Ke Maluku Kami Berguru

Khairil Hanan Lubis 2 Juli 2012

 

Paling awal berangkat, tapi termasuk paling akhir tiba di desa.

Sore itu kami Pengajar Muda (PM) angkatan IV sedang mengikuti sesi khusus bersama Emil Salim di Aula Wisma Handayani, Jakarta. Tinggal satu hari lagi kami akan deployment. Tepatnya Sabtu (16/6) dini hari, sesuai jadwal.

Tiba-tiba Billy, salah satu teman se-penempatan, mengajak keluar ruangan. Mimik wajahnya serius betul, sehingga sempat kukira ia bercanda. Billy, Dimas, Sandra, Savira, Prita, Uun, dan Hanan telah berkumpul. Lengkap sudah. Informasi yang katanya penting itu pun disampaikan Billy.

“Ini bisa jadi kabar baik atau kabar buruk. Jadi, ada kemungkinan kita berangkat malam ini.”

Sontak, kami semua terkejut. Beluk packing, belum persiapan matang, dan dalam hitungan jam harus langsung berangkat. Apalagi orang tua Dimas baru akan datang esok hari dari Solo untuk melepas anaknya. Aku sendiri malam itu berencana pergi bersama kedua orang tuaku yang baru saja tiba dari Medan.

Ya, keberangkatan kami tim Maluku Tenggara Barat (MTB) memang begitu tiba-tiba. Karena kami, acara pelepasan pun dipercepat, digelar langsung malam itu. Pukul 01.30 dini hari kami meninggalkan wisma dilepas teman-teman yang rela menyisihkan waktu istirahatnya. Empat jam kemudian, maskapai Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 592 membawa 7 anak muda ini meninggalkan Jakarta.

Setelah sempat transit 20 menit di Makassar, kami tiba di Bandar Udara Pattimura Ambon sekitar pukul 12.40 WIT. Kami harus bermalam di ibu kota Maluku itu untuk menunggu pesawat ke Saumlaki yang akan terbang esok paginya.

Tak ingin menyiakan kesempatan, sorenya kami menjelajahi Kota Ambon. Minum es kelapa dan makan rujak di Pantai Natsepa, melihat gagahnya patung Martina Tiahahu, dan menyicip sambal colo-colo di rumah makan Sari Rasa. Sayang, kami tak sempat berfoto di Gong Perdamaian karena sedang ada penyelenggaraan MTQ Nasional di tempat itu.

Ambon kota yang indah. Berada persis di pinggir lautan. Berulangkali kami mengucapkan kekagumanselama perjalanan menuju pusat kota, melihat pemandangan lautnya. Rasanya tak sangka, jika di tempat itu pernah terjadi konflik hebat. Apalagi kami sempat melihat banyak orang melakukan nonton bareng penutupan MTQ itu di pinggir jalan. Mudah-mudahan kedamaian Ambon dapat terus tercipta seindah kotanya.

Sabtu (16/12) sekitar pukul 11.00 WIT kami akhirnya tiba di Saumlaki dengan maskapai Trigana Air. Setelah sebelumnya juga sempat transit beberapa menit di Tual. Saumlaki ibukota MTB. Kota kecil di sebelah selatan Pulau Yamdena.

Kami (Hanan, Uun, Billy, Dimas) yang empat orang di bagian utara kemudian rencananya naik kapal Sabuk Nusantara pada Minggu, esok harinya. Tapi kondisi di dalam ternyata sudah seperti pasar. Tak ada lagi tempat. Aku dan Uun akhirnya kembali turun dan akan menunggu ferry hari Selasa. Sedangkan Billy dan Dimas harus tetap naik karena ferry ke tempat mereka baru ada dua minggu lagi.

Angin laut ternyata sedang kencang. Musim angin timur seperti ini cuaca memang suka tak menentu. Kapal pun dilarang berlayar. Keberangkatan ferry akhirnya ditunda menjadi Rabu. Ferry mengantarkanku ke Larat, kota Kecamatan Tanimbar Utara. Perjalanan 16 jam. Aku tiba pada Kamis (21/6) pagi di dermaga Larat. Di sana telah menunggu Matilda, PM 2 yang akan kugantikan.

Larat kota yang sangat kecil. Pusat kotanya terletak hanya pada sebuah jalan. Persis seperti kota Belitong di film Laskar Pelangi. Ada pertokoan dengan bangunan tinggi bertingkat, ada BRI sederhana (tak ada ATM, kantornya juga tanpa AC), ada penginapan, ada rumah makan, dan ada masjid. Mayoritas pedagang orang Cina dan sebagian lainnya orang Bugis.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan ojek sekitar 2,5 jam. Hanya setengah perjalanan yang beraspal. Menyisir tepi laut hingga membelah hutan rimba. Saat tepi laut pemandangannya biru nan indah. Ada pantai-pantai berpasir putih yang masih murni. Memasuki hutan, jalanan lumayan parah. Adakalanya kami harus turun dari motor karena sulitnya medan.

Pukul 14.35 WIT aku akhirnya tiba di desaku, Lamdesar Barat. Kami berangkat paling awal, tapi baru seminggu kemudian bisa sampai di desa. Yah, itulah serunya MTB. Transportasi dan cuaca harus selalu jadi pertimbangan utama membuat rencana.

Perjalanan awal ini begitu berkesan bagi kami. Padahal belum lagi sampai. Selain disuguhi pemandangan laut luar biasa, kami pun mulai merasakan keramahan orang-orang Tanimbar. Pun belum lagi bertemu anak-anak.

Aku jadi teringat kata-kata Dedi, salah satu PM 2 MTB saat acara lepas sambut lalu.

“Indonesia Mengajar punya tagline ‘setahun mengajar seumur hidup menginspirasi’. Tapi buat kami yang telah satu tahun di sini, setahun mengajar seumur hidup terinspirasi.”

 

Salam,

Manise Tanah Beta!


Cerita Lainnya

Lihat Semua