-anak Papua juga sama berpotesinya lho, Ibu. Mereka juga luar biasa hebat, Bu. Mungkin bedanya di sana fasilitas tidak selengkap di Jawa. Selain itu, orang tua Horiq adalah orang tua yang “melek” pendidikan. Anak pertama dan kedua sudah bersekolah di Jawa sejak lulus SMP,” terangku sambil tersenyum.
Tidak hanya penasaran dengan kehidupan dan pendidikan Horiq, hampir setiap kesempatan, banyak kamera yang mengarah padanya, atau orang-orang meminta untuk berfoto bersama. Bahkan terkadang aku yang dimintai tolong untuk mengabadikannya. “Horiq ganteng dan manis, ya,” terdengar salah seorang orang tua siswa memuji Horiq suatu kali saat kami makan malam.
Juara 14 dari 15 Finalis tak kalah HebatSiang itu, Menteri Pendidikan Dasar belum sempat menghadiri acara. Yang membuka adalah perwakilan beliau. Acara LMC ini luar biasa meriah, dengan tampilnya bermacam-macam tarian (kebanyakan tarian Sunda) dengan pakaian yang beraneka bentuk dan warna. Alunan gamelan dan seluring berirama Sunda terdengar merdu mengiringi tarian-tarian tersebut.
Tak kalah hebat, siswa-siswi dari salah satu SD-SMA menyanyikan medley beberapa lagu daerah dan sebuah lagu dari Padi, Harmoni. Tak kalah meriah alat musik khas Jawa Barat, angklung dan pianika dipadukan dengan serasi oleh siswi-siswi dari sekolah yang sama, mengiringi dua penyanyi yang menyanyikan beberapa lagu.
Tibalah saat pengumuman urutan pemenang. Dua orang juri yang juga sastrawan Indonesia, Bapak Sori Siregar dan Bapak Joni Ariadinata yang mengumumkan urutan pemenang dari peringkat 15 sampai peringkat 1. “Urutan ke 15 adalah Dowes dengan judul naskah ‘Anak Bahari di Utara Negeri’…. Urutan ke 14, Horiq dengan judul naskah ‘Ikanku Hari Ini’…. Urutan ke 13…” kata ke dua Bapak bergantian.
“Alhamdulillah… Horiq hebat!” kataku tanpa. Segera ku kabari semua orang menggunakan ponsel, termasuk orang tuanya yang juga orang tua asuhku di kampung (sudah 2 bulan sinyal masuk kampung kami). Terlihat sumringah, dia berjalan ke tengah membuat barisan untuk menunggu pembacaan peringkat yang lain. Setelah semua peringkat dibacakan, semua pemenang maju berbaris di atas panggung ditemani guru pendamping yang berdiri di belakangnya. Kemudian penyerahan hadiah dan piala oleh panitia.
Saat duduk kembali, terlihat Horiq sedang asyik memegang dan menciumi pialanya, dia belum mau menyimpan piala itu ke tempatnya. Berakhir sudah acara pengumuman pemenang sore itu. Entah dia urutan ke berapa, bagiku dia sudah jadi juara, terutama di hatiku.
Kakak, bawa aku ke Monas lagi ya…“Kakak, bawa aku ke Monas lagi ya,” begitulah kira-kira pintanya padaku. Tidak minta ke Mall, ke Ancol atau ke tempat lain. Entah karena minimnya pengetahuan tentang Jakarta atau karena rasa penasarannya untuk naik ke puncak Monas. Dengan menggunakan bis APTB yang cukup nyaman, kami meluncur ke Monas. Melewati tol yang cukup padat, kami harus transit dulu ke salah satu halte TransJakarta.
Kemudian kami beralih menggunakan TJ menuju halte Monas. Saat turun, Horiq melangkahkan kaki dengan cepat dan ringan menuju pintu masuk Monas, sudah tidak sabar sepertinya. Saat sudah di dekat Monas, dia minta difoto di depannya. Untunglah siang itu tidak sepenuh minggu lalu. Setelah membeli tiket, kami mengantri di depan lift. Saat giliran kami tiba, lift membawa kami ke puncak Monas.
Sejujurnya ini juga kali pertamaku ke puncak Monas. Horiq mendekati pinggiran pagar puncak Monas. Dia melihat ke bawah. Penasaran, dia kemudian mendekati salah satu teropong di salah satu sudut di samping lift. “Kakak, aku boleh pakai ini? Bagaimana caranya?” tanyanya ingin tahu. Dia naik ke atas tangga yang disediakan, kemudian menempelkan keduamatanya ke dua lubang di teropong itu. Cukup lama dia putar perlahan-lahan bolak balik ke sekeliling teropong itu.
“Baguskah tarada (tidak)? Ko (kau) suka?” tanyaku. Hanya anggukan yang ku dapat. Dia sedang serius melihat pemandangan yang ada di sekeliling Monas. Tidak hanya satu teropong, mungkin hampir semua sudut teropong dia jajal. Berputar-putar di ruangan itu sambil menjajal satu per satu teropong-teropong itu. Melihat Jakarta lewat teropong.
Saat melihat dengan teropong, tiba-tiba dia berteriak, “Ah, kuda (andong)! Kakak, aku mau naik itu!” Begitulah dia sangat penasaran, dengan semua hal yang dia lihat dan dapat di sini, di Jakarta. Melihat dan merasakan Jakarta dari dekat.
Selamat ya, Horiq! Teruslah menulis, belajar dan berdoa. Jangan pernah tinggalkan Solat. Gapailah mimpi dan cita-citamu, Dek!
-Kampung Baru, Kokas, Fakfak, 20 November 2014-
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda