Arsitek Besar di Rumah Kecilku
Hilda Lu'lu'in Nanda Alfira Devi 7 Juli 2012Pendiam. Itulah kesan ketika aku pertama kali bertemu Yongki, adik keduaku di keluarga Cik Sono di Desa Teluk Aur. Tak pernah sekalipun mata bulatnya menatapku saat berbicara. Senyuman di wajahnya jarang tersirat. Raut wajahnya terasa sangat dingin dan kaku. Jawabannya singkat dan pendek saat aku mencoba mengenalnya lebih jauh. Berbeda dengan kakak dan adik-adiknya yang terasa sangat hangat ketika pertama kali kami bertemu.
Tubuhnya cukup kecil untuk ukuran seorang siswa kelas 2 SMP. Namun darah nelayan yang mengalir dalam tubuhnya membuatnya tangkas mengangkat dan menjalankan sebuah perahu yang berukuran tiga kali lebih besar dari tubuhnya, untuk menunjukkan sebuah pantai berpasir putih padaku. Dan benar saja perjalanan kami lalui tanpa kata-kata ataupun senyuman. Hingga detik-detik kami pulang menuju rumah kembali, aku masih belum mampu menebak apa yang ada di benak anak tanpa senyuman ini. Yongki, benar-benar membuatku penasaran.
Siang itu, Aku merebahkan badanku di atas papan kayu rumahku melepaskan lelah setelah melatih murid-muridku bernyanyi untuk perpisahan. Di tengah rasa kantuk yang luar biasa tanpa sengaja mataku menangkap Yongki sedang menunduk memandangi selembar kertas karton putih sambil memegang sebuah buku tentang seni menulis arab, kaligrafi. Tangannya mulai membuka buku lembar demi lembar memilih tulisan mana yang hendak ditirunya di kertas karton. Akhirnya, tangan kecilnya memutuskan untuk menutup buku dan bergerak menorehkan pensil di atas kertas karton putih sesuai dengan perintah otak tanpa melihat buku sedetikpun. Yah, Yongki memutuskan untuk membuat tulisannya sendiri.
Dua puluh menit berlalu, ia mengangkat hasil karyanya dan berlari menuju kamar. Beberapa detik mataku kehilangan bayangan Yongki, akhirnya dia kembali duduk ditempat yang sama dan membawa kertas karton baru. Kulihat karya yang mulai dibuatnya dua puluh menit yang lalu tergeletak di pojok ruangan. Beranjak dari tempatku berbaring, kuambil kertas karton lusuh di pojok ruangan itu dan mendekati Yongki.
”Kenapa dibuang,dek?”tanyaku pada Yongki sambil membawa kertas karton karya Yongki. “Kata Kak No lebih baik Aku menyontek tulisan di buku ini saja, kak.” jawab Yongki sambil memilih-milih kembali tulisan di buku. “Coba diteruskan dulu tulisan yang ini. Kakak rasa tulisan ini bagus, bentuk tulisan arabnya unik seperti kapal layar. Kalau Yongki bisa menyelesaikan rancangan Yongki sendiri, suatu saat tulisan Yongki pasti bisa dimuat dalam buku kaligrafi seperti yang Yongki pegang sekarang” kataku meyakinkan Yongki.
Saat itulah pertama kali aku melihat senyuman manis Yongki dan dengan penuh semangat ia menyelesaikan kembali karya orisinilnya. Sebuah tulisan indah bercorakkan warna merah, kuning, dan biru berlafazkan “Bismillaahirrahmaannirrahiim” yang berbentuk seperti kapal layar. Wajah datar dan dingin yang sehari kemarin membuatku penasaran berubah menjadi wajah yang berbinar penuh semangat.
Aku terperanjat ketika Ia menceritakan cita-citanya untuk menjadi seorang arsitek. Arsitek yang kelak membangun sebuah gedung sekolah terbaik di Desa Teluk Aur. Sebuah cita-cita yang sama sekali belum dikenal oleh sebagian besar warga desa yang hanya mengenal tiga profesi yaitu guru, bidan, dan nelayan. Yongki, adik keduaku, seorang Arsitek kreatif dan orisinil masa depan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda