Maaf bapak, aku tinggal kelas..

Syarifah Hanim 2 Juli 2012

Tidak terasa sudah di penghujung semester genap, semester dimana anak-anak ditantang keseriusaannya untuk belajar, karena di semester ini anak-anak akan ditentukan naik atau tinggal kelas. Soal yang dibuat dari kabupaten juga mempunyai tantangan sendiri, karena kami sekolah gunung terkadang kami tidak bisa mengejar apa yang sudah diajarkan sekolah-sekolah dikota.

“Ibu harap kalian serius belajar, pergi belajar malam ketempat bu guru juga ya, berhenti dulu marotoki cengkehnya, bilangki ke bapak ibu harus belajar buat ulangan.” Itulah pesanku ketika mengakhiri pelajaran dikelas 3, 4 dan 5, karena aku memang guru mata pelajaran mereka, bukan guru kelas. Aku hanya mengajar, matematika, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Pelajaranku sudah habis, tetapi tetap saja aku gelisah mengingat disetiap kelas yang mungkin sudah paham tentang apa yang aku ajarkan hanyalah separo disetiap kelasnya, atau mungkin kurang dari separo. Yang lainnya aku harus mengajarkan dulu dari awal lagi. Misalnya untuk matematika aku harus memulai dengan penentuan mana itu satuan puluhan ratusan ribuan, bahkan cara membaca bilangan. Mereka yang sangat kurang sangat aku harapkan untuk bisa datang kerumahku tiap sore atau malam.

Harum cengkeh memang semerbak, warnanya yang hijau kemerahan mengundang gairah tersendiri, apalagi harganya yang menggiurkan. Dahulu satu kilogram cengkeh hanya dihargai sekitar 2.500 – 3.000 rupiah. Warga kecewa dan mulai menebangi cengkeh mereka. Tahun berikutnya ternyata harga cengkeh melonjak tajam, menjadi sekitar 100.000 rupiah perkilogramnya, bahkan pernah juga mencapai 200.000 rupiah. Warga mulai lagi menanam cengkehnya.

Yang menjadi pemandangan disini adalah, tiap pulang sekolah anak-anak sudah lengkap dengan topi, tas yang terbuat dari karung beras, dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak dengan nyaman membawanya. Sengaja kupandangi anak-anak yang sudah siap itu berkumpul, dari tangga rumah panggungku, aku melihat mereka dengan girang berjalan bersama-sama, dan mereka pun melihat aku.

“Bu guruuuu....” teriak mereka

“Inna mola ? (mau kemana)” tanyaku

“maduruki cengkeh (pungut cengkeh) bu guru.” Jawab mereka.

“Sore pulang ya, malam kita belajar, oke? “ tanpa persetujuan yang pasti, mereka pun mengiyakan.

Begitulah keseharian anak-anak sepulang sekolah dua bulan ini, panen cengkeh hanya terjadi setahun sekali, dan disaat ini penghasilan warga bertambah banyak, atau bisa dikatakan cengkeh sebagai tabungan mereka. Akan tetapi yang disayangkan anak-anak jadi lupa akan belajar, pulang sekolah mereka akan pergi pungut cengkeh, biasanya orang-orang dewasa akan memanjat dan memetik pohon cengkeh mereka yang tingginya bisa mencapai 10 meter, dan anak-anak ini akan berada dibawah pohon berharap ada rontokan dari atas yang bisa mereka pungut. Tak jarang orangtua mereka menyuruh anak-anaknya bahkan memaksa, apalagi jika orangtua mereka tidak punya pohon cengkeh, pungut cengkeh adalah salah satu jalan untuk bisa menambah penghasilan keluarga mereka.

Magrib sudah tiba, anak-anak yang biasanya pergi ke masjid dan mengaji bersamaku pun tidak kelihatan, akhirnya aku berangkat sendiri ke masjid, dan menemukan hanya beberapa orang tua yang berjamaah. Kemana anak-anak ?

Lewat Isya aku pulang kerumah dan mendapati cengkeh sudah menggunung, dan aku masih belum menemukan anak-anak yang biasanya belajar. Besok sudah mulai ulangan dan mereka tidak sama sekali datang untuk belajar. Inisiatif aku berjalan sambil mengintip beberapa rumah tetangga. Pemandangan di beberapa rumah umumnya adalah mereka berkupul berputar mengelilingi sesuatu, yaitu gundukan cengkeh yang harus dirontoki malam ini juga, tidak bisa menunggu besok, karena kalau besok tidak akan bisa dirontoki lagi karena layu. Pantas tidak ada yang belajar, setiap malam anak-anak juga harus ikut merontoki cengkeh.

Dilematis memang, ditengah hiruk pikuk panen cengkeh anak-anak harus menghadapi ujian, apalagi ini hanya setahun sekali. Terkadang aku bergumam, oh cengkeh tak bisakah kau menunggu sampai anak-anak selesai ulangan. Dilematis juga untukku karena sebagai seorang yang tinggal dirumah orang, didepan kamarku sendiri setiap malam juga ada gundukan cengkeh, aku juga tidak bisa lari dari kenyataan bahwa aku juga harus ikut membantu merontoki cengkeh.

Akhirnya aku putuskan ikut anak-anak pungut cengkeh dengan harapan anak-anak bisa melakukannya sambil belajar. Sedikit- demi sedikit aku minta anak-anak mengerjakan soal-soal,siapa yang duluan selesai boleh pungut cengkeh lebih dulu. Untungnya anak-anak bersemangat, mereka bersemangat dan dengan segera menyelesaikan pekerjaanku, setelah itu mereka berlari memungut cengkeh.

Anak-anak bisa belajar meskipun sedikit, ya kuharap mereka hanya ingat saja, agar tidak lupa sama sekali. Ya meskipun mereka masih kesusahan tiap mengerjakan soal ulangan, tak jarang mereka bilang “Nda kuwisang (tidak kutahu) bu guru..” tapi mereka harus tetap mengerjakannya.

Malam-malam cengkeh selalu seperti itu, tidak peduli anak-anak tidak belajar, atau belajar hanya sedikit itu juga kalau aku benar-benar sudah turun tangan. Malam berganti pagi, dan tiap pagi anak-anak herus mengerjakan soal yang membuat mereka kerut-kerut kening, atau mungkin menyerah dengan menempelkan dagu mereka ke meja, dan mengumpulkan kertas jawaban hanya 30 menit setelah kertas itu dibagikan. Terlalu menyerah dan pasrah mungkin, mereka tidak bisa maksimal. Hasilnya nilai-nilai berjatuhan, dan itu sangat dirasakan oleh para guru. Sampai suatu ketika ada seorang guru berdiskusi denganku, mengenai beberapa anak yang benar-benar tidak bisa naik kelas. Kusarankan kalau memang anak tersebut benar-benar tidak memenuhi syarat untuk naik, tetap putuskan untuk tinggal kelas dulu ya bu, dia harus benar-benar bisa ditingkat ini dulu, apalagi mengenai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung dasar.

Hari penerimaan raport tiba, selain 13 anak kelas enam merayakan kelulusan 100% di sekolah kami dengan membuat sup dan es buah, anak kelas lain membawa perbekalan sendiri untuk dimakan bersama-sama disekolah, mereka juga dapat es buah buatan ibu-ibu guru. Setelah itu raport dibagikan, mereka pulang. Ada perasaan tenang sejenak ketika hari ini berjalan lancar.

Malam harinya ketika aku berkunjung ke Pustu meminta obat karena kesehatanku yang kurang baik, aku melewati salah satu rumah muridku, salah satu anak yang tidak naik kelas. Kudengar tangisannya dibarengi dengan teriakan seorang bapak dengan bahasa mandar, sepertinya dia sedang dimarahi. Aku berhenti sejenak dan mencoba melihat situasi dari luar sebelum kuputuskan untuk singgah kerumahnya. Terdengar anak itu berkata sambil menangis kepada bapaknya, “Maaf bapak, maaf bapak, aku nanti belajar..” anak itu memegangi kaki tangan bapaknya yang sedang duduk di depan gundukan cengkeh. Sambil merontoki cengkeh bapak itu berkata, “Cango..cango (bodoh kamu).” Perasaanku makin gak karuan dan kuputuskan untuk singgah.

Sepertinya orang-orang dirumah itu kaget melihat kedatanganku, mereka mempersilahkan aku duduk. Aku pun langsung ikut menghambur di depan gundukan cengkeh yang biasa dirontoki sampai larut malam itu. Sambil ikut merontoki cengkeh seakan ikut membantu aku hanya berkata, “Anak bapak tidak cango hanya perlu belajar lebih dalam, iya kan?” sambil mengelus anak itu. Dan suasana disana menjadi hening, hanya terdengar suara cengkeh yang rontok ditangan mereka. Aku menambahi

“Cengkeh memang tabungan yang luar biasa besarnya, tetapi tabungan kita sebenarnya ada di anak, kalau dia sukses jadi orang besar atau punya uang banyak, kita juga yang senang, jadi biarkan dia belajar lagi lebih dalam agar nantinya bisa lebih pintar, dan bisa membahagiakan bapak ibu semuanya.” Senyumku sambil masih terus merontoki cengkeh. Sang bapak hanya berkata “Iye bu guru” dan mulai memandangi anaknya berbinar. Sang anak yang sesenggukan dari tadi mulai menghapus air matanya dan tampak lelah. Ibu yang melihat anaknya sudah mulai diam berkata kepada anaknya “Matindo mo’o (tidur saja sana)” dan berucap kepadaku “Terimakasih ya bu guru.”

Entah apa arti sebenarnya ucapan 'terimakasih' itu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua