Abah...
Syarifah Hanim 20 November 2011Tuhaannn seakan aku ingin berteriakk, Tuhannnnn.. Baru semalam hamba membulatkan tekad, baru semalam hamba bertakbir kepadaMu, memujaMu,, Hempasan ombakmu begitu kuat Ya Allah, kuat sekali, sampai ketika aku ingin memulai melangkahkan kaki, merangkai kehidupanku disini, kau memaksaku untuk pulang, pulang tapi tak sempat aku melihatnya lagi, Abahhh...
Pagi itu seakan sudah ditarik rindu, aku berencana untuk menelepon abah dan mamah, ya sesudah sholat Iedul Adha aku mengajak kak Atika untuk bisa mengantarkanku ke kantor kepala desa. Mengingat ditempatku susah untuk mendapatkan sinyal, aku mencharge handphoneku supaya nanti bisa berpuas-puas aku menenelefon mamah abah. Aku pun menyetir motor di depan, sebagai latihan agar aku bisa menyetir motor di area terjal, jalan di desa kami memang kurang menguntungkan. Senang rasanya ketika dijalan handphoneku mulai berdering terus, tang ting tung, suara sms, belum lagi telefon.
Sambil tersenyum dalam hati aku berucap,
“Sebentar-sebentar nanti pasti akan kuangkat, nanti pasti akan ku blas, aku lagi setir motor ini..”
Sesampai di rumah Kepala Desa, dengan sigap aku melihat handphoneku yang sudah berpuluh-puluh sms masuk. Tapi kabar apa yang kudapat
“Sabar ya sayang, abah pulang, abah meninggal..” belum percaya aku telefon aga dan dia berkata “Cepat pulang yank,abah gak ada..”
Belum yakin aku telefon mamah, dan yang kudengar hanya isak tangis, yang kudengar hanya “abah nok, abah meninggal..” Suara mamah yang biasanya sejuk ditelinga kini membuat hatiku benar-benar kalut. Seakan sedikit memarahi mamah aku bilang “ bukannya kemarin mamah bilang semua sehat, abah juga bilang sehat, kenapa ma??” aku yang masi berada di depan rumah Kepala Desa segera ingin berlari, kak Atika langsung bicara “kita pulang, kamu siap2 ke jogja” sambil dibonceng menuju rumah, aku tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Abah yang kukagumi, abah yang selalu memmberiku semangat, abah yang sebelum ini aku antar jemput mengajar. Abah yang tetap tabah meskipun berbagai cobaan telah dilaluinya, abah yang selalu kudengar doanya di sepertiga malam terakhir, abah yang mempunyai senyum termanis itu harus pergi, meninggalkan seorang anak lagi yang belum dinikahkan ini, jujur abahh waktu itu aku belum ikhlas..
Diotakku seakan berputar kembali memori-memori tentang abah, tentang dia yang bersahaja, tentang dia yang tak pernah marah, tentang dia yang bercanda-canda ketika di dalam mobil, tentang dia yang bercerita, tentang dia yang tak pernah lelah mencari nafkah, tentang dia yang sangat kurindukan, dan mengingat kembali wajahnya, senyumnya dua bulan lalu ketika mengantar di bandara.
Saat terakhir ketika abah ingin melihatku berangkat, saat terakhir abah memaksakan dirinya untuk mengantarkanku, meskipun itu merepotkan baginya, saat terakhir ketika aku tau cintanya padaku tiada pernah berakhir. Tuhannn, ingin sekali kubisikkan ditelinganya Aku sayang padanya, sungguh anakmu ini sangat mencintaimu.. Aku menyesal Tuhan tak kukatakan itu ketika dia mengantarku, aku tak tau Tuhan, jika itu waktu terakhirku untuk mengatakan secara langsung padanya..
Roda terus berputar sampailah aku dirumah, segera mengambil tas, dan pergi ke jalan poros, jalan besar yang dilalui banyak mobil antar kota antar daerah. Satu persatu ucapan datang, satu persatu telefon berdering, mereka sudah mendengar kabar duka itu. Dan aku baru menyadari bahwa abahku memang sudah tiada.. Karena kotaku terletak sangat jauh dari bandara, sudah dipastikan aku tak bisa menghadiri acara pemakaman. Hanya aku anak kelimanya yang tidak hadir. Dan aku tak tahu wajah trekahir ayahku, aku melewatkan pemakamannya, dan aku tak melihat wajahnya yang teduh. Akupun harus menginap di Makassar, karena jadwal penerbangan ke jogja sudah habis. Berkali-kali aku telefon mamah, kutelefon kakakku, dan mereka selalu bilang ikhlaskan ya ndukk..
Senin itu, aku berharap segera sampai dirumah, berharap segera memeluk mamah, berharap segera ziarah ke makam abah. Tapi apa daya pesawatku harus berputar-putar di udara, berjam-jam, dan telat. Saat itu juga sambil masih terisak aku mengenang memori dimana aku hampir setiap hari mengantar jemput abah. Mendorong kursi rodanya, membawakan tasnya, dan sesekali kami mampir untuk membeli ayam goreng untuk kami bertiga dirumah, aku, abah dan mamah. Biasanya aku mencocokkan jadwal kuliahku dengan jadwal abah, beruntung kampus tempat abahku mengajar bersebelahan dengan kampusku. Jadi aku bisa cepat untuk menjemput abah seusai pulang kuliah atau bimbingan skripsi. Rutinitas tak terasa menjadi kenangan, bagaimana aku menyesal pernah mengeluh beratnya mengangkat kursi roda kedalam mobil, jadwalku yang menjadi terburu-buru, padahal abah hanya butuh aku sedikit meluangkan waktu. Aku juga kagum dengan kegemarannya membaca buku, menulis berbagai buku sejarah, bahkan mengagumi suaranya ketika dia diwawancara, ituu Abahku..
Ternyata dia sangat hebat !!!
Dan yang paling teringat adalah ketika mendorong kursi rodanya, hampir setiap orang dia sap, entah itu rektorat, dekanat, ataupun tukang parkir. Semua dia sapa, semua dia dengar ceritanya, semua dia coba bantu masalahnya, semuanya dia dekati.. dia adalah sosok “Migunani Tumraping Liyan” bagiku.. Sampai dirumah pemandangan apa yang aku lihat? Begitu banyak orang silih berganti datang, menyampaikan perasaan dukanya yang mendalam, lihatlah abah banyak orang yang sayang abah, banyak orang yang kagum pada abah, dan banyak orang kehilangan sosok seperti abah. Abah aku bangga padamu..
Dan menjengukmu adalah menjadi hal yang begitu kuinginkan, bercerita kepadamu di tempatmu beristirhat, bahwa ditempatku mengajar, banyak anak-anak lucu yang bersemangat belajar, aku akan mengajar dengan hati seperti abah, aku akan menjadi guru seperti abah, yang mengerti akan keadaan anak didiknya, yang selalu mencarikan jalan keluar jika ada yang kesusahan. Abah aku ingin seperti engkau..
Ya begitulah abahku, abah yang paling hebat bagiku, abah yang selalu merangkul semua, abah yang selalu menyemangatiku. Abah yang selalu peduli akan kesehatanku, abah yang selalu mendukung kegiatan apapun yang ingin akan kulakukan, abah yang mencintai anak-anaknya dengan caranya sendiri, senyum kecil tapi sangat bermakna bagi kami.
Abah kini tempatmu sudah kekal Kini tidurmu telah pulas
Semoga Allah mengampuni dosamu
Semoga doa kami dapat menjadi amalmu
Aku disini untuk abahku yang tercinta
Aku disini untuk meneruskan tekadnya pada bangsa, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa..
Aku disini akan selalu mendoakannya Abahh aku mencintaimu..
Ahmad Adaby Darban, Drs, SU (Alm)
25 Februari 1952 – 06 November 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda